"Paman Vu?"
Vu menghapus jejak air matanya dengan kasar sebelum menoleh ke arah orang yang memanggilnya. Dengan senyuman yang dipaksakan, Vu menatap Liao serta pria asing yang baru dilihatnya.
"Kau sudah sadar, Liao?" tanya Vu dengan suara yang serak. Liao perlahan melangkahkan kakinya mendekati Aravu tanpa bantuan dari Verno. Langkahnya terlihat lemah, namun Liao tidak menyerah. Ia terus berjalan dengan tenaganya.
"Maafkan aku, paman. Karena aku...,"
"Tak apa," ujar Vu memotong ucapan Liao, "kakakku melakukan apa yang dia inginkan," jelasnya. Liao menundukkan kepalanya, menatap gundukkan tanah yang di bawahnya terdapat jasad gurunya.
"Kau tidak bisa menyalahkan kematian seseorang pada orang lain. Itu sebuah takdir yang tidak dapat diubah manusia." Perkataan Aravu membuat Liao menoleh. Terlihat kini air mata Aravu kembali turun, namun pria itu tidak segera menghapusnya.
"Kudengar, kau juga mengalami hal sama saat kehilangan Ayahmu?" tanya Aravu yang mendapat anggukkan dari Liao, "kau harus mulai terbiasa dengan hal itu. Kehilangan seseorang yang begitu berarti akan menjadi nasib manusia. Kau harus kuat, Liao."
"Aku..., aku tidak yakin, paman," Liao menundukkan kepalanya. Bahunya mulai bergetar diikuti air mata yang menetes, "aku bahkan kehilangan kendali saat itu. Aku..., aku tidak jauh berbeda seperti mereka," ujar Liao. Aravu menghela nafas pelan. Ia langsung memeluk gadis yang begitu disayangi kakaknya, layaknya anak sendiri. Vu benar-benar mengerti sekarang. Liao hanyalah gadis biasa yang rapuh. Perempuan yang butuh topangan untuk saat ini.
Vu mengusap dengan lembut punggung Liao, saat isakkan gadis itu semakin terdengar. Liao menangis.
Sedangkan Verno, yang sedari tadi memperhatikan, hanya bisa diam. Ia merasa tidak mempunyai hak untuk mengganggu keduanya. Lagipula, tugasnya adalah mengawasi Liao agar tetap aman. Meskipun beberapa hari terakhir, ia tidak dapat memberitahu keadaan Liao pada Zean.
Verno menghela nafas pelannya. Ia sudah menduga, hal ini akan terjadi. Liao yang memiliki kemampuan alami, akan membuat murid Aravan iri. Namun setidaknya, saat ini Liao tidak mengalami luka sedikitpun.
Mulai saat ini, dirinyalah yang bertugas untuk melatih kemampuan Liao agar semakin baik. Agar Liao, dapat melindungi dirinya sendiri, ketika Verno tidak dapat datang.
Perlahan Liao melepaskan pelukan Aravu. Ia segera menghapus air matanya yang tidak berhenti mengalir dengan kasar. "Maafkan aku, paman. Karena aku tidak bisa melindungi guru," ujar Liao. Aravu tersenyum dan mengusap kepala Liao dengan lembut.
"Tak apa, Liao. Melihat kau baik-baik saja, itu sudah cukup untukku," ujar Vu. Kepalanya menoleh ke arah Verno yang sedari tadi masih berada di tempatnya. "Hei pemuda! Terima kasih sudah membantuku mengubur kakakku. Terima kasih juga, sudah menolong Liao." Verno hanya mengangguk sebagai jawaban.
"Lihatlah pemuda itu. Kupikir, dia adalah kekasihmu, Liao," ujar Vu dengan kekehan. Liao berdecak keras dan membuang mukanya.
"Dia hanya temanku, sekaligus guruku. Dia juga yang melatih kemampuanku berpedang selain guru Aravan." Vu mengangguk mengerti. Ia merasa semakin tenang setelah tahu jika pria itu merupakan guru Liao, yang pastinya akan melindungi Liao.
"Baiklah-baiklah, aku mengerti. Aku hanya berharap, kau tidak terlalu terpuruk, Liao." Liao memandang Vu sebelum memeluk kembali pria itu dengan erat.
"Tentu, paman. Aku tidak akan terlalu sedih. Aku harus semakin kuat untuk menyelamatkan ibuku," ujar Liao yang sebenarnya adalah janji pada dirinya sendiri. Liao merasa, ia tidak memiliki banyak waktu lagi.
* * * * To be Continued * * * *
Lebih cepat dari jadwal, kan?
Semoga suka chapter ini, ya.Jangan lupa vote, komen, dan share, guys ^^
Agustus 30, 2019
Jum'at
KAMU SEDANG MEMBACA
Sword [THE END]✓
FantasiaKisah antara seorang Pangeran dan seorang gadis dari desa. Satu takdir yang mempertemukan mereka, menjadi awal munculnya dua takdir yang berbeda. "Kita berada di takdir yang berbeda, Pangeran." Zean terdiam. Matanya langsung menatap lekat Liao, deng...