Bagian 54: Tentang jarak dan perasaan

6.9K 1K 6
                                    

guys, maaf banget jadi jarang update huhuuuu
makasih buat kalian yang tetap nungguin, lopyuuuu

****

"Makan dulu, Jeff," ucap Mami sambil meletakkan sepotong sandwich dan segelas susu putih di meja belajar putra pertamanya.

"Iya, Mih," Jeffrey menyeruput susu putih tersebut lalu lanjut menarikan jemarinya di atas keyboard laptop.

"Tugas bisa menunggu, tapi perut kamu enggak. Kamu harus dalam keadaan yang baik supaya menghasilkan pekerjaan yang baik."

Dengan patuh, Jeffrey menyingkirkan tangannya dari laptop, beralih ke sandwich buatan Mami. Seminggu ini Jeffrey benar-benar fokus mengerjakan penelitian sesuai dengan judul skripsi yang ia ambil. Sulit sekali menjaga semangat untuk mengerjakan tugas akhir ini, jadi ketika jiwa Jeffrey sedang menggebu-gebu seperti sekarang, ia akan segera menyelesaikan apa yang bisa diselesaikannya.

"Lagi nggak ngomong sama Jevano?" tanya Mami ditengah aktivitas makan Jeffrey.

Jeffrey meletakkan piringnya lalu menatap Mami dengan serius, mungkin sekarang waktu yang tepat untuk membicarakannya.

"Mami tau satu-satunya alasan Jevano diemin Jeffrey berhari-hari," ujar Jeffrey.

Mami mengangguk paham. Ya, satu-satunya masalah di antara dua bersaudara itu adalah sikap mereka yang bertolak belakang. Salah satunya dalam menyikapi permasalahan dengan Papi mereka. Jeffrey yang lebih dewasa telah memaafkan Papinya dan menjalin hubungan selayaknya dahulu kala ketika keluarga mereka masih utuh, sementara Jevano yang belum membuka pintu maafnya sama sekali.

"Mi, Papi tawarin aku S2 di Amerika," ucap Jeffrey membuat permasalahan antara dirinya dan Jevano jelas bagi Mami Meisha.

"Kamu sendiri gimana?" tanya Mami, "Ya, kalau kamu memang mau kuliah disana, lakukan."

"Jeff, sebesar apapun kesalahannya, dia tetap Papi kalian. Mami sendiri sudah memaafkan Papi sejak awal, tapi terkadang memaafkan bukan berarti bisa membuat semua yang sudah pecah kembali utuh. Untuk kamu dan Jevano, memaafkan atau tidak itu pilihan kalian. Mami nggak mau mengatur perasaan kalian yang tentunya juga hancur setelah hari itu."

"Mami nggak pernah minta anak-anak Mami memusuhi Papi. Makanya kamu jangan pernah merasa nggak enak sama Mami tiap berhubungan sama Papi, malah Mami senang karna kamu bisa bersikap lebih dewasa untuk hal itu."

"Sekarang kalau kamu mau kuliah di Amerika, itu tergantung kamu. Kalau Mami melarang, artinya Mami menghalangi kebahagiaan anak Mami cuma karna ego. Cukup sekali, Jeff, cukup saat itu."

"Mami, getting divorce is not your fault. You deserves to be happy too," ujar Jeffrey.

Kemudian, entah lari kemana semangat untuk mengerjakan tugas akhir yang berhari-hari kemarin melingkupi Jeffrey. Pikirannya kini berganti menjadi pertanyaan, apakah ketika ia mengambil S2 di Amerika itu benar-benar karena keinginannya, karena sebuah cita-cita yang ingin ia kejar, ataukah hanya untuk menyenangkan Papi?

Mungkin karena selama ini ia terlalu sering mengalah dan mendahulukan keinginan orang lain, sehingga terkadang sulit baginya untuk membedakan antara keinginan sendiri atau mementingkan orang lain itu.

Ia berdiri di depan pagar sebuah rumah berwarna hijau khas asrama tentara, tidak lama kemudian beberapa gadis keluar darisana. Keempatnya kompak menatap dirinya dengan tanda tanya, terlebih gadis yang datang paling belakang.

"Kak Jeffrey kok tau aku disini?"

Sebagai pelakunya, Nadine menyahut, "Gue, gue, emang nggak boleh ya?"

In My FeelingTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang