Maaf banget kemarin enggak update. Hari ini double up ya!<3
***
"Mama... berangkat dulu—" pamitnya terhenti saat melihat ada seorang tamu yang sedang duduk bersama Mama di ruang tamu. Cowok yang sama dengan cowok yang waktu itu membawa makanan ke rumah.
"Udah mau berangkat?" tanya Mama dijawab anggukan oleh Janisha. "Yaudah berangkat."
"Kebetulan saya juga udah mau berangkat," cowok itu menyela, "Mau bareng?"
Janisha menyahut, "Eh, enggak usah, Kak. Biasanya juga naik ojek online kok."
"Daripada naik ojek online 'kan?"
"Yaudah kamu berangkat sama nak Ken aja, lebih aman." Mama menengahi.
Sejujurnya Janisha ingin sekali menolak tawaran itu. Pertama karena ia tidak suka dalam perjalanan yang canggung bersama orang asing dan kedua ia bukanlah orang yang bisa dengan senang hati menerima bantuan dari orang lain. Ia hanya terkesan bergantung pada orang lain untuk sekedar berangkat ke suatu tempat yang mana ia sangat bisa sendiri. Namun untuk untuk terus-terusan menolak juga bukan opsi yang baik.
Dan, ya, perjalanan antara dua orang yang bahkan baru bertemu dua kali itu tentu saja diisi dengan kecanggungan.
"Kamu ambil jurusan ilkom ya?" Ken membuka obrolan.
"Iya."
"Keren sih,"
"Hm?"
"Maksud gue kayak, anak ilkom 'kan biasanya jago public speaking, lingkungan sosialnya luas dan asik, gitu."
Janisha pun cuma manggut-manggut mengiyakan pernyataan Ken.Membangun obrolan dengan orang yang sudah kenal dekat saja cukup sulit bagi Janisha, apalagi orang yang baru dua kali ia temui begini. Mahir public speaking bagi mahasiswa jurusan ilmu komunikasi juga bukan berarti kemampuan untuk 'terus' berbicara, melainkan kemampuan untuk menyampaikan pesan pada lawan bicaranya. Jadi, antara kekurangmampuan untuk mengobrol dengan orang dan dasar soft skill mahasiswa jurusan ilmu komunikasi yaitu public speaking adalah dua hal yang berbeda.
Ken mengulas senyum tipis mengingat gadis kecil yang ia temui dua belas tahun lalu. Gadis yang sama dengan yang hari ini duduk di kursi penumpang depan mobilnya. Namun sepertinya, gadis kecil yang kini telah beranjak dewasa itu sudah tidak mengenalinya.
Sekitar dua puluh menit kemudian, mobil Ken memasuki pelataran gedung FISIP. Begitu mobil berhenti, Janisha langsung pamit dengan tidak lupa mengucapkan, "Makasih, Kak," dan pergi tanpa menunggu jawaban atau kalimat selanjutnya dari Ken.
Dalam perjalanan gadis itu menuju kelas pertama hari ini, dari arah belakang tiba-tiba seseorang menepuk kedua bahunya semacam sengaja untuk mengagetkan.
"Monyong lo!" latah Janisha. Mengetahui siapa pelakunya, ia lantas mendesis geram, "Kurang kerjaan lo!"
Pelakunya itu hanya tertawa jahil. Ia kemudian bertanya, "Tumben naik taksi online?" "Bukan taksi online. Tamu nyokap gue tadi pamit pas gue mau berangkat, katanya bisa sekalian sama dia."
"Cowok?" Sarah lanjut bertanya.
"Iya,"
"Ganteng?"
"Not bad,"
"Shit!" Sarah menoyor bahu Janisha, "Yaudah kenalin sama gue aja."
Janisha tertawa, "Boleh deh. Gue juga empet liat lo sama Narendra."
Kalau seharusnya sebagai kakak sepupu Janisha harus membela Narendra, tetapi tidak dalam rumus kehidupan Janisha. Sebagai kakak sepupu Narendra sekaligus sahabat Sarah membuatnya harus senetral mungkin. Dan mengatakan kalimat tadi adalah tindakan paling netral yang bisa ia ambil setelah mempertimbangkan sikap Narendra yang emang agak ampas menurutnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
In My Feeling
أدب الهواةJanisha Sabira, seorang mahasiswa tahun pertama jurusan ilmu komunikasi. Ketidakmampuannya menunjukkan perasaannya lewat kata, tindakan, bahkan ekspresi membuatnya terkesan dingin yang cenderung jutek. Ia bertemu dengan Jeffrey Adito, seorang kakak...