Rean berjalan mendekati Liao, yang saat ini tengah duduk di dekat jendela, mengelap pedang yang ada di tangannya itu dengan penuh perhatian. Seolah, benda itu begitu rapuh. Menyerngit, Rean baru melihat tanpa ukiran itu. Karena setahunya, Liao memiliki pedang dengan ukiran. "Apakah itu, pedang barumu?"
Liao menoleh sebentar, sebelum akhirnya kembali mengelap pedang, yang sebenarnya sudah benar-benar mengkilap itu. Jujur, Rean sedikit merinding saat melihat pedang itu. Mengingatkannya pada pedang yang selalu terbungkus kain hitam, aura kedua pedang itu begitu sama.
"Tidak. Kau selalu melihatnya. Ini, Xi." Menghela nafas. Rean akan memaklumi jika pedang berukiran indah, diberi nama oleh Liao. Namun, pedang yang terlihat sama seperti pedang lainnya, diberi nama juga.
"Xi? Aku baru mendengarnya." Liao menghela nafas panjang. Tidak menjawab langsung pertanyaan Rean, perempuan itu mengambil tempat pedang yang terlapisi lagi oleh kain hitam. Memasukkan pedang itu ke sana, secara perlahan, lalu diletakkannya di sebelah Rosé.
"Apa yang akan kamu bicarakan?" Dan justru, Liao malah bertanya balik. Baginya, dengan Rean yang melihat saat ia memasukkan pedang tadi, sudah cukup menjadi jawaban dari pertanyaan perempuan itu. Tidak perlu repot menggunakan banyak tenaga untuk menjelaskan secara panjang lebar. Namun tetap saja, Rean mendengus pelan, meski telinga Liao terlalu peka jika disebut tidak mendengarnya.
"Selalu, seperti ini," Rean menghela nafas panjang. Tanpa dipersilahkan, atau diperintah, dirinya segera duduk di kursi yang ada di kamar itu. Raut wajahnya, kini menunjukkan jika dirinya tengah diliputi banyak pikiran. Hal yang tentu, jarang terlihat pada sosok Rean.
"Apa kau sudah dengar? Berita pembantaian di rumah salah satu bangsawan?" Liao terlihat masih santai. Ia seolah tidak peduli dengan hal itu, tapi memang, ia tidak akan peduli. Tentu saja. Memang siapa Liao? Mau ia peduli ataupun tidak, itu tidak akan berpengaruh apa-apa.
"Bangsawan itu, entah kenapa aku senang mereka mati," Rean menoleh sebentar ke arah Liao yang masih memasang wajah datarnya. "Mereka sangat merepotkan. Selalu bersikap seenaknya, padahal bukan keluarga Kerajaan." Liao tersenyum sangat tipis, bahkan terlalu tipis untuk disebut sebuah senyuman. Rean sendiri, ia masih menatap tembok yang ada di hadapannya.
"Banyak orang yang membencinya, sehingga berita pembantaian ini langsung hilang tertiup angin." Ujar Rean, mengakhiri ceritanya itu. Ditatapnya Liao, yang kini, juga tengah menatapnya dengan lekat. "Setidaknya, Elcar sedikit bersih dengan kematian mereka." Dan Rean menyetujui hal itu.
Bukan tanpa alasan, Rean menyetujui hal itu. Sudah bukan rahasia umum lagi, perihal keadaan Elcar yang begitu buruk. Bukan hanya satu, para bangsawan dan mentri melakukan korupsi. Sehingga, rakyat biasa begitu tersiksa dengan keadaan ekonomi Kerajaan Elcar yang turun drastis. Bukan hanya itu, entah persetujuan dari mana, pajak terhadap rakyat biasa begitu tinggi, berbanding terbalik dengan pajak pada bangsawan yang begitu rendah. Begitupun hukum, yang tajam ke bawah dan tumpul ke atas.
Dan Raja Xen, Ayah Rean sendiri, dianggap hanyalah boneka tidak berguna. Karena, pria itu tahu, namun tidak berbuat apa-apa untuk memperbaiki Kerajaannya.
"Pekerjaanmu, pasti menyenangkan." Liao menaikkan sebelah alisnya, ketika Rean memilih tersenyum dengan penuh arti. Beruntung, tidak ada orang lain lagi di ruangan itu, sehingga, tidak akan ada masalah setelah Rean mengatakan hal tadi.
"Tentu, kau selalu tahu akan hal itu." Rean kembali menghela nafas panjang, meski kini, ia turut memejamkan matanya untuk beberapa saat.
"Terkadang, aku ingin ikut denganmu. Di sini, kau tahu? Sangat membosankan." Liao tersenyum miring. Perlahan, ia berjalan menghampiri Rean. Menepuk pelan bahu perempuan itu, sebelum mencondongkan tubuhnya, dan mendekatkan wajahnya ke telinga Rean.
"Belum saatnya."
* * * *
Semilir angin menggerakkan beberapa helai rambut Zean. Masih dengan topeng berwarna perak yang menutupi setengah dari wajahnya, pandangan matanya tertuju pada langit yang masih saja berwarna kelabu. Kedua tangannya, berada di belakang tubuhnya, yang kini menghadap ke arah gerbang utama.
Ketenangannya, tampaknya tidak akan pernah bertahan lama. Karena, seorang pria dengan pakaian zirah lengkap. Seolah, pria itu akan berangkat berperang. "Apa yang Anda pikirkan, Pangeran?"
"Tidak ada." Verno, Jendral itu menghela nafas panjangnya, berdiri di samping Zean. Bagi orang-orang yang telah lama tinggal di Istana, mereka tidak akan asing dengan pemandangan seperti ini. Pangeran Zean dan Jendral Verno, keduanya sudah bersahabat sejak kecil. Meski, banyak orang yang akan berfikir, jika hanya ada keheningan jika keduanya bersama. Mengingat, keduanya identik dengan aura yang dingin, irit bicara, maupun irit ekspresi.
"Lukamu, apa sudah sembuh?" Verno menoleh ke arah Zean. Meski dirinya sama dingin seperti Zean, namun ramah masih melekat pada dirinya, walaupun itu sedikit. Buktinya, ia tersenyum tipis. Setelah menatap ke arah Zean.
"Ya, aku merasa lebih baik dari biasanya," Verno melirik ke arah Zean, yang masih tidak memakai ekspresi.
"Perempuan itu, dia memberikanku ramuan. Dan...hanya dalam beberapa jam, aku sembuh. Tanpa bekas." Zean menoleh ke arahnya, yang Verno yakini jika Pangeran ini kebingungan.
"Perempuan? Siapa?" Tapi Vernon, ia tidak menyangka jika Zean akan bertanya. Suatu kemajuan yang mengejutkan bagi Verno. Tentu saja. Verno tahu, Zean bukan tipe orang, yang akan bicara jika tidak penting.
"Tentu perempuan yang menjadi lawanku saat itu, siapa lagi?" Zean terdiam beberapa saat, sebelum akhirnya, menghela nafas panjang dan kembali menatap ke depan. Memang, Zean tidak mengatakan apa-apa, namun Verno tahu, jika sahabatnya ini tengah memikirkan sesuatu.
"Ah iya, aku hampir lupa dengan tujuanku menghampirimu," kali ini, Verno menghadap ke arah Zean yang masih menghadap ke depan. "Aku akan pergi ke benteng Timur, untuk menjaga jika sampai-sampai ada pemberontakan," Verno menghela nafas panjang.
"Kemarin, aku mendengar jika ada salah satu pengkhianat di sana." Zean mengangguk-anggukkan kepalanya, seolah itu bukan berita besar untuk telinganya. Yah...dan Verno tidak terkejut akan hal itu.
"Hati-hati." Hanya itu, dan setelahnya pergi meninggalkan Verno sendirian. Ya, Zean memilih berjalan meninggalkan Verno di sana. Entah akan ke mana, karena Verno terlihat tidak terlalu peduli. Karena kini, Verno justru terlihat tengah menikmati semilir angin yang menghampirinya.
Zean masih berjalan, tanpa pengawal ataupun dayang yang berada di belakanganya, mengikuti langkahnya. Itu tidak akan terjadi, karena kemauan Zean sendiri. Sedikit aneh memang, karena Rean tidak dapat melakukan hal yang sama. Namun, siapa yang akan bertahan pada tatapan tajam dan menusuk milik Zean?.
Setiap Zean melewati beberapa prajurit, mereka akan langsung membungkuk hormat, tentu takut pada penerus tahta ini. Langkah lebar serta tegas pria itu, membuat siapapun langsung terdiam. Siapapun takkan mau memiliki masalah dengan penerus tahta Kerajaan Elcar.
"Liao," perempuan di depannya, yang memakai gaun berwarna merah marun, memberhentikan langkahnya lalu menoleh. "Kau akan ke mana?" Butuh beberapa saat, hingga Zean mendengar jawaban dari perempuan di depannya.
"Menemui Jendral Verno, memberikan ini untuk obatnya." Dan, pandangan mata Zean langsung jatuh pada botol kecil di tangan Liao. Meski begitu, ada sesuatu hal samar, yang entah kenapa membuatnya...kesal? Entahlah, ia tidak tahu.
The Next Chapter is Loading...
Mangap lama, dah maraton cerita wp.
Selamat Natal bagi yang merayakan ^^
25 Desember 2018
KAMU SEDANG MEMBACA
Sword [THE END]✓
ФэнтезиKisah antara seorang Pangeran dan seorang gadis dari desa. Satu takdir yang mempertemukan mereka, menjadi awal munculnya dua takdir yang berbeda. "Kita berada di takdir yang berbeda, Pangeran." Zean terdiam. Matanya langsung menatap lekat Liao, deng...