Bagian 29: Jeffrey, Jevano, dan Papi Adito

9.1K 1.6K 37
                                    

selamat hari minggu!!!
maafkan saya telat update lagi-lagi karna sibuk bgt jadi anak hima buset?!
cerita dikit, tadi ketemu adek-adek maba yang akan join hima jugak. siapa tau disini ada adik tingkat saya yang baca? ayo sebut nama kampus dan fakultas kalian!!

***

Jeffrey mengetuk pintu kayu berwarna putih milik sebuah rumah bergaya klasik. Kedatangannya disambut oleh asisten rumah tangga yang langsung mempersilahkannya masuk dan langsung menuju ruang makan, tempat yang menjadi alasan Jeffrey kesini menunggunya.

Seorang pria berumur akhir empat puluh tahunan sedang duduk di salah satu kursi meja makan menyapanya dengan senyuman hangat. Ialah Papi Adito, ayah dari Jeffrey dan Jevano.

"Papi kok enggak bilang sebelumnya? Kalau gitu Jeffrey jemput di bandara." Ujar Jeffrey begitu berhadapan dengan Papi.

"Biar surprise," jawab Papi yang memang jenaka.

"Lagian Papi kesini ditemani Pak Yogi," lanjutnya.

Pak Yogi adalah asisten atau orang kepercayaan Papi Adito selama lima belas tahun terakhir.

"Duduk dulu, Bi Narmi sudah masak banyak. Masakan Bi enak lho."

Jeffrey pun duduk pada kursi meja makan yang berseberangan dengan Papi Adito. Beliau mempersilahkan anak sulungnya itu makan. Kegiatan sederhana yang dua tahun belakangan tidak pernah terjadi lagi. Sekilas bayangan ketika meja makan masih berisikan Papi, Mami, Jevano, dan dirinya pun terlintas.

"Jevan gimana, Jeff?" Tanya Papi di tengah aktivitas makan.

"Tadi belum pulang, Pi, kayaknya masih main sama temen-temennya."

"Gimana sekolahnya?"

"As we know, Jevan masuk sepuluh besar lulusan terbaik. Semoga juga dia lulus di jurusan yang dia mau."

Papi tersenyum bangga. Ya, ia belum bisa berbicara dengan anak bungsunya itu selama dua tahun ini. Beliau paham Jevano pasti sangat kecewa padanya. Bahkan kedewasaan juga belum cukup untuk membuat kesalahannya bisa dimaklumi. Butuh keikhlasan besar seperti yang dilakukan Jeffrey. Dan dengan sadar beliau paham untuk tidak menuntut agar kesalahannya bisa dimaafkan.

"Pak Danuarta dan Celine gimana keadaannya?" Tanya Papi atas kondisi tetangga rumah lama yang cukup akrab dengan mereka.

"Pak Danuarta masih dirawat, Pi, enggak banyak kemajuan. Dan Celine, seperti dirinya selalu, anak cewek kuat."

"Cewek yang tampak luarnya kuat itu yang malah kadang paling rapuh. Kamu harus terus support dia."

Papi melanjutkan, "Ngomong-ngomong, maaf banget nih, Papi ganggu malam minggu kamu."

Jeffrey terkekeh, "Enggaklah, Pih, enggak malam mingguan juga."

"Celine sibuk?"

Jeffrey mengernyit sejenak sebelum paham maksud Papi. Ia berkata, "Ah enggak, Pih. Jeffrey udah enggak pacaran sama Celine."

"Kenapa? Celine is a good girl, she is smart, beautiful"

"Kita berteman baik," jawab Jeffrey setidaknya mewakili semua penjelasannya.

Tidak ingin membahas Celine lebih lama, ia pun mengalihkan pembicaraan. Jeffrey bertanya, "Papi berapa lama di Jakarta?"

"Cuma seminggu, ada beberapa urusan."

Papi turut bertanya, "Kuliah kamu lancar-lancar aja 'kan?"

Jeffrey mengangguk, "Lancar kok, Pi. Next semester bakal KKN, then berurusan dengan skripsi dan ujian akhir."

In My FeelingTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang