Enam

47 10 0
                                        

Rean menatap Liao dengan wajah cemberut. Bagaimana tidak? Sedari tadi, sejak Rean membawa Liao ke ruangannya, ia benar-benar diacuhkan oleh perempuan yang berhasil mengalahkan dua jendral.

"Oh ayolah Liao...sampai kapan kau akan mengacuhkanku seperti ini?" Liao mengerjapkan matanya beberapa kali, menolehkan pandangannya ke kanan dan ke kiri. Seolah baru tersadar akan keberadaan dirinya sendiri, hal yang dipikirkan orang-orang yang ada di sana termasuk Rean. Namun baru saja berfikir seperti itu, ucapan Liao berhasil membuat Rean menganga tidak percaya.

"Tidak juga," Liao menyandarkan punggungnya ke sandaran kursi.

"Lagipula bukan keinginanku untuk mengikutimu sampai ke sini." Rean mendengus pelan. Setelah menghela nafas panjang beberapa kali, ia mengisyaratkan para dayang untuk membawakan pie apel buatannya. Jika ingin tahu, sangat sulit mengajak Liao hanya untuk makan atau minum teh, hal yang umum dilakukan para perempuan. Namun tentu saja itu tidak berlaku bagi Liao. Baginya, daripada bermalas-malasan seperti itu, lebih baik berlatih gerakan pedangnya agar lebih baik lagi.

"Kali ini, kau tidak mempunyai alasan apapun. Ini buatanku sendiri, dan kau harus memakannya." Liao mendengus namun tidak mengatakan apa-apa untuk menolak keinginan sepihak Rean. Ia sudah terlalu lelah dan ada baiknya ia mengikuti saran dari 'teman' perempuan pertama-nya ini. Apalagi ini sudah sore, dan ia belum mengisi perutnya sejak siang, bahkan pagi pun hanya dengan sepotong roti saja.

Beberapa pelayan langsung menyiapkan dua pie yang telah dibuat Rean di atas meja kayu berbentuk lingkaran. Setelahnya, pie itu di potong dengan ukuran yang lebih kecil lagi ke atas piring kecil. Keduanya baru bisa memakan ini saja karena makan malam masih lama. Dan tentu, akan sangat membosankan.

"Makanlah, aku tidak ingin kamu mati kelaparan." Liao hanya bergumam tidak jelas, karena matanya sibuk memperhatikan pie di depannya sebelum akhirnya sepotong kecil pie apel mulai masuk ke dalam mulutnya.

"Tidak terlalu buruk." Ujar Liao, yang tanpa disadarinya jika Rean kini tengah menahan senyum. Tentu saja, mendapat pujian dari Liao itu seperti menunggu kabut di Elcar menghilang. Benar-benar susah.

Rean menghela nafas panjang setelah berhasil menyembunyikan senyumannya itu, lalu menatap ke arah Liao yang tengah makan. Baiklah, kali ini Liao membuatnya tercengang lagi. Namun bukan hal yang membuatnya kesal, melainkan karena hal mengejutkan yang Rean lihat.

"Liao...kau," Liao menghentikan makannya. Menatap Rean dengan sebelah alis terangkat.

"Kau makan dengan begitu anggun...aku menjadi yakin kalau kau berasal dari bangsawan." Liao meletakkan garpu dan pisaunya dengan wajah kesal. Lagi-lagi membahas hal ini, dan lagi-lagi Rean harus ia ingatkan soal dirinya yang malas membahas hal ini.

"Rean," Liao memandang Rean dengan tatapan tajamnya. Ia tidak ingin memarahi Rean, hanya saja ia juga tidak ingin Rean berbuat seenaknya. Apalagi membicarakan hal yang ia benci.

"Maaf, aku hanya kagum. Baru kali ini aku melihat seseorang makan dengan begitu anggunnya." Ujar Rean, mencegah Liao yang akan kembali bicara.

Liao menghela nafas panjang, kali ini ia menahan amarahnya yang hampir keluar. "Baiklah, terserah kau saja." Lalu ia kembali memakan pie buatan Rean itu, seolah tidak ada yang terjadi sebelumnya.

Kali ini Rean menghela nafas lega sepelan mungkin. Dirinya benar-benar takut jika Liao marah, ia pernah mengalaminya dulu. Dan itu sangat mengerikan.

Rean memberi isyarat, menyuruh salah satu dayangnya untuk mendekat. "Bawakan aku gaun warna putih, siapkan air untuk berendam sekarang." Dayang itu mengangguk, berjalan kembali ke tempatnya, dan mengatakan apa yang Rean suruh ke dayang yang lain. Setelahnya, mereka segera meninggalkan Rean dan Liao berdua di ruangan itu untuk melaksanakan tugas dari Rean barusan.

Liao awalnya memperhatikan kepergian para dayang itu, namun segera saja ia mengabaikan hal itu. Rean adalah Putri dan tentu saja wajar menyuruh para dayang untuk melakukan berbagai hal. Bukan seperti dirinya, yang harus berjuang hanya untuk bisa duduk tenang dari apapun.

"Karena aku harus berada di Istana, lalu aku bisa tidur di mana?" Liao langsung bertanya setelah para dayang itu pergi meninggalkan ruangan. Ia tidak mungkin tidur di ruangan yang sama dengan Rean, di saat dirinya masih dicurigai oleh orang-orang yang ada di dalam istana

"Tenang saja, aku sudah menyiapkan kamar untukmu." Liao hanya mengangguk saja setelah Rean mengatakan hal itu. Setidaknya ia bisa benar-benar beristirahat untuk malam ini. Karena jujur saja, Liao sudah sangat lelah. Apalagi sejak pagi, tenaganya terus terkuras.

"Nona, ini gaunnya." Rean langsung menoleh ke arah dayang yang membawa gaun sesuai perintahnya dengan senyum cerah. Gaun berwarna putih gading itu memang sederhana, malah terlalu sederhana. Tidak ada hiasan apapun kecuali pita berwarna sama dibagian kedua lengannya.

"Apa...Anda akan memakainya, nona?" Tanya dayang itu dengan nada ragu. Tentu saja, karena gaun ini baginya tidak pantas digunakan oleh seorang Putri dari Kerajaan besar seperti Elcar. Alasannya tentu saja, terlalu sederhana. Namun Rean hanya menampilkan senyumannya saja sebagai jawaban atas pertanyaan dari dayangnya ini.

Hingga, seorang dayang lagi datang dan memberitahu jika air untuk berendam telah selesai mereka siapkan. Sama seperti apa yang Rean perintahkan tadi. Setelahnya, Rean langsung berdiri dengan senyuman lebar. Membuat perhatian semua orang, termasuk Liao teralih kepadanya.

"Baiklah, karena semua sudah selesai...kamu bisa pergi mandi, Liao." Ucapan Rean tentu saja langsung membuat Liao tersedak. Jadi sedari tadi, Rean menyuruh semua dayangnya itu untuk dirinya?.

Menghela nafas panjang, Liao segera berdiri seperti Rean. Ia menatap Rean dengan tajam, memberitahu jika dirinya benar-benar kesal pada sifat Rean yang satu ini.

Bersikap seenaknya.

"Aku tidak menerima penolakkan untuk saat ini, Liao. Perintahku kali ini untuk kebaikanmu juga." Ujar Rean sebelum Liao mengatakan sepatah kata untuk melakukan protesnya.

Pada akhirnya, mau tidak mau Liao pun menuruti keinginan Rean. Baiklah, hanya mandi. Bukan disuruh menjadi Tuan Putri seperti Rean. Liao menghela nafas panjang sebelum mengikuti salah satu dayang Rean menuju kamar mandi. Di mana katanya Liao akan 'berendam'.

Begitu masuk, Liao tidak bisa menyembunyikan raut terkejutnya. Bukan, bukan karena ukuran kamar mandinya yang seperti sebuah rumah. Melainkan kehadiran beberapa perempuan yang siap dengan alatnya masing-masing. Benar-benar siap untuk membantu siapa saja mandi.

"Aku tidak membutuh,"

"Maaf, Nona. Tapi perintah Putri Rean sudah mutlak. Dan kami hanya mendengarkan beliau." Liao mendengus. Baiklah, ia harus mengingat ini sebagai alasan ia membenci Rean.

Dan alhasil, Liao lagi-lagi menjadi sosok penurut. Ia membiarkan para dayang Rean yang mulai membersihkan tubuhnya itu. Jika saja ia tidak lelah dan pedangnnya itu ada di pinggangnya, mungkin sudah sangat jelas akan ada danau darah di tempat ini.

Singkat cerita, kini Liao sudah selesai. Pakaian yang dibawakan oleh pelayan tadi sudah melekat pas di tubuhnya. Menampilkan sosok Liao yang jauh berbeda dari sebelumnya. Yang membuat siapapun akan terpesona olehnya.

"Kau harus tahu ini, Liao. Kau.begitu.cantik." Liao memutar kedua bola matanya malas. Perlu diketahui, pujian adalah hal yang tidak ingin ia dengar. Karena ia meyakini jika pujian akan berakibat buruk. Seperti bisa mengubah sifat seseorang menjadi sombong, angkuh, dan sebagainya. Hanya karena pujian.

"Sekarang tunjukkan di mana tempatku tidur." Rean mengangguk patuh. Tidak peduli jika dirinya diperintah oleh Liao, karena saat ini ia benar-benar senang. Meskipun memang hanya Liao saja yang setiap ucapannya selalu didengar oleh Rean.

Cimahi, 13 Desember 2018

Loading to the next chapter...
See you ;)

Sword [THE END]✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang