vote dan komen jangan lupa😤
***
Kelas hari ini berakhir melelahkan. Ada tiga kelas yang hanya memberikan jeda lima belas menit di antara kelas selanjutnya. Lihatlah wajah-wajah yang baru keluar kelas terakhir itu, suram. Rombongan Janisha, Nadine, Sarah, Marissa, serta tidak lupa ekor mereka Arka dan Leo berjalan keluar kelas. Keberadaan seorang cowok yang tidak asing sedang berdiri dengan menyandarkan punggungnya pada salah satu tiang koridor sambil memainkan ponselnya itu membuat Leo dan Arka langsung menghampirinya.
"Jeffrey Adito," sapa Leo sambil, "Nunggu siapa, Bang?"
"Ciat, pake ditanya segala sih?" Celetuk Arka.
Jeffrey melirik Janisha yang sejak tadi tanpa sadar sudah menatapnya sulit diartikan. Mengetahui hal itu, dengan segara Janisha melempar pandangannya ke lain arah. Ia pun menghampiri Janisha yang berjarak hanya beberapa langkah darinya. Tanpa bicara pun, baik yang lain atau Janisha pun sudah tahu maksudnya.
"Gue sama Arka duluan ya?" Nadine pamit bersama Arka. Kepergian dua pasangan itu disusul dengan Sarah, Marissa, dan juga Leo.
Jeffrey dan Janisha pun berakhir pada sebuah perjalanan yang sepi di atas motor kesayangan Jeffrey ini. Angin sore penuh polusi, berisik kendaraan, dan keheningan menghiasi perjalanan mereka hingga motor Jeffrey berhenti di depan rumah Janisha. Tidak seperti biasanya, alih-alih langsung mengucapkan terima kasih, Janisha malah berkata, "Boleh aku ngomong?"
Hal yang tidak biasa itu tentu membuat kening cowok itu mengernyit lantaran tidak biasanya Janisha memulai pembicaraan. Namun begitu, Jeffrey mengangguk sebagai jawaban membolehkan.
"Kak Jeffrey gak usah repot antar-jemput atau nunggu depan kelas gitu,"
Mereka saling menatap. Janisha yang berpikir bagaimana merangkai kata untuk menyampaikan maksudnya dengan baik dan Jeffrey yang sedang mencoba memahami maksud cewek dihadapannya ini. Janisha melanjutkan kalimatnya, "Bisa enggak kita layaknya senior-junior pada umumnya aja?"
"Kenapa?" Setidaknya hanya itu yang bisa Jeffrey katakan.
"Nggak enak aja diliat orang,"
"Siapa yang peduli kata orang?"
"Saya peduli,"
Penggunaan kata 'saya' untuk menyebut diri Janisha seolah kembali menarik garis pembatas antara mereka. Itu terdengar seperti saat kali pertama Janisha berbicara dengannya. Artinya, Jeffrey kembali menjadi seorang yang asing Janisha. Ataukah, memang sejak awal ia tidak pernah diterima?
"Oke," ucap Jeffrey mencoba mengerti kemauan Janisha. Berpegang teguh pada apa yang telah diucapkan adalah prinsip Jeffrey. Sehingga, seperti yang telah ia katakan bahwa ia akan berhenti jika Janisha tidak nyaman. Walau sebenarnya terlalu membingungkan untuk diberitahu sekarang, sebab beberapa waktu belakangan ini ia merasa Janisha sudah memberinya cukup banyak kesempatan. Namun, Janisha tetaplah gadis yang selalu tidak tertebak dan tidak terbaca. Tidak ada yang benar-benar bisa disimpulkan dari gadis itu, semuanya hanya bisa jadi asumsi yang mungkin benar dan mungkin salah. Untuk itu, Jeffrey hanya mencoba untuk mengerti.
Sementara dari sisi Janisha, satu-satunya alasan ia mengambil keputusan ini semata karena ia tidak ingin terlibat dalam konflik percintaan yang pelik lagi. Cinta segitiga dan masa lalu yang belum selesai, Janisha tidak ingin itu. Ia ingin kisah cinta sederhana, bersama dengan seorang cowok yang biasa saja, bahkan ia pernah bilang tidak ingin cowok yang terlalu tampan. Ia hanya ingin bahagia yang sederhana.
Atas keputusan dengan tujuan menghindari masalah itu, entah memang keputusan terbaik atau malah menambah masalah baru dalam hidupnya. Kuis yang katanya akan menambah nilai UTS yang anjlok minggu lalu dilangsungkan. Dengan helaan napas panjang yang tidak juga terasa lega, Janisha mengumpulkan lembar jawabannya di depan meja dosen lalu keluar.
KAMU SEDANG MEMBACA
In My Feeling
FanfictionJanisha Sabira, seorang mahasiswa tahun pertama jurusan ilmu komunikasi. Ketidakmampuannya menunjukkan perasaannya lewat kata, tindakan, bahkan ekspresi membuatnya terkesan dingin yang cenderung jutek. Ia bertemu dengan Jeffrey Adito, seorang kakak...