Sebelas

49 6 2
                                    

Cuman mau ngasih tahu, nanti ada Warning!!!. Gitu aja sih. Selamat membaca ^^.

"Kau berjanji, tidak akan lama?" Bisik Rean yang entah keberapa kalinya ia bertanya hal yang sama. Ia tidak ingin, siapapun mendengar percakapannya dengan Liao di malam ini. Jika ada, sudah dapat dipastikan jika Liao langsung dijebloskan ke penjara. Dan tentu, itu adalah mimpi buruk untuk Rean. Liao sendiri, ia melirik malas ke arah Rean, yang menurutnya terlalu berlebihan.

"Jika lancar, ya." Rean menghembuskan nafasnya pelan. Malam ini memang belum terlalu larut, acara makan malam pun baru selesai tadi. Namun, mendengar Liao yang harus pergi karena sebuah tugas dadakan, entah kenapa membuat Rean sedikit cemas.

"Kamu hanya perlu diam, tutup mulut. Jangan sampai ada yang tahu ke mana aku pergi." Kali ini Rean mengangguk saja. Setelahnya, ia menyerahkan pedang yang dilapisi kain hitam tebal pada Liao. Setelah menerima pedang itu, Liao berjalan mendekati jendela kamar, memperhatikan para prajurit yang berlalu lalang di luar sana. Begitupun Rean, dirinya juga tengah berfikir agar Liao tidak tertangkap. Namun sayang, ia terlalu acuh akan hal itu, sehingga tidak bisa membantu Liao agar berhasil keluar Istana tanpa diketahui.

"Kau sudah tahu caranya?" Tanya Rean, saat melihat Liao mulai memakai jubah hitamnya. Jubah yang selalu dipakai Liao saat bekerja. "Ya,"

Liao menoleh ke arah Rean, menatap perempuan itu lekat sebelum memakai sepatunya. "Kau kembalilah, jangan sampai orang lain curiga."

"Aku mengerti." Lalu setelahnya, tanpa disuruh lagi, Rean segera berjalan meninggalkan kamar Liao. Ya, sedari tadi, keduanya berada di kamar Liao. Satu-satunya tempat yang enggan dimasuki oleh pelayan maupun dayang.

"Hati-hati." Ucap Rean sebelum benar-benar keluar dari kamar Liao. Liao adalah temannya, teman satu-satuanya yang Rean punya. Dan tentu, Rean tidak ingin kehilangan perempuan itu. Bukan hanya itu, Rean masih memiliki hutang budi pada Liao.

Liao menghela nafas panjang, ia duduk di ujung tempat tidur dengan pandangan mata kosong. Ini saatnya, ia sudah terlalu banyak membuang-buang waktu. Padahal, kesempatan emas ada di depan mata. Dan hari ini, ia takkan menyia-nyiakan waktu lagi. Untuk malam ini, ia akan mulai menjalankan tugas.

Tepat, ketika di atas sana langit benar-benar gelap, ketika suasana di luar telah benar-benar hening, Liao perlahan berdiri. Ia berjalan mendekati pintu yang mengarahkannya ke lorong istana. Jika keadaan Istana telah sunyi seperti ini, Liao akan sangat diuntungkan. Perempuan itu, akan dengan mudah mengetahui, apakah ada yang mendekat atau tidak, ia bisa mendengar dengan begitu jelas.

Perlahan, Liao keluar dari kamarnya. Bergerak dengan begitu perlahan, agar tidak menimbulkan suara sedikitpun. Beruntung, tidak ada satupun prajurit yang berjaga di depan kamarnya, meski seharusnya ada, mengingat dirinya begitu dicurigai. Mungkin, para prajurit terlanjur malas untuk menjaga. Lagipula, yang ada, mereka malah habis dihajar oleh Liao sebelum selesai bertugas. Mereka masih sayang nyawa.

Situasi aman. Liao kembali bergerak, berjalan di lorong dengan waspada. Bisa saja ia meloncat, namun itu terlalu beresiko. Di bawah, para prajurit benar-benar berjaga dengan baik. Berlalu lalang, meski kenyataannya tidak ada yang akan menyusup.

Karena penyusup itu sudah masuk sejak awal.

Liao membungkukkan tubuhnya, melihat ke arah tangga yang menuju lantai bawah. Di sana, ia dapat melihat bayangan para prajurit yang berada dekat dengan ujung tangga. Ia harus hati-hati, karena jika tidak, ia akan tertangkap oleh para prajurit itu.

Menghela nafas pelan, Liao menegakkan tubuhnya. Tanpa ragu, dirinya perlahan berjalan menuruni anak tangga. Tentu, dengan tangan kanan yang setia mencengkram pedangnya dengan erat, sehingga jika dibutuhkan, ia akan mudah melayangkan pedangnya itu. Meski begitu, ia tidak boleh meremehkan para prajurit yang akan mudah dikalahkannya. Dari jumlah saja, Liao kalah. Ia bisa menghambisi beberapa, namun ia akan kelelahan jika harus menghabisi ribuan prajurit yang ada di Istana.

* * * *

Rumah itu, rumah yang begitu mewah dengan para pengawal yang berjaga di depan rumah, terlihat begitu mencolok. Meski, di sekitarnya, rumah ini sama seperti rumah lain. Rumah para bangsawan. Namun, itu penggambaran beberapa saat yang lalu. Karena kini, para pengawal yang berjaga di luar rumah, tergeletak dengan genangan cairan kental berwarna merah yang ada di mana-mana. Begitupun saat masuk ke dalam rumah. Lantai yang awalnya begitu mengkilap, kini dihiasi oleh cipratan darah. Yang berasal dari tubuh orang-orang di sana, yang tergelatak tak bernyawa.

Di sana, seseorang dengan pakaian serba hitam, bahkan wajahnya pun tertutupi oleh kain hitam itu. Menyisakan hanya untuk matanya saja. Bukan hanya itu, pedang yang tersampir di pinggangnya pun terbungkus kain berwarna sama.

Untuk beberapa saat, dirinya masih setia berdiri. Tepat di hadapan seorang perempuan, yang tergeletak di depan kakinya. Posisi perempuan itu yang membelakangi, membuktikan jika orang ini membunuh perempuan itu dari belakang. Setelah memastikan, semua yang ada di ruangan itu benar-benar tidak bernyawa, langkahnya kembali berlanjut menuju sebuah ruangan. Ruangan terakhir yang akan ia kunjungi dari rumah besar ini.

Langkah beratnya, seolah menjadi irama kematian. Seolah menginginkan, semua orang yang menyadari kehadirannya, ketakutan. Meski, di rumah besar ini takkan ada yang menyadarinya. Mereka, yang telah mati, kebanyakan terbunuh saat terlelap. Di saat benar-benar lengah.

Dibukanya pintu itu perlahan, lalu ia masuk ke dalam ruangan yang merupakan kamar itu, tanpa suara sedikitpun. Di sana, seorang anak kecil tengah berbaring memunggunginya. Terlelap, seolah semua yang ada di luar baik-baik saja. Ah, kenapa harus memikirkan segala jika sebentar lagi, anak itu akan menyusul mereka?.

Tanpa berfikir ulang, ia melayangkan pedangnya. Melakukan hal sama terhadap anak itu, seperti orang-orang yang ada di luar kamar. Setelahnya, seprai dari sutra yang berwarna putih itu langsung berubah menjadi merah secara perlahan. Tidak mau membuang-buang waktu, ia segera keluar dari sana. Tanpa mengambil apapun.

Berjalan ke luar rumah melalui pintu belakang, menghampiri satu-satunya orang yang dibiarkannya tidak sadarkan diri. Yakni, pengawal yang berada di bagian belakang rumah. Meletakkan pedang pengawal itu, yang tadi dipakainya, ia mengeluarkan sebuah belati. Yang ia ambil, tentu dari dalam rumah. Seolah pengawal itu bunuh diri, tangan kanan pengawal itu, diatur olehnya agar seperti mencengkram belati itu. Setelah ia menusukkannya, tepat di jantung pengawal itu.

Ia tidak ingin direpotkan oleh satu orang yang masih hidup. Meski tidak akan ada yang tahu siapa dirinya sekalipun. Lagipula, pengawal itu akan tetap mati, meski waktunya berbeda. Setidaknya, pengawal itu takkan menyadari jika dirinya telah dibunuh.

Begitu semua dirasa telah selesai, ia berjalan menuju arah, di mana ia datang ke rumah ini. Ia tidak perlu bertingkah seperti pencuri. Jika orang lain melihat rumah ini dari depan, mereka tidak akan melihat ada keanehan. Para jasad pengawal, telah ia simpan di tempat yang menghindari dari kecurigaan orang-orang sekitar.

Yang perlu ia lakukan selanjutnya adalah, membersihkan pakaian hitamnya yang terciprat darah di mana-mana. Setelahnya, ia hanya perlu menunggu. Menunggu apa yang telah ia lakukan membuat orang-orang gempar. Dan tentu, itu akan sangat menyenangkan ketika melihat raut cemas dan takut.

23 Desember 2018
00:15

Ini bukan cerita psikopat, ini fantasi lho.
Adegan bunuh2 itu? Nanti juga tahu. Lagian wajar kan pas jaman kerajaan ada kejadian kayak gitu.

Btw, ini buat nemenin minggu kalian. Meski niatnya buat malming, tapi jadinya beberapa menit lebih telat. Jam 12 lebih 15 menit bro.

Udah ah ngomongnya.

See ya ^^ (^0^)/

Sword [THE END]✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang