vote dan komen janlup😘
***
Sarapan bersama menjadi agenda wajib bagi Mami, Jeffrey, dan Jevano. Kegiatan yang tidak boleh terlewatkan ini menjadi ajang menerima wejangan dari Mami sebagai bekal menjalankan hari. Setidaknya itulah yang bisa Mami lakukan untuk membuat keluarga mereka tetap dekat dan selalu hangat. Dari obrolan kecil di meja makan, mereka saling tahu kehidupan masing-masing, saling memahami kesulitan yang dihadapi, dan juga saling berbagi solusi.
"Ingat habis sekolah, bimbel. Jangan main basket dulu. Kamu ini mau ujian."
"Iya, Mamiku, emang kapan sih Jevan bolos bimbel?" Sahutan Jevano itu membuat Jeffrey melirik adiknya itu penuh arti lantaran ia tahu bahwa kemarin Jevano baru saja melakukan apa yang dilarang Mami.
Jevano membalas tatapan Jeffrey dengan kode agar kakaknya itu diam saja. Sebagai kakak yang baik, Jeffrey pun diam saja. Lagipula ia bisa percaya bahwa Jevano bisa mengatasi masalahnya sendiri.
Jeffrey meraih ponsel untuk mengirim pesan pada seorang gadis yang tentu saja Janisha.
Jeffrey:
Gue jemput ya
Janisha:
Enggak usahBalasan itu membuatnya cukup seperti didorong dari lantai lima gedung, down. Namun kemudian ia terkekeh kecil karena sudah paham betul sikap Janisha yang terlalu apa adanya termasuk dalam berucap, langsung maupun chat. Belakangan, Jeffrey tidak begitu kaget dengan respon singkat itu.
"Dih, ngapain sih ketawa-ketawa sendiri?" Jevano mencibir perilaku mencurigakan kakaknya itu.
"Dih, kenapa lo?" Balas Jeffrey.
Cowok itu kemudian berdiri dari kursinya sambil menyampirkan ransel di bahu kanan. Ia berpamitan, "Jeffrey berangkat ya!"
Jeffrey berangkat ke kampus dengan rute yang berbeda dari biasanya. Ia terlebih dahulu berbelok ke arah rumah Janisha dengan tujuan seperti tawarannya pada gadis itu melalui pesan singkat tadi. Dan, seperti takdir yang berpihak padanya, ia melihat Janisha sedang berdiri di depan pagar rumahnya sambil mengutak-atik ponsel yang ia tebak untuk memesan ojek online.
Jeffrey memberhentikan motornya tetap di hadapan gadis itu sambil berkata, "Mba Janisha?" seperti yang diucapkan ojek online biasanya.
Kehadirannya itu tentu membuat kening Janisha mengerut bingung lantaran sebelumnya ia sudah menolak ajakan cowok itu. Jeffrey turun dari motor dan lebih mendekat pada Janisha lalu bertanya, "Udah dapat ojeknya?"
"Belum,"
"Pas kalau gitu. Yuk?"
"Kak, aku 'kan—"
"Gue enggak sengaja lewat sini, eh ada ada lo. Jodoh kali ya?"
Janisha meringis. Ia masuk dalam kategori cewek yang akan merinding mendengar kalimat-kalimat seperti itu. Sehingga, karena tidak ingin berdebat terlalu panjang dan semakin tidak jelas, Janisha menyetujui ajakan Jeffrey.
Perjalanan lagi-lagi hanya diisi dengan keheningan. Sejujurnya Jeffrey tidak punya keberanian sebesar yang dibayangkan untuk mendekati seorang gadis yang sulit didekati seperti Janisha ini. Apalagi dengan respon-respon singkat yang kadang cukup menggentarkan Jeffrey. Janisha itu mudah ditebak, namun untuk memahami hati dan isi kepalanya bukan hal yang mudah.
Di tengah perjalanan, Jeffrey secara tiba-tiba meminggirkan motornya kemudian menjawab sebuah panggilan yang membuatnya menyahut seperti orang cemas.
"Lo tenang dulu, gue kesana."
Setelah panggilan itu, Jeffrey kembali melajukan motor namun kini dengan kecepatan yang membuat Janisha mau tidak mau harus berpegangan pada pinggang cowok itu. Tidak lama kemudian, mereka memasuki sebuah rumah sakit yang menjadi petunjuk besar bagi Janisha akan siapa yang menelepon cowok itu sebenarnya. Jeffrey memarkirkan motornya kemudian melangkah pergi begitu saja meninggalkan Janisha. Sementara itu, Janisha pun hanya mengikuti Jeffrey walau tidak bisa menyusul langkahnya. Dan, benar bahwa tujuan Jeffrey adalah sebuah rawat inap intensif yang tempo hari mereka kunjungi.
KAMU SEDANG MEMBACA
In My Feeling
أدب الهواةJanisha Sabira, seorang mahasiswa tahun pertama jurusan ilmu komunikasi. Ketidakmampuannya menunjukkan perasaannya lewat kata, tindakan, bahkan ekspresi membuatnya terkesan dingin yang cenderung jutek. Ia bertemu dengan Jeffrey Adito, seorang kakak...