***
"Ini serius nih, jam 22.00, Janisha Sabira ke rumah gue cuma buat curhat?" Ucap Sarah yang masih tidak percaya dengan yang terjadi saat ini.
Janisha berdecak, namun tidak punya kalimat untuk membela diri. Artinya, pikiran seorang Janisha Sabira itu sudah benar-benar semrawut. Dan orang yang terpikirkan untuk ia ajak bicara saat ini hanyalah Sarah. Walau memang terkadang sering terlambat konek, namun sebenarnya Sarah sangat bisa diajak deep talk.
"Kenapa sih? Kenapa? Masih soal Jeffrey yang mau ke Amerika?" tanya Sarah.
"Ya, iya..."
"Lo percaya 'kan sama dia?"
"Percaya!"
"Terus?"
"Gue nggak percaya sama diri gue sendiri,"
"Wah, lo mau jelalatan?"
"Eh, sialan, bukan itu!"
Janisha melanjutkan, "Sar, lo tau 'kan gue tuh pacaran cuma sekali dan putusnya karna alasan 'bosen'?"
"Udah gitu baru dua minggu pacaran lagi?" timpal Sarah yang juga sudah tau masa lalu Janisha itu.
"Ya, karna sama dia terlalu banyak konflik. Sama mantannyalah, sama dia yang sering ilang-ilangan. Sama mantannya mah gue mah bisa bodo amat, tapi sama dia yang ilang-ilangan itu yang gue nggak bisa. Walaupun kita ketemu di sekolah, tapi itu pun jarang ngobrol juga."
"Dan sekarang, dengan posisi yang sama. Bukan tentang masa lalunya, tapi tentang Kak Jeffrey yang gue rasa gue belum memiliki dia sepenuhnya-"
"Ya, nikahlah kalau mau memiliki seutuhnya-"
"Anjing, bukan itu maksud gue!"
"Aw, kasar!"
"Maksud gue, masih banyak tentang Kak Jeffrey yang gue nggak tau. Dan bodohnya gue nggak punya keberanian buat nanya. Ya, lo tau gue 'kan? Gue nggak mau terkesan kepoin urusan orang. Kalau lo mau cerita ayo, kalau nggak yaudah. Tapi masalahnya-"
"Lo pelan-pelan deh, kecepatan otak gue ini 3G tau nggak?" potong Sarah ikut pusing dengan perjelasan Janisha.
"Gini ya, Sarah, sering banget gue jadi orang terakhir yang tau masalah Kak Jeffrey. Dan itu selalu disaat gue udah mulai overthinking, pokoknya gue baru tau semuanya disaat kita udah nggak baik-baik aja. Dia juga tiap ada masalah nggak cerita, tapi sama gue tuh nunjukin kalau dia lagi ada masalah. Ya, gimana gue nggak merasa mungkin gue melakukan kesalahan? Yang lo taulah kalau gue disalah-salahin disaat gue nggak merasa salah, gue pasti kesel!"
"Oke, jadi hubungannya sama lo nggak percaya sama diri lo kalau kalian LDR apa?" Sarah mencoba menghubungkan kalimat panjang Janisha itu dengan permasalahan awal.
"Enggak, belum. Itu masalah pertama. Latar belakang terjadinya masalah ini."
Sarah mengernyit bingung, "Yaudah, sekarang masuk di rumusan masalah kalo gitu?"
"Rumusan masalahnya, kita satu negara aja udah sering misskom, gimana kalau udah beda? Dia kalau ada masalah tuh kadang ilang, terus kalau dia di luar negeri gue cari dia dimana? Untuk komunikasi pasti kita harus nentuin waktunya, karna Jakarta-Amerika itu beda 12 jam-"
"-aduh gue juga pusing deh apa masalahnya, intinya gue nggak bisa LDR tapi gue sok tegar bilang gue bisa karna gue enggak enak!"
Sarah terperangah, mencoba memahami setiap penjelasan Janisha yang terkesan acak. Dan yang ia pahami dari sahabatnya itu adalah Janisha memang tidak biasa menjelaskan tentang perasaannya pada orang lain. Ia terbiasa menyimpan hingga sekian banyak, sampai dirinya tidak mampu untuk merasakan dan memikirkannya sendirian, sehingga segala penjelasannya menjadi campur aduk.
"Yang gue tau dari lo, lo itu jatuh cinta karna terbiasa. Dan terbiasa itu tercapai kalau ada interaksi, langsung. Jadi tipe kayak lo emang sudah untuk diajak LDR. Tapi..., itu 'kan kalau? Kalau itu itu cuma angan-angan yang bisa jadi iya dan bisa jadi enggak. Lo nggak bakal tau kalau belum coba,"
"Jan, yang buat gue yakin buat selesai sama Narendra, setelah segala ketakutan gue adalah kata-kata lo yang itu. Kita enggak bakalan tau kalau kita belum coba, belum pernah melalui itu."
"Lo putus sama Narendra?" interupsi Janisha di luar topik karena ikut kaget dengan informasi tiba-tiba dari Sarah.
"Ck, iya!"
"Ih, kapan? Bukannya kemarin lo jalan ya?"
"Jalan doang, nggak pacaran lagi!"
"Dih, putus mah putus aja, enggak ada istilah baik-baik."
"Udah deh, sekarang ini waktunya lo yang curhat!"
"Iya juga ya. Ngurusin masalah orang mulu udah kayak nggak punya masalah."
"Tapi Sar," lanjut Janisha, "Gue tuh kadang bingung. Ini tuh ada masalah karna emang ada atau karna gue yang buat ya? Maksud gue tuh kayak, ini harusnya gue nggak usah mikirin ini nggak sih?"
"Emang dasar dua manusia dalam satu tubuh ya lo," ujar Sarah, "Namanya juga punya hati, punya otak. Buat merasa dan mikir. Apa salahnya mengkhawatirkan masa depan? Apalagi tentang orang yang lo sayang. Lo kayak gini karna sayang 'kan sama Kak Jeffrey? Lo nggak mau jauh dari dia."
Janisha menghela napas berat, "Ini kalau Kak Jeffrey denger udah gede kepala dia."
Itulah Janisha yang bisa mengiyakan tanpa kata iya.
Malam ini Janisha memutuskan untuk menginap di rumah Sarah. Sehingga besoknya, Janisha dan Sarah berangkat bersama ke kampus. Sebelum mengisi kelas hari ini, keduanya kompak membutuhkan asupan makanan terlebih dahulu agar busa lebih fokus kelas. Untuk itu mereka mampir di kantin fakultas sebelum melanjutkan perjalanan kelas.
"Kak-"
"Kamu darimana aja sih?" Ucap Jeffrey memotong Janisha yang berniat untuk menyapa.
"Hah?"
"Kata mama kamu buat nginep di rumah Nadine, tapi kata Nadine kamu nggak ke rumah dia."
"Ya, nggak jadi, aku-"
"Terus kemana?" Jeffrey kembali memotong.
"Di rumah Sarah," jawab Janisha mulai kesal dengan intonasi Jeffrey yang sejak awal tidak seperti biasanya. Dan yang pasti intonasi itu adalah intonasi yang paling tidak ingin di dengar Janisha dari orang lain yang berbicara kepadanya.
"Bisa nggak sesekali kamu yang ngabarin dulu?" ucap Jeffrey menatap lurus gadis di hadapannya itu, "Bisa nggak buat khawatir?"
Janisha hanya terdiam di tempat. Turut menelusuri sorot mata Jeffrey yang sepertinya menyimpan banyak hal, termasuk yang telah ia luapkan barusan. Tentang Janisha yang hampir tidak pernah mengirim pesan atau menelepon duluan.
Jadi sebenarnya, siapa yang paling sering menciptakan miss komunikasi di antara keduanya itu?
Jeffrey pergi tanpa sepatah kata pun, meninggalkan Janisha yang masih mematung di tempatnya, mencoba memahami situasi. Sarah menepuk bahunya untuk menyadarkan ia kembali ke dunia nyata, tidak larut dalam lamunan yang mengira apa yang terjadi barusan tidak nyata.
Janisha menoleh pada Sarah, "Sar, Kak Jeffrey bentak gue ya?" tanyanya dengan nada bergetar.
"Enggak, dia mungkin-"
"Ayo, ke kelas," Janisha mengalihkan pembicaraan. Seperti biasa, Janisha akan menyembunyikan segala perasaannya seolah ia baik-baik saja dalam keadaan paling tidak baik-baik saja sekali pun.
-tbc-
waduch
KAMU SEDANG MEMBACA
In My Feeling
FanfictionJanisha Sabira, seorang mahasiswa tahun pertama jurusan ilmu komunikasi. Ketidakmampuannya menunjukkan perasaannya lewat kata, tindakan, bahkan ekspresi membuatnya terkesan dingin yang cenderung jutek. Ia bertemu dengan Jeffrey Adito, seorang kakak...