Akhirnya revisian ini selesai juga. Terima kasih buat kalian yang sudah menunggu, baik pembaca baru atau lama. Maaf ya kalau banyak bagian dari cerita yang tidak sesuai dengan keinginan kalian, karna ya... hidup memang tidak mengikui ekspektasi manusia, cerita fiksi yang terlalu sempurna hanya buat kita lupa akan hal itu😃
anyway, sampai jumpa di In My Feeling 2!
***
"Janisha, ayo selesaiin baik-baik," ucap Jeffrey dari sambungan telepon yang setelah dua minggu akhirnya dijawab oleh Janisha.
"Oke."
Mereka bertemu di sebuah tempat yang diatur oleh Jeffrey. Sebuah restoran yang cukup sepi untuk ukuran restoran di tengan kota, namun seperti pas untuk berbicara serius. Mereka sudah canggung sejak sepakat untuk bertemu langsung di tempat, tidak ada acara jemput dan menjemput.
"Hubungan kita nggak begitu baik akhir-akhir ini, aku tau itu salah aku, jadi aku minta maaf. Aku minta maaf untuk semuanya, menghilang, nggak ada kabar, bentak kamu, dan tentang Celine..."
Janisha menatap Jeffrey setelah kata terakhirnya itu. Cowok itu berkata, "Mami bilang waktu itu kamu datang, waktu Celine juga ada, dan mungkin kamu liat sesuatu yang bikin kamu salah paham."
"Salah paham tentang?" sahut Janisha.
"Apapun itu. Tapi demi apapun, aku cuma cerita tentang masalah aku ke Celine, and she's just hugs me as a friend."
"Itu masalahnya Kak Jeffrey. Aku bukan cemburu karna Kak Celine peluk kamu, kamu tau aku nggak pernah cemburu tentang itu. Aku cemburu karna kamu bisa cerita masalahnya sama Kak Celine, tapi nggak pernah bisa cerita sama aku. Aku bilang sama Kak Jeffrey, ngomong sama aku kalau ada masalah. Tapi nggak ada, tetap bukan aku orangnya."
"Kak, kita ini apa sih? Aku ragu pengertian kamu dan aku beda. Jangan-jangan menurut Kak Jeffrey kita ini cuma hubungan yang ada untuk hal-hal yang menyenangkan, padahal bukan itu maksud aku. Aku butuh Kak Jeffrey dalam keadaan apapun dan aku berharap Kak Jeffrey pun sama."
"Aku nggak mau kamu berpikir begitu," ucap Jeffrey.
"Tapi Kak Jeffrey yang buat ini jadi gitu."
Jeffrey menatap gadisnya dengan penuh rasa bersalah. Ia sudah melanggar janji pada dirinya sendiri untuk tidak membuat Janisha kecewa apalagi merasakan hal yang demikian.
"Jadi ke Amerika?" tanya Janisha.
"Papi sakit, Jan. Dia nggak tau kalau aku tau dia sakit. Ini permintaan Papi, yang entah itu permintaan karna dia lagi sakit jadi pengen dekat sama anaknya atau cuma keinginan seorang ayah yang mau melihat anaknya berpendidikan tinggi. Dua kemungkinan itu mewakili pilihan ku, iya atau enggak."
"Maaf baru cerita sekarang," lanjut Jeffrey.
Ia pindah ke kursi tepat di samping Janisha, kemudian menggenggam tangan gadis itu erat dengan kedua tangannya. Jeffrey menatap Janisha kemudian berkata, "Janisha, aku sayang sama kamu, sangat. Mungkin karena rasa sayang itulah yang buat aku lebih cenderung berbagi hal-hal menyenangkan daripada sedihnya aku. Tapi logika ku nyatanya malah mengecewakan kamu. Aku minta maaf udah buat kita jadi begini."
"Mau bagaimanapun kamu penting buat aku, tapi ada beberapa hal yang nggak bisa aku jelasin sekarang dan aku nggak mau kamu kecewa lebih banyak lagi," tatapan Jeffrey semakin lekat mengunci kedua bola mata yang berusaha keras menahan ledakan sesuatu yang menggenang di pelupuk matanya, "Kita mungkin harus istirahat dulu."
Tatapan sendu gadis itu berubah jadi tatapan bingung, mempertanyakan maksud dari kalimat terakhir dari cowok dihadapannya itu. Kalimat yang ia harapan dirinya hanya salah dengar. Namun cowok itu berhenti disana, seolah tidak ada penjelasan lain karena kejelasannya memang hanya demikian.
Logikanya, dalam keadaan seperti ini kalimat itu harusnya muncul dari Janisha. Namun, mengapa malah Jeffrey?
Janisha menarik tangannya dari genggaman Jeffrey. Ia berkata lirih, "Kenapa nggak putus aja?"
"Jan, aku tau-"
"Apa sih yang Kak Jeffrey tau tentang aku?" potong Janisha.
Janisha mengangguk paham atas kebisuan Jeffrey, "Sama, aku juga kayaknya nggak tau apa-apa tentang Kak Jeffrey. Jadi kita pacaran atau enggak juga nggak ada bedanya."
"Kak Jeffrey," lanjut Janisha, "Break itu cuma buat orang-orang yang ragu sama hubungannya, tapi juga nggak mau melepaskan karena keegoisannya. Sekarang kalau kita break, kamu pergi jauh, apa yang mau diharapkan dari hubungan kayak gitu?"
"Aku nggak mau kita selesai disini," ujar Jeffrey.
"Aku nggak akan tunggu Kak Jeffrey," tegas Janisha kemudian bangkit berdiri, berniat beranjak pergi.
Dengan cepat Jeffrey turut berdiri kemudian menarik gadis itu ke dalam pelukannya. Alih-alih merasa hangat, keduanya sama-sama sesak karena mungkin pelukan ini menjadi yang terakhir bagi mereka. Pelukan hanya berlangsung beberapa detik sebelum Janisha menarik dirinya keluar. Gadis itu pergi dengan perasaan yang hancur, meninggalkan seorang cowok yang sama hancurnya.
Di detik-detik dalam pelukan Jeffrey itu, Janisha berharap setidaknya cowok itu akan mengucapkan kata-kata yang akan meluruskan kekacauan malam ini. Mungkin seperti menarik atau memperbaiki perkataannya atau memberi kepastian tentang lanjut tidaknya hubungan mereka ataupun juga setidaknya berjanji untuk pulang di suatu hari di depan sana. Namun, jangankan perkataan yang bisa dipegang, Jeffrey bahkan tidak memberinya angan untuk diharapkan.
Delapan bulan bukan waktu yang sebentar. Ada banyak cerita dari hubungan Janisha dan Jeffrey. Mengenal Jeffrey entah nantinya akan menjadi sebuah penyesalan atau tidak, namun setidaknya ia pernah mencintai seseorang yang membuat Janisha bisa lebih memahami orang lain, sedikit bisa menurunkan egonya, dan lumayan bisa mengendalikan emosi yang biasanya meledak-ledak.
Berakhir, putus, istirahat, atau entah apa sebutannya. Pada intinya masa depan itu, baik atau buruk, masih menjadi rahasia. Bagaimana arti selesai itu akan dimaknai, tergantung apa yang akan terjadi di depan sana. Dan sejujurnya, Janisha bukan orang yang berani untuk berharap terlalu banyak, sebab perasaan yang paling ia benci adalah kecewa.
Kemudian, bagi Jeffrey, Janisha tetaplah seseorang yang ia inginkan untuk menemaninya dalam waktu yang lama. Akan tetapi, ia tidak akan mengikat Janisha dengan janji. Setelah semua ini, ia mengerti untuk tidak ditunggu.
Bulan Juni, hampir sebulan setelah Jeffrey pindah ke Amerika. Sebuah kotak kecil yang diantarkan oleh Jevano sampai ke tangan Janisha. Berisi kalung emas putih dengan liontin huruf 'J'. Entah, berarti Janisha atau Jeffrey, yang pasti merupakan kado ulang tahun yang ditandai dengan sepucuk catatan kecil berisikan ucapan selamat ulang tahun dan harapan-harapan baik. Sayangnya cita-cita untuk merayakan ulang tahun dengan Jeffrey harus berguap bersama dengan udara yang mengiringi pesawat Jeffrey ke Amerika.
Selanjutnya, berhari-hari, berbulan-bulan, hingga bertahun-tahun tidak ada kabar, telepon ataupun pesan singkat dari Jeffrey. Orang-orang yang kemungkinan besar tahu akan hal itupun seperti kompak bungkam layaknya sudah janjian untuk tidak mengatakan apa-apa pada Janisha. Sehingga Janisha menganggap hal tersebut sebagai cara yang diberikan Jeffrey agar tidak terlalu menunggu atau bisa jadi melupakan dirinya.
Sebab, melupakan itu perihal waktu. Perasaan rindu itu manusiawi. Nanti, pada suatu hari di depan sana, pasti akan ada saat dimana ia tidak akan lagi meminta untuk setidaknya Jeffrey mampir di mimpinya saja.
Selebihnya, Janisha hanya akan melanjutkan kehidupan senormal yang dahulu ia lakukan sebelum bertemu Jeffrey. Aktivitas kuliah, ribut dengan Deva, main dengan teman-temannya, sibuk dengan dunianya sendiri, dan hal-hal lain selayaknya gadis 20 tahun pada umumnya.
-END,
for now-
KAMU SEDANG MEMBACA
In My Feeling
ФанфикJanisha Sabira, seorang mahasiswa tahun pertama jurusan ilmu komunikasi. Ketidakmampuannya menunjukkan perasaannya lewat kata, tindakan, bahkan ekspresi membuatnya terkesan dingin yang cenderung jutek. Ia bertemu dengan Jeffrey Adito, seorang kakak...