Sepuluh

34 8 2
                                        

Permaisuri Izuna, perempuan yang dianggap begitu beruntung, karena bisa menjadi Ratu di Kerajaan Elcar. Memiliki paras cantik, begitupun hatinya yang begitu lembut. Ramah senyum, itulah hal yang akan orang ucapkan ketika pertama kali bertemu dengan perempuan ini.

Kini, dipagi ke dua setelah kehadiran perempuan bernama Liao itu, Izuna akhirnya kembali mengunjungi taman bunga miliknya. Memang, di sana bunganya sedikit kesusahan untuk mekar, namun kesukaannya ini seolah tidak bisa dibendung lagi.

Bukan hanya taman bunga, yang berjajar rapi bunga-bunga tulip dan mawar, namun juga terdapat kolam ikan kecil. Pancurannya terlihat mempesona, diantara jajaran bunga yang berbaris dengan rapi. Seolah, itulah surga tersembunyi, di bawah kabut tebal. "Kamu mengetahui tempat ini rupanya."

Izuna tersenyum lembut, ia mengusap kelopak bunga tulip berwarna putih itu, tanpa menolehkan kepalanya sedikitpun. "Ya, Saya hanya sedang berjalan-jalan." Sahut orang itu. Izuna menghela nafas panjang, untuk sekarang, ia baru membalikkan tubuhnya setelah berdiri tegak.

"Bahkan kedua anakku, tampaknya tidak mengetahui tempat ini." Ujar Izuna lagi, masih dengan senyum menawannya.

"Mungkin, karena Anda tidak memberitahu tempat indah ini," Liao, ia membungkuk lalu mengambil salah satu kelopak bunga mawar yang telah jatuh.

"Meski mungkin, Anda tidak ingin ada yang rusak pada tempat ini." Izuna semakin tersenyum. Tidak dapat dipungkiri, ia benar-benar penasaran pada diri perempuan di depannya, yang secara ajaib bisa menarik hati Putrinya. Membuat anak bungsunya itu tidak ingin berpisah dengannya. Mungkin, awalnya terasa dingin dan...kaku? Entahlah, intinya terasa ragu jika ingin mendekat pada Liao. Namun siapa sangka, Izuna mulai merasa nyaman, hanya setelah mengobrol santai seperti ini.

Benar-benar menakjubkan.

"Minum teh?" Liao mengangkat wajahnya, yang semula menatap kelopak mawar itu. Yang mulai berwarna kecokelatan. Ini bukan halusinasi, seorang Ratu menawarinya minum teh? Haruskah ia senang? Tapi tampaknya tidak. Wajah Liao terlalu datar, untuk mengetahui apakah ia senang atau tidak.

"Maksud Anda?" Izuna tersenyum lagi. Ia pun sebenarnya tidak percaya, mengajak seseorang untuk minum teh. Meski, itu biasa dilakukannya dengan orang lain, sebagai cara agar akrab. Namun ini Liao, perempuan yang tentunya selalu bertemu dengan para perompak, atau beradu pedang untuk saling kenal. Benar-benar berbeda.

"Aku mengundangmu untuk minum teh, di sini. Itupun, jika kamu tidak keberatan." Dan Izuna, tidak bisa memaksa perempuan itu. Liao bukanlah orang yang sering dijumpainya, ia berbeda.

"Tentu, itu adalah kehormatan bagi Saya." Ujar Liao sembari tersenyum, meski tentunya tipis. Izuna membalas senyuman itu, lalu menyuruh dayang-dayangnya untuk menyiapkan acara minum teh yang dadakan ini. Mengejutkan memang, Liao yang seorang pengawal bayaran mau mengikuti acara minum teh bersama seorang Ratu.

Jika Rean ada di sini, sudah dipastikan jika Putri itu akan menganga tidak percaya. Namun, entah apa yang tengah Liao pikirkan, hingga mau menerima ajakan Ratu Elcar tersebut.

Tidak perlu waktu lama, sepertinya para dayang Ratu sudah terlatih cekatan. Mereka sudah menyiapkannya di gazebo yang ada di ujung taman. Dengan segera, Izuna berjalan menuju ke sana diikuti oleh Liao yang telah kembali memasang wajah datar.

Di lain tempat,

Rean menghembuskan nafas panjangnya untuk kesekian kali. Hari ini, ia bisa saja melanjutkan untuk berlatih, tapi mengingat pertengkaran Ayah dan kakaknya kemarin, membuatnya ragu. Lagipula, ia mendengar jika Liao tengah pergi entah ke mana. Setidaknya ada alasan kenapa Rean tidak berlatih hari ini.

"Pangeran Zean datang!!" Rean langsung menegakkan tubuhnya, merapikan rambut lalu memasang wajah datar sembari menatap ke arah luar jendela kamar.

"Tidak berlatih?" Rean sedikit melirik ke arah Zean. Bagaimanapun juga, kakaknya inilah yang kemarin membelanya agar tetap berlatih senjata. Meski, jujur saja, Rean kembali takut jika mengingat alasan yang kakaknya berikan. Kejadian itu terulang? Baiklah, jika ada Liao ia takkan masalah. Namun, jika tidak? Rean tidak ingin membayangkannya.

"Tidak," Rean menghela nafas panjang sebelum mengalihkan pandangannya ke Zean. Benar-benar menghadapkan tubuhnya ke arah Zean yang masih berdiri.

"Liao pergi, jadi aku tidak mungkin berlatih tanpa pengawasan darinya." Kini, justru kerutan di dahi Zean. Meski ia memakai topeng, namun Rean dapat mengetahuinya dari mata Zean. Pria itu penasaran.

"Pergi? Ke mana?" Rean mengedikkan bahunya. Ia sendiripun tidak tahu, hanya tahu jika Liao tidak pergi ke luar Istana. Namun, Rean terlalu malas untuk mencari Liao meski perempuan itu masih ada di sekitaran Istana. Istana ini luas, dan Rean tidak ingin membuat dirinya lelah hanya untuk mencari Liao.

Berbeda dengan Rean, Zean justru terlarut pada pikirannya yang mulai kacau. Tentu saja, perempuan yang telah masuk ke dalam hatinya, pergi tanpa diketahui Rean ke mana. Cemas? Tentu saja. Meski Liao pandai bermain pedang ataupun bela diri, namun bagi Zean, Liao tetaplah perempuan.

"Mungkin, Liao tengah berlatih di suatu tempat," Rean memandang kakaknya yang masih terdiam. Ia tidak tahu apa alasannya, hanya saja, ia ingin mengatakan hal itu.

"Liao takkan bisa ke luar Istana untuk beberapa hari, ia yang mengatakannya sendiri padaku. Lagipula, Liao tidak akan pergi sebelum bicara padaku." Dan untuk kali ini, Zean baru bisa menghela nafas lega. Setidaknya, ia tahu jika Liao masih berada di sekitar Istana.

"Putri, nona Liao ada di tempat latihan." Ujar Casera, salah satu dayang Rean. Ucapan Casera tentu saja terdengar jelas oleh telinga Zean, namun ia tidak langsung pergi ke tempat yang dimaksud Casera. Lebih baik, jika ia mengikuti Rean saja, daripada menimbulkan pertanyaan di kepala orang-orang.

* * * *

"Tidak kusangka, kau begitu mirip dengan seorang Putri kerajaan," Liao menyerngitkan dahinya tipis, namun ia hanya diam dan menatap ke arah teh berbau melati yang berada di cangkir, di hadapannya.

"Orang tuamu, mereka pasti mendidikmu dengan sangat baik. Meski kini, kamu bekerja seperti pria, namun etika dan tingkah lakumu, tetaplah perempuan." Liao hanya tersenyum tipis, meletakkan cangkir yang sedari tadi di tangannya, lalu menatap ke arah Izuna

"Terima kasih atas pujian Anda, Yang Mulia." Izuna kembali tersenyum, hingga pertanyaan dari mulutnya, membuat Liao kembali memasang wajah datar.

"Bodoh." Liao terus saja mengucapkan kata itu, ketika satu persatu anak panah ia lesatkan. Di belakangnya, Levia hanya bisa berdiri ketakutan. Bagaimana tidak? Aura yang kini Liao keluarkan, lebih mengerikan dibanding pedang yang ia lihat di kamar Liao pagi tadi. Tampaknya, sesuatu hal telah berhasil membangunkan aura mengerikan ini.

"Bodoh, pertanyaan bodoh." Kini, Dahi Levia mengerut. Pertanyaan? Baiklah, sekali lagi, Levia harus menahan diri, menahan kuat rasa penasarannya, yang tentu berbahaya. Liao akan dengan mudah, menebasnya sewaktu-waktu. Apalagi kini, perempuan itu telah melesatkan anak panah, yang jika tidak salah, sudah ke-50.

Secara tiba-tiba, tanpa Levia sadari, atau mungkin karena ia terlalu larut dalam lamunan. Seseorang berjalan mendekati Liao, sehingga Levia langsung mundur beberapa langkah. Baru, setelah memastikan beberapa saat, ia dapat memastikan.

Bahkan Liao pun tidak menyadari kehadiran pria itu, hingga sepasang tangan menyentuh kedua tangannya. Melesatkan anak panah itu dengan begitu lembut. "Aku tidak tahu, jika kau akan menyiksa dirimu jika tengah marah," lagi, satu anak panah dilesatkan tanpa mengubah posisi mereka yang begitu intim.

"Aku tidak ingin, tanganmu terluka." Liao menolehkan sedikit kepalanya, dan mendapati wajah pria itu yang tengah menatapnya. Hanya dalam jarak yang begitu dekat.

"Pangeran Zean..." ia tersenyum. Seperti biasa, Zean mengecup bibir Liao, meski saat ini hanya sekilas.

"Aku...rindu dan khawatir padamu, sayang."

22 Desember 2018
#HappyMomDay ♡♡


Bye

Sword [THE END]✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang