Rean meneguk ludahnya dengan susah payah. Meski kini yang terancam dipenjara adalah Liao, namun ia tahu jika dirinya takkan selamat dari yang namanya hukuman. Dan ia yakin, jika hukuman selanjutnya lebih parah dari dikurung di kamar sendiri.
Perlahan, ruang singgasana mulai terbuka lebar. Menampilkan anggota keluarga kerajaan selain Rean, dan para Mentri dan Jendral yang duduk rapi di sebelah kanan dan kiri karpet berwarna merah ini.
Keduanya, segera saja berjalan untuk menghadap ke arah Raja Xen. Raja yang kini menatap lekat dan tajam ke arah orang yang berada di sebelah Rean.
Bukan hanya Raja, para Mentri dan Jendral pun melayangkan tatapan menyelidik ke arah Liao. Tidak ada aura apapun yang dapat mereka rasakan, sehingga begitu sulit untuk menebak, kira-kira seperti apa Liao ini. Meski di pinggang orang itu, tersampir dua pedang yang salah satunya terbungkus kain hitam, namun mereka benar-benar masih belum bisa memastikan siapa Liao.
"Langsung saja. Rean, bukankah sudah jelas jika aku melarangmu bersama pemuda itu lagi?" Kecemasan Rean sedikit menghilang, tergantikan oleh rasa kesalnya pada Raja. Rupanya, di Istana ini tidak ada satupun orang yang mempercayai dirinya.
"Dan aku sudah bilang jika Liao adalah temanku." Ujar Rean dengan nada kesal yang begitu kentara. Mendengar hal itu, Raja Xen menggeram marah. Namun amarahnya tidak segera memuncak saat elusan lembut di punggung tangannya terasa.
Ratu menenangkannya. Dan beruntunglah Liao saat ini.
"Wahai pemuda, siapa namamu dan apa pekerjaanmu?" Dengan sigap, Liao langsung bertekuk lutut. Meski dirinya selalu berada di sekitaran hutan, ia masih memiliki etika yang diajarkan gurunya sejak ia kecil.
"Nama saja Xiliao Pefilia, Yang Mulia." Untuk sesaat, Raja Xen terlihat tegang. Meski hal itu tidak disadari banyak orang, namun tetap saja Raja Xen terlihat terkejut. Bukan hanya Raja, Ratu pun diam-diam menghembuskan nafasnya setelah beberapa detik tanpa sadar ditahan.
"Namamu seperti perempuan, bahkan suaramu juga. Apakah kau sebenarnya..."
"Dia memang perempuan." Potong Rean seraya membuka tudung yang menutupi kepala hingga wajah Liao. Akibat dari ulahnya itu, rambut Liao yang berwarna hitam legam terurai dan menampilkan wajah bak Dewi yang turun ke Bumi.
Bukan hanya Raja dan Ratu saja, yang kali ini terkejut. Semua orang yang berada di dalam ruang singgasana tidak dapat menyembunyikan rasa terkejutnya itu. Hal yang justru membuat Rean kesal, bahkan kini ia marah.
Liao sendiri hanya bisa menghela nafas panjang, disingkirkannya rambut yang menghalangi pandangannya itu ke belakang. Saat itu, pandangannya tak sengaja bertemu dengan penerus tahta kerajaan Elcar.
"Ingatlah, ketika Matahari telah bertemu dengan Bulan, ia takkan melepaskannya barang sedetikpun. Jika tidak ingin mendapat takdir ini, jangan mencoba menatapnya. Namun jika itu semua telah terjadi, tidak ada jalan lari darinya."
Beberapa saat, Liao memejamkan matanya setelah mengingat ucapan peramal saat itu. Ia lupa, melupakan fakta jika Matahari itu adalah Pangeran Zean. Tapi ia meyakini dalam hatinya, jika bukan dirinya yang merupakan Bulan. Ya, bukan dirinya.
Suara deheman Raja Xen yang lumayan keras, membuatnya kembali menjadi pusat perhatian. Meski tadi Raja Xen terlihat tegang, namun kini tatapannya telah menjadi tajam lagi. Terutama ketika Penasihat kerajaan, yakni Pofilius berbisik ke arah Raja.
"Aku akan tetap pada keputusanku. Meski kau adalah perempuan, namun kau akan tetap berbahaya bagi Istana. Kau orang asing dan datang dari belakang Istana. Kau adalah penyusup," Raja Xen masih memperhatikan Liao,namun ia tidak mendapati wajah takut dari perempuan itu meski satu kedipan mata sekalipun.
"Karenanya, kau akan aku..."
"Maaf menyela, Yang Mulia. Jika Anda berniat menghukum saja, maka izinkan saya untuk mengatakan hal ini," Liao menghela nafas panjang. Baginya, tidak ada lagi alasan dirinya untuk bersikap hormat pada pria tua di depannya. Ia bahkan berani menatap pemimpin kerajaan Elcar itu.
"Setelah Putri Rean kembali ke Istana, saya mendengar jika perampokan tersebut bukanlah perampokan biasa. Bahkan Putri Rean ditargetkan untuk diculik dan dijadikan tawanan mereka. Saya tidak dapat menyampaikan siapa saja yang terlibat, karena saya hanya mencuri dengar dari orang-orang bertudung di tengah hutan tempo lalu," Liao melirik ke arah Rean. Wajah perempuan itu sedikit memucat, tapi ia tetap harus menyampaikan hal ini.
Bukan agar dirinya bebas. Ia hanya tidak ingin Rean celaka. Hanya itu.
"Dan penculikkan itu berkaitan dengan penyerangan pada benteng Timur nanti. Saya harap, Anda mau menjaga putri Anda ini, Yang mulia." Tangan Raja Xen mengepal kuat. Namun, ketika ia hendak bicara, Pofilius langsung angkat bicara.
"Kau pastilah salah satu dari pengkhianat itu. Tak mungkin dengan mudahnya kau mendapat berita sepenting tadi." Liao menghela nafas jengah. Ia menatap datar Pofilius yang sebenarnya mulai cemas.
"Saya hanyalah pengawal bayaran biasa. Saya selalu berada di hutan, di mana saya tinggal selama ini. Dan saat itu, tampaknya mereka tidak menyadari jika ada saya di tempat yang sama," tatapan mata Liao kini menyelidik ke arah sekitarnya. Beberapa orang terlihat menyembunyikan keteganganya.
"Bukankah pernyataan Anda tentang saya bagian dari mereka adalah untuk Anda sendiri? Bukankah mungkin jika salah satu dari orang yang berada di Istana adalah pengkhianatnya?" Ucapan Liao telak membuat semua orang terdiam, terutama Pofilius yang sejak tadi ingin bicara dan menyudutkan Liao.
"Bagaimana mungkin aku tidak mengetahuinya?" Raja Xen mengepalkan kedua tangannya dengan begitu erat hingga buku-buku jarinya memutih.
* * * *
"Aku masih bingung dengan apa yang kau maksud tadi." Liao melirik ke arah Rean, yang saat ini tengah duduk di sebelahnya. Berbeda dengan dirinya sendiri yang tengah terlentang di atas rumput, di sebelah pohon yang ia naiki tadi.
"Kalau begitu jangan dipikirkan. Kau akan sakit kepala jika memaksakan diri memikirkan hal itu." Rean mencebikkan bibirnya, ia menoleh ke arah Liao yang saat ini tengah menikmati semilir angin.
Padahal dirinya merasa cukup dingin, mengingat kerajaan Elcar sudah tertutupi kabut selama belasan tahun lamanya. Entah apa yang sebenarnya telah terjadi. Namun, karena kabut ini, selain menyebabkan suhu dingin juga menyebabkan malam di Elcar begitu gelap gulita. Karena cahaya matahari maupun bulan tidak diizinkan nenembus kabut itu.
"Mmm...Liao," Liao tidak membuka matanya. Ia hanya bergumam seraya menaikkan sebelah alisnya saja. Tampaknya ia terlalu malas hanya sekadar membuka matanya.
"Bolehkah aku belajar menggunakan senjata? Maksudku, kau yang menjadi gurunya. Kau...mau, kan?" Tanya Rean dengan nada penuh harap.
Sebenarnya, bisa saja ia memanfaatkan posisinya sebagai Putri agar bisa belajar bermain senjata. Dan mungkin saja bisa berlaku pada Liao, memaksa Liao menjadi gurunya dengan posisi yang Rean punya. Namun ia tidak ingin melakukannya. Karena yang ada, Liao akan menjadi sangat membenci dirinya.
Keheningan dan Liao yang sedari tadi belum menjawab membuat dahi Rean mengerut. Langsung saja, Rean menoleh ke arah Liao untuk mengetahui kenapa sejak tadi Liao belum menjawab pertanyaannya.
Dan kali ini, dahi Rean tidak lagi mengerut. Malah ia menghela nafas panjang dengan bibir yang tersenyum masam. Bagaimana tidak? Orang yang sedari tadi ia ajak bicara tengah terlelap. Memang, sejak tadi Liao memejamkan matanya, namun kali ini Liao benar-benar tengah tidur.
Kesal memang, namun ketika melihat wajah lelah Liao membuat Rean mengurungkan niatnya untuk membangunkan perempuan ini. Lagipula, ia bisa mengatakan hal yang sama nanti setelah Liao bangun sendiri.
"Kurasa membuat pie Apel tidak akan lama." Gumam Rean, lalu ia segera bangkit dari duduknya. Berjalan ke arah para dayang yang memang sejak tadi ia perintahkan agar tidak mendekati dirinya dan Liao. Takut-takut jika mereka malah mengganggunya nanti.
Bandung, 01 Desember 2018
![](https://img.wattpad.com/cover/168832726-288-k752389.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Sword [THE END]✓
FantasyKisah antara seorang Pangeran dan seorang gadis dari desa. Satu takdir yang mempertemukan mereka, menjadi awal munculnya dua takdir yang berbeda. "Kita berada di takdir yang berbeda, Pangeran." Zean terdiam. Matanya langsung menatap lekat Liao, deng...