***
Jeffrey dan Wira menyelesaikan kelas terakhir hari ini. Keduanya adalah mahasiswa semester enam yang beberapa bulan lagi harus memikirkan urusan KKN dan berkutat dengan skripsi di semester selanjutnya.
Di tengah perjalanan mereka, "Jeff, Jeff," Wira menyikut lengannya sebagai ajakan untuk melihat ke arah yang ia lihat.
Melihat apa yang dimaksud Wira, Jeffrey pun paham.
"Lo beneran sama Marissa?"
"Ya iya,"
Jeffrey terkekeh, "Anjir, lebih cepet dari gue."
Faktanya, Jeffrey duluan yang dekat dengan Janisha, namun yang kisah cintanya lebih mulus malah Wira dan Marissa.
"Hai," sapa Wira saat kini sudah tepat berhadapan dengan Marissa.
Marissa tidak datang sendiri, melainkan dengan Sarah dan Nadine.
"Aih, hai katanya, Ca!" Nadine menyenggol bahu Marissa bermaksud menggodanya, namun malah dibalas geplakan. Galaknya Marissa itu benar-benar dalam artian galak sesungguhnya.
"Aduh, kejem banget!"
Ketidakhadiran satu orang yang biasanya selalu empat serangkai itu membuat Jeffrey bertanya, "Janisha mana?"
"Lagi ke toilet,"
"Oh...," jawab Jeffrey.
Beberapa detik berselang, "Gue duluan ya," pamitnya kemudian langsung pergi. Benar, ia pergi menemui Janisha untuk meluruskan suatu hal.
Setelah ia pikirkan lagi, mendengar Janisha menanyakan tentang perempuan yang bersamanya dan setelah mengikuti saran Lisa untuk melihat bagaimana gadis itu melihatnya, ia memastikan bahwa belum waktunya untuk menyerah tentang Janisha.
Ia berhenti beberapa meter di depan pintu toilet. Tidak lama kemudian, seseorang membuka pintu toilet secara kasar. Ialah Janisha yang kini menatapnya tajam seperti Jeffrey telah melakukan kesalahan. Gadis itu kemudian pergi tanpa sepatah kata pun membuat Jeffrey benar-benar bingung.
"Heh, gue bel—"
Seseorang lain menyusul kepergian Janisha.
"Rachel?"
"Jeffrey..."
"Lo apain Janisha?" Tanya Jeffrey langsung.
"Enggak gue apa-apain," jawag Rachel lalu meninggalkan Jeffrey.
Jeffrey semakin bingung. Satu hal yang pasti adalah Rachel mungkin mengatakan suatu hal yang tidak mengenakkan Janisha sehingga gadis itu nampak begitu kesal dan marah. Sejujurnya ini kali pertama dirinya ditatap sedingin itu oleh Janisha.
Jeffrey menyusul Janisha untuk bertanya langsung. Namun kelas Janisha sudah dimulai. Jeffrey tidak bisa memikirkan apapun selain menyusup ke dalam kelas tersebut. Ia duduk pada kursi tepat di belakang Janisha, bersampingan dengan Arka. Ia mengabaikan semua pertanyaan dari Arka, Leo, Nadine, Marissa, dan Sarah mengenai apa yang terjadi karena ia pun belum mengerti.
Sementara Janisha hanya diam. Berpura-bura fokus pada penjelasan dosen di depan sana, mengabaikan Jeffrey yang menunggu penjelasannya. Susah payah ia menahan bibir agar tidak bergetar atau air matanya hanya mulai mengalir jika emosi yang menguasainya.
Dalam keadaan Janisha seperti ini, satu hal, jangan pernah mendatanginya dan bertanya kenapa. Janisha bukanlah orang yang mampu menyalurkan emosinya lewat kata-kata, karena baru membuka mulut saja ia pasti akan mulai menangis.
Kata-kata Rachel tadi terlalu memojokkannya. Seolah ialah yang bersalah jika Jeffrey tidak mencintai Celine.
Beberapa menit sebelum itu, Janisha pamit ke toilet sebentar dan menolak tawaran Sarah untuk menemaninya. Ia yang sedang mencuci tangan setelah menyelesaikan urusan di salah satu bilik kamar mandi, dihampiri seorang gadis yang baru saja keluar bilik toilet lainnya. Mengetahui orang itu Rachel membuat Janisha sudah berfirasat buruk.
KAMU SEDANG MEMBACA
In My Feeling
Fiksi PenggemarJanisha Sabira, seorang mahasiswa tahun pertama jurusan ilmu komunikasi. Ketidakmampuannya menunjukkan perasaannya lewat kata, tindakan, bahkan ekspresi membuatnya terkesan dingin yang cenderung jutek. Ia bertemu dengan Jeffrey Adito, seorang kakak...