***
"Jeff, gue tau mau sidang skripsi emang stres banget, tapi muka lo jangan nelangsa gitu dong?" ujar Tian risah melihat wajah misuh sahabatnya itu.
Jeffrey menghela napas berat, "Cewek kalau ngambek tapi kita nggak tau salah kita gimana sih?"
Tian berdecak, "Sialan, gue pikir lagi pusing mau sidang skripsi, ternyata masalah cewek."
"Sidang skripsi bisa ditaktisi dengan belajar, lah cewek ngambek ditaktisi pake apa?" Doni menceletuk.
"Beliin apa kek," jawab Tian santai.
"Janisha bukan tipe cewek gitu," sahut Jeffrey.
"Emang lo buat masalah apa sih?" tanya Tian.
"Kalau gue tau masalahnya, gue nggak bakal bingung gini."
"Gitu tuh, cewek emang sulit. Marah, tapi pas ditanya salah kita apa jawabnya nggak tau!"
"Bro, lo jangan ikutan curhatlah," kekeh Tian mencibir pernyataan Doni.
"Lo pada aneh deh, muka sama badan doang laki, jiwa lembek banget kalau udah urusan sama cewek."
Doni lantas menanggapi, "Batu sekeras apa juga pasti punya titik leburnya, sama kayak manusia, lo selaki apa juga kalau udah dihadapkan sama pawang lo bakal lembek juga."
Kring...
Ponsel Jeffrey berdering menandakan panggilan masuk. Pada layar ponselnya tertera nama pemanggil, Papi.
"Iya, Pih?"
"Jeff, Papi bisa minta tolong nggak?"
"Iya, bisalah Pih. Minta tolong apa?"
"Kamu ke rumah Papi ya. Cari surat kontrak di map warna biru di ruang kerja Papi, terus scan dan kirim ke email Papi."
"Oke, Pih."
Setelah menutup panggilan, Jeffrey pun bergegas pamit untuk memenuhi permintaan Papi Adito itu. Ia beranjak dari rumah Tian ke rumah Papi yang perlu memakan waktu sekitar dua puluh menit. Sesampainya di rumah Papi pun, ia disambut dengan Bi Narmi, asisten rumah tangga yang dipercaya menjaga rumah ini selama Papi Adito di Amerika.
"Saya disuruh Papi ambil sesuatu di ruang kerjanya," ujar Jeffrey sebagai bentuk izin karena bagaimana pun ini bukan rumahnya.
"Monggo, Den, Pak Adito sudah bilang." Ucap Bi Narmi mempersilahkan.
Jeffrey pun langsung saja menuju ruang kerja yang dimaksud Papi Adito, kemudian mencari letak map biru yang dimaksudkan. Beberapa saat lalu ia berpikir hanya ada satu map berwarna biru di ruangan ini, tetapi ternyata ada lebih dari sepuluh map dengan warna dan bentuk yang sama. Tidak ada pilihan lain selain membuka dan membaca untuk mencari surat kontrak yang diminta Papi tersebut.
Setidaknya sudah ada lima map biru yang dia buka, namun belum juga ia menemukan titik terangnya. Hingga map ke tujuh, masih bukan map yang ia cari, namun membuatnya berhenti untuk membaca lebih banyak dari sekedar judulnya. Pada kopnya tertulis Rumah Sakit Pelita Medika. Jeffrey tidak tahu dengan jelas isinya apa, ia juga tidak punya pengetahuan untuk membaca surat dari rumah sakit seperti ini. Pada intinya surat itu merupakan surat keterangan dari seorang dokter pada pasien yang namanya tertera pada lembaran tersebut, yang tidak lain adalah Adito, dengan penyakit jantung koroner.
Jeffrey membeku di tempat. Kaget, ia tentunya sangat terkejut dengan sebuah kebenaran yang baru diketahuinya ini. Papi Adito tidak pernah cerita, entah karena ia merasa sehat-sehat saja atau karena tidak ingin membuat anaknya cemas. Papi yang masuk rumah sakit saat berkunjung ke Indonesia kemarin itu seharusnya membuatnya mulai bertanya-tanya, bukan langsung menerima alasan kelelahan sebagai penyebab Papi di rawat.
Selanjutnya, ia tidak tahu harus bersikap seperti apa. Menghargai keputusan Papi Adito untuk menutupi semuanya atau harus apa. Penyakit jantung bukan penyakit yang sepele. Meski penderitanya terlihat sangat sehat, namun sewaktu-waktu bisa saja terjadi hal yang tidak diinginkan. Jadi sepertinya Jeffrey makin tidak bisa menolak tawaran Papi untuk dirinya melanjutkan S2 di Amerika. Ia kini mengerti mungkin sang papi hanya ingin selalu dekat dengan anak-anaknya.
Ia pun melanjutkan pencarian map biru yang diminta Papi sebelumnya, sebagai tujuan awal ia ada disini. Setelah itu melakukan sesuai permintaan Papi, scan dan kirim ke email. Kemudian, ia tidak langsung pulang, ia merasa perlu melakukan sesuatu terlebih dahulu. Ialah menelepon Pak Yogi, asisten papi yang hampir 24 jam bersama beliau.
"Ada apa Mas Jeffrey?"
"Pak Yogi lagi sama Papi?"
"Enggak, Mas, Pak Adito lagi di ruang meeting. Nanti kalau meetingnya selesai saya kabarin Bapak kalau Mas Jeffrey nelepon-"
"Oh, bukan, Pak," potong Jeffrey, "Saya memang mau bicara dengan Pak Yogi."
"Ada apa ya, Mas Jeffrey?"
"Papi baik-baik aja 'kan?"
"Baik kok, Mas."
"Dia nggak lagi sakit?"
"Enggak, Mas, Bapak sehat-sehat saja, sekarang juga lagi kerja."
"Atau mungkin kondisi yang nggak sakit, tapi juga nggak sehat?"
"Maksudnya bagaimana ya Mas?"
"Papi sakit jantung, udah separah apa?"
Pak Yogi terdiam, ia telah dipesankan untuk tidak menceritakan hal tersebut terkhusus pada Jeffrey dan Jevano.
"Saya nggak akan bilang ke Papi, saya cuma mau tau kondisi Papi sekarang."
"Ingat saat Pak Adito pingsan saat di Indonesia terakhir kali? Disitulah semuanya baru ketahuan. Dan hampir setahun berjalan, bisa dibilang kondisinya perlahan memburuk. Dokter sudah merujuk agar Pak Adito melakukan kateterisasi jantung untuk mengetahui kondisi penyumbatan di jantungnya."
Jeffrey terduduk lemas, walau ia tidak tahu pasti maksud dari prosedur yang disebutkan oleh Pak Yogi, namun yang pasti semuanya terdengar begitu menyeramkan. Satu yang pasti, ia takut Papi akan pergi lebih jauh dari Amerika.
Setelah itu, Jeffrey pulang ke rumah. Ia menjadi lebih banyak diam karena pikirannya semakin bercabang-cabang.
Di meja makan, saat ia, Mami, dan Jevano sedang makan malam ia hanya mencoba terlihat baik-baik saja.
"Mih, abis ini Jevano mau ke rumah Panji ya?"
"Iya,"
"Tapi pulangnya besok,"
"Itu nginep, No."
"Iya, nginep."
"Kenapa nginep?"
"Nginep aja, Mih."
"No, kamu ini mahasiswa baru harusnya sibuk menyesuaikan diri sama kampus. Jangan main mulu."
"Sekali-kali doang, Mih."
"Kemarin juga nginep 'kan?"
"Tapi 'kan nggak sering,"
"Mami nggak melarang, tapi kamu harus tau batas juga dong."
"Jevano juga 'kan cuma-"
"No, biasain nggak nyahutin orang tua," Jeffrey angkat bicara.
"Apaan sih lo?" sahut Jevano.
"Lo yang apaan?" balas Jeffrey, "Lo nyahut terus, itu namanya kurang ajar tau nggak?"
"Gue juga ngobrol sama Mami biasa aja," ucap Jevano.
Mami lantas menengahi, "Hust, udah-udah, jangan berantem lagi."
Jeffrey bangkit berdiri, kemudian beranjak meninggalkan meja makan. Sikapnya itu menimbulkan tanda tanya bagi Jevano maupun Mami Meisha.
"Mih, Jevano ngomongnya biasa aja 'kan?" Jevano mencoba meluruskan karena ia tidak merasa melakukan seperti yang dikatakan Jeffrey tadi.
"Iya," jawab Mami, "Mungkin kakak kamu lagi banyak pikiran."
"Mens kali dia?" desis Jevano sebal.
-tbc-
KAMU SEDANG MEMBACA
In My Feeling
Fiksi PenggemarJanisha Sabira, seorang mahasiswa tahun pertama jurusan ilmu komunikasi. Ketidakmampuannya menunjukkan perasaannya lewat kata, tindakan, bahkan ekspresi membuatnya terkesan dingin yang cenderung jutek. Ia bertemu dengan Jeffrey Adito, seorang kakak...