Bagian 24: Benteng dan Penyangga

9.5K 1.4K 52
                                    

gatau deh mau note apa. vote and comment aja udeh.

***

Memeriksakan kehamilan menjadi agenda rutin Mba Vivi setiap bulan, sehingga sudah menjadi agenda rutin pula bagi Janisha untuk mengantar kakaknya itu. Suami Mba Vivi, Mas Mirza, bekerja di salah satu perusahaan konstruksi yang mengharuskan ia banyak keluar daerah, tergantung proyek.

Selagi Mba Vivi berurusan dengan dokter, Janisha sengaja memilih duduk di kursi tunggu agak jauh dari ruangan dokter Mba Vivi itu. Berada di tengan kerumunan orang asing hanya membuat kepalanya pusing.

"Janisha?"

Sebelum menjawab, orang yang menyebutkan namanya itu sudah duduk pada kursi tunggu tepat di sebelahnya.

"Kak Celine?"

Sepertinya tidak perlu heran jika ia bertemu Celine di rumah sakit ini, karena ayah gadis itu masih harus di rawat secara intensif disini. Janisha merasa lebih canggung daripada kali pertama mereka bertemu. Itu karena kalimat Rachel masih terlalu hangat di telinganya.

Celine membuka obrolan, "Sama siapa disini?"

"Kakak, dia lagi check up kandungan."

"Oh..., bakal jadi tante?"

"Udah ada sih sebenernya, ini yang kedua."

"Astaga, lucu banget dong?"

Sebenarnya bagi Janisha, daripada lucu, lebih ke melelahkan. Namun berkata seperti itu pada orang yang tidak begitu mengenalnya mungkin akan membuat dirinya terlihat seperti orang yang tidak penyayang alias jahat.

"Mm, Jan, gue boleh tau enggak?" Celine mengganti topik obrolan.

"Tau apa?"

"Lo beneran sayang sama Jeffrey 'kan?"

Janisha kembali melirik gadis yang duduk di sebelahnya itu dengan tatapan tidak percaya. Bagaimana seseorang bisa bertahan untuk membohongi dirinya lebih dari yang Janisha biasa lakukan. Sepandai-pandainya ia bersikap biasa saja, ia tidak pernah mencoba terlihat baik pada orang yang berkonflik dengannya. Secara logika, seharusnya Celine membenci atau menyercanya dengan kata-kata tidak mengenakkan seperti Rachel waktu itu.

"Jeffrey itu baik, banget. Dia juga enggak pernah macam-macam sama perempuan. Terlalu peduli sama orang sampai dia kadang lupa sama dirinya. Dan akhir-akhir ini gue seneng, semenjak kenal lo dia kayak ketemu sama apa yang harusnya dari dulu dia temuin."

Celine melanjutkan, "Jan, gue berharap lo bisa jadi orang yang selalu ada buat dia, bisa kuatin dia yang yang sok kuat. Lo enggak akan salah kok pilih Jeffrey, gue yang jamin."

Janisha menarik napas panjang sebelum memberanikan diri untuk turut bertanya, "Kak Celine sendiri... sayang sama Kak Jeffrey?"

"Sayang sebagai sahabat 'kan?" Ucap Janisha setelah Celine hanya terdiam, "Atau yang lain?" sebab jawaban sederhana itu harusnya dapat dijawab tanpa pikir panjang, kecuali jika memang seperti dugaan Janisha atau perkataan Rachel, Celine menyayangi Jeffrey bukan sebagai sahabat, melainkan seseorang yang ia cintai.

"Jan," kehadiran Mba Vivi menyela obrolan mereka.

Janisha pun bangkit dari duduknya kemudian pamit, "Duluan ya, Kak."

Dalam perjalanan pulangnya, ia terus memikirkan sikapnya pada Celine tadi. Benar, salah, atau entahlah pertanyaan tadi terlalu dingin pada Celine yang sejak awal hangat padanya. Ia hanya mengeluarkan apa yang berhari-hari belakangan menumpuk di kepalanya. Dan kemudian ia berpikir, "Apa emang gue yang jahat disini?"

In My FeelingTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang