Bagian 51: a Hug

7.5K 1K 17
                                    

peace✌🏻

***

"Apa lo liat-liat?" ketus Janisha pada Arka.

Arka mencibir, "Cewek mah gitu, marah sama siapa juga semuanya disensiin."

Untuk kelas mata kuliah Pengantar Humas hanya mereka berdua yang sekelas. Jadi setiap hari kamis pagi Janisha akan di ekori oleh Arka. Bukan cowok itu tidak punya teman lain, tetapi karakter Arka memang jika waktunya kuliah, ia ingin serius kuliah. Dan bergabung dengan cowok-cowok di belakang sana hanya akan membuatnya tertinggal pelajaran.

"Dia kenapa gitu sih?" tanya Janisha yang masih heran dengan sikap Jeffrey kemarin.

"Cemburulah, Jan."

"Segitunya? Sampai harus narik gue kayak kemarin?"

"Kemarin itu emosi Bang Jeffrey emang lagi kacau banget. Dia berantem sama adeknya, Jevano. Dan lo pasti taulah apa yang mereka ributin kalau sampai Bang Jeffrey begitu."

"Oke..., gue ngerti."

Kata-kata Arka berputar di kepalanya seharian. Dengan mengetahui bahwa Jeffrey punya masalah, apakah ia harus memaklumi sikap cowok itu kemarin? Sikap seolah ia turut melakukan kesalahan.

Ia mengerti Jeffrey sedang ada masalah, tetapi melampiaskan emosi itu pada orang yang tidak tau dan bahkan tidak ada hubungannya dengan masalah itu sepertinya bukan keputusan yang bijak. Dan, Janisha tidak mengerti kenapa tindakan seperti itu dilakukan oleh seorang Jeffrey.

Namun, disisi lain juga Janisha bisa mengerti bagaimana posisi Jeffrey yang harus berdiri di tengah badai antara Papi Adito dan Jevano. Mendewasakan diri, menurunkan ego, dan menahan amarah adalah sesuatu yang harus cowok itu selalu lakukan. Akan tetapi, di sisi lain memang Jeffrey juga manusia yang tidak bisa selalu sempurna.

"Aku juga nggak sesempurna yang kamu bayangkan. Jadi gimana kalau kita berusaha melakukan yang terbaik untuk kita?"

Kalimat Jeffrey hari itu memantapkan Janisha untuk meraih ponsel dan menelepon pacarnya itu.

"Iya, Janisha?"

"Kak Jeffrey lagi apa?"

"Nggak jauh-jauh dari skripsi."

"Udah makan?"

Ah, sebenarnya Janisha tidak punya persiapan tentang apa yang ingin ia sampaikan pada Jeffrey lewat panggilan telepon ini. Menyampaikan maksud secara tersurat sama sekali bukan dirinya.

"Udah, kamu?"

"Udah."

Terdengar kekehan Jeffrey dari seberang sana, "Jan, basa-basi itu bukan kamu banget."

"Mm...," Janisha hanya bergumam ria. Lidahnya mendadak keluh, bingung harus memulai darimana.

"Kamu sibuk nggak?"

"Enggak,"

"Ketemu yuk."

"Hah?" Janisha mengernyit, "Bukannya Kak Jeffrey lagi ngerjain skripsi?"

"Sebentar aja, deket-deket sini. Makan bakso depan kompleks?"

"Boleh deh," ucap Janisha, "Tapi kita ketemu disana aja ya?"

"Kenapa?"

"Males ditanyain sama Mama,"

"Bilang mau makan bakso sama Jeffrey."

"Iya, tapi—"

"Aku jemput kamu di rumah ya," potong Jeffrey, "Aku nggak suka kamu bohong sama Mama kamu. Kalau Mama kamu ngelarang, nggak usah pergi."

In My FeelingTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang