Sembilan

38 8 0
                                    

"Lagi,"

Shoot

"Lagi,"

Shoot

"Lagi,"

Shoot.

"Lagi,"

Shoot

Rean menghela nafas panjang, lalu menatap anak panah yang tersisa 3 buah lagi. Namun sampai saat ini, ia bahkan belum mendekati tengah-tengah dari sasaran, hanya dekatpun belum. "Gunakan sebaik mungkin," Rean menoleh ke arah Liao yang masih berdiri di belakangnya sedari tadi, menghela nafas lalu mengangguk.

Rean tidak ingin, latihan hari ini ditutup dengan kekecewaan. Setidaknya, berada dekat dengan pusat sasaran, itu sudah lebih baik. Daripada terus berada di lingkaran ke-2 atau 3 dari luar. "Tenangkan dirimu."

Benar, Rean sedari tadi gelisah, takut, dan juga cemas. Sejak awal, ia tidak bisa benar-benar fokus, sehingga cukup sulit untuk mengarahkan anak panah ke sasaran.

Shoot

Anak panah itu akhirnya dilesatkan, setelah beberapa kali Rean menghela nafas panjang. Namun, kini, perempuan yang menjadi Putri Elcar itu justru menutup matanya. Ia seolah takut untuk melihat, di mana anak panah terakhirnya menancap. Lain halnya dengan Liao, perempuan itu tersenyum, meski begitu tipis untuk disebut sebuah senyuman. Dengan pelan, Liao menepuk bahu Rean, sehingga perempuan itu langsung menoleh ke arahnya dengan cepat.

"Jangan memaksakan diri. Sebaiknya kau beristirahat, sebelum tanganmu luka." Dan setelahnya, Liao berjalan pergi meninggalkan Rean entah ke mana. Namun, setelah kepergian Liao, Rean menatap telapak tangannya yang mulai tergores, meski tipis. Bahkan, langitpun sudah mulai semakin gelap. Tampaknya, hari akan menjelang malam, dan Rean tidak menyadari hal itu.

Perlahan, Rean memberanikan diri untuk melihat dimana anak panahnya menancap. Hingga, mata itu terbelalak tidak percaya, bahkan busur yang ada di tangannya pun, terjatuh tanpa disadari.

Anak panah terakhir, berada tepat di tengah-tengah. Tidak sedikitpun berada di luar, tepat di tengah-tengah.

I-ini...tidak mungkin. Batin Rean. Ia terlalu terkejut, sangat terkejut. Baginya mustahil bisa memanah tepat di sasaran dalam waktu secepat ini. Meski memang, ia pernah beberapa kali memainkan busur milik Liao, namun itupun, memanah secara asal, tanpa memikirkan ke mana ia akan memanah. Bahkan, ia sama sekali tidak memakai anak panah.

"Tuan putri, Yang mulia Raja...," Rean tersadar. Ia menoleh, menatap ke arah salah satu dayangnya yang sedikit membungkuk, berdiri di belakangnya. Namun, sebelum Rean membuka mulutnya untuk bicara, suara dengan nada berat membuatnya kembali menoleh ke belakang,bahkan membalikkan tubuhnya.

"Rean, kau menggunakan senjata?" Tanya Raja Xen, yang nyatanya, terdengar sebagai pernyataan. Rean menunduk, ia lupa jika semua yang ada di sini, kecuali Liao, berpihak pada Raja. Yang tentunya, akan memberitahu segala hal termasuk latihan ini.

Namun, tampaknya keberuntungan masih ingin berpihak pada Rean. Di belakang Raja Xen, terlihat Zean yang berjalan mendekat. Dan seperti biasa, aura dingin langsung terasa, begitu Zean berada dekat dengan mereka.

"Biarkan saja, setidaknya, Rean harus bisa melawan jika kejadian itu terulang kembali." Ujar Zean dengan tatapan mata tajam, sama seperti tatapan Xen saat ini. Yang mengarah kepadanya.

"Sebenarnya, kau sedang membela perempuan itu, bukan?" Tanya Raja Xen dengan nada menyindir. Peristiwa kemarin, benar-benar membuatnya geram. Seorang Pangeran, penerus tahta kerajaan, berpelukan bahkan mencium perempuan asing, yang bahkan tidak jelas asal-usulnya. Xen benar-benar kesal, bahkan mungkin marah. Bagaimana tidak? Jika berita itu sampai terdengar oleh kerajaan lain, sangat tidak mungkin jika perjodohan antara Pangeran Zean dan Putri Leran akan gagal.

Zean tetap tenang, seolah ia tidak terpancing akan ucapan Ayahnya tadi. "Tidak juga. Meski seorang Putri, Rean harus bisa menggunakan senjata. Aku tidak ingin, jika peristiwa itu terjadi lagi, aku akan kehilangan satu-satunya saudaraku."

Xen membalikkan tubuhnya. Perdebatan antara Raja dan Pangeran, sesuatu yang belum pernah terjadi, yang tentu saja menarik perhatian banyak orang. Meski pada akhirnya, mereka hanya bisa melihat lewat lirikan saja, karena mereka tidak ingin mendapat hukuman dari pemimpin negeri Elcar itu.

"Tapi sayangnya, aku malah meragukan dirimu."

* * * *

Perlahan, kedua mata Liao mulai terbuka. Lalu, diikuti oleh tubuhnya yang perlahan bangun dari posisi tidurnya yang menyamping. Seperti kemarin, ia merasa jika tidurnya begitu nyenyak. Meski Liao harus mengakui, ada kekhawatiran jika ia tidur senyenyak ini. Ia menjadi tidak siaga pada sekitar. Memang, penjagaan di Istana ketat, namun bukan tidak mungkin, jika ada seseorang yang akan membunuhnya ketika Liao terlelap.

Tidak lama, setelah Liao terbangun dari tidurnya, beberapa dayang masuk ke dalam kamar. Mereka adalah beberapa dayang milik Rean, yang sudah pasti mendapat perintah untuk memastikan dirinya siap. Namun, sikap para pelayan yang seenaknya masuk, entah kenapa menimbulkan sedikit rasa kesal. Bukan, bukan karena ia merasa tinggi, hanya karena menjadi teman Rean yang merupakan seorang putri. Hanya saja, mereka bahkan tidak mengetuk pintu terlebih dahulu, hal yang seharusnya selalu dilakukan, meski bukan kepada kalangan bangsawan saja. Yang Liao tahu, para dayang istana seharusnya memiliki etika baik, apalagi mereka sering melayani para bangsawan yang memiliki kuasa tinggi, meski masih berada di bawah Raja.

"Putri Rean meminta Anda untuk memakai ini," salah satu dayang bernama Levia, menunjukkan gaun berwarna cokelat kayu. Dayang yang paling muda itu, terlihat takut ketika dirinya berada di jarak terdekat dengan Liao, meski diakui jika dirinya kagum pada rupa Liao yang begitu cantik. Seolah, kesempurnaan diberikan Dewi langit secara sempurna.

"Pu-putri akan marah jika Anda tidak memakainya lagi." Ujar Levia lagi, kalimat inipun merupakan perintah dari Rean juga. Katanya, jika tidak seperti ini, Liao tidak akan memakainya seperti kemarin. Lagipula, ini cara agar Liao tidak segera bertemu dengan Rean, mengingat apa yang telah terjadi kemarin.

"Hm, aku akan memakainya." Ujar Liao, ia langsung mengambil gaun dari tangan Levia. Setelahnya, perempuan itu langsung berlalu menuju ruangan lain, yang menjadi kamar mandinya. Meninggalkan, setidaknya 5 dayang yang masih berdiri di kamarnya, seolah memastikan apakah Liao memakai gaun itu atau tidak.

Levia menghela nafas panjang, matanya bergerak untuk mengamati keseluruhan kamar yang Liao tempati. Memang tidak seluas ataupun semewah milik para bangsawan, namun tempat ini begitu rapi. Padahal, tidak ada satupun pelayan yang mau membereskan kamar ini. Entah apa alasannya.

Hingga, tatapan mata Levia berhenti tepat pada dua pedang, yang diletakkan di atas lemari kecil di salah satu sudut ruangan. Salah satu pedang itu, begitu cantik dengan ukiran bunga mawar biru yang terlihat jelas. Sedangkan, pedang satunya memiliki aura, menarik siapa saja yang melihat untuk mendekat ke arah pedang itu. Meski, pedang itu terlapisi oleh kain hitam yang tebal. Namun, Levia berhasil mengendalikan diri.

Ia berhasil menahan keinginannya mendekati pedang itu, setelah menyadarkan diri jika itu bukan perbuatan baik, apalagi di sini bukan hanya ada dirinya. Ada pelayan lain yang terlihat malas berada di tempat ini.

Dan, keterdiaman Levia terhenti, saat Liao membuka pintu. Memperlihatkan dirinya yang memakai gaun yang Levia bawa.

Dia sangat cantik.

Kuningan, 21 Desember 2018

Btw, besok hari Ibu ya? Gak kerasa...

Update lama, biarinlah, bukan deadline ini. :)
Next Chapter is Loading...

Bye :)

Sword [THE END]✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang