Dua Puluh Delapan

26 2 0
                                    

Perang itu akan terjadi.

Mata Liao terbelak sebentar, sebelum mengembalikan raut wajahnya menjadi datar. Liao menghela nafas panjang. Ia memilih untuk tetap tenang.

"Bisa kau jelaskan, apa tujuanmu nantinya?" Velix menaikkan sebelah alisnya. Pria itu berbalik dengan tangan kanan yang berada di balik punggungnya. Pria itu menatap remeh ke arah Liao.

"Kudengar, kau dekat dengan penerus tahta Elcar. Benar?" Liao tidak menjawab atau mengucapkan apapun. Perempuan itu masih saja menatap tajam ke arah Velix.

"Yah, jika kau tidak ingin berpihak pada siapapun, kau akan tetap dianggap pengkhianat oleh mereka." Velix menggerakkan jemarinya ke atas kelopak bunga mawar yang mekar. "Kau sudah masuk terlalu dalam, Liao."

Liao memejamkan matanya sekilas, sembari menghela nafas panjang. Lalu, ia kembali menatap ke arah Velix dengan pandangan mata yang lebih tajam dari sebelumnya.

"Kau bukan kakakku." Velix terkekeh. Ia tidak mengalihkan perhatiannya dari kelopak bunga mawar.

"Kupikir, kau tidak akan tahu. Menggelikan." Kepalan tangan Liao menguat, hingga buku-buku jarinya memutih. Padahal, tadi ia hanya menduga. Sehingga Liao tidak menyangka, jika ucapannya benar-benar sebuah kenyataan.

"Kau...kau berusaha memanfaatkanku, agar tanganmu bersih?" Velix kembali terkekeh.

"Pintar sekali." Liao menggeram marah. Ruangan sepi dan berada di bawah tanah, sebenarnya sangat menguntungkan untuk Liao, karena ia bisa dengan mudah membunuh Velix. Pria licik di hadapannya. Ya, ia bisa dengan mudah membantai semuanya.

Tanpa berfikir lagi, Liao langsung melayangkan pedang rose yang dibawanya ke arah Velix. Tepat berada di depan leher pria itu. Namun, Velix justru terkekeh. Seolah, apapun yang terjadi hari ini, hanyalah lelucon. Hal yang membuat kemarahan Liao semakin menambah.

"Aku akan membunuhmu,"

"Kau tidak akan bisa melakukannya." Liao masih bertahan untuk menatap dengan sangat tajam ke arah Velix.

"Aku bisa melakukan apapun yang ingin kulakukan." Desis Liao.

"Tidak. Rean akan mencariku lagi." Dahi Liao menyerngit.

"Apa maksudmu membawa-bawa nama Rean?" Velix melirik ke arah Liao, lalu senyuman miring yang penuh arti, terukir di wajah pria itu.

"Kau tidak perlu tahu, adik kecil." Cengkraman tangan Liao pada pedangnya semakin menguat, namun dengan sangat terpaksa, Liao menurunkan pedangnya itu dari leher Velix.

Dirinya memang tidak tahu banyak tentang pria di depannya ini. Namun, telinganya sudah cukup banyak mendengar tentang pria yang sebelumnya mengaku menjadi Kakaknya. Velix, pria ini tidak main-main pada ucapannya. Dan kini, ia merasa akan ada hal buruk jika ia membiarkan emosi menguasainya. Bukan hal buruk padanya, namun pada Rean.

Velix tentunya melihat Liao yang memasukkan kembali pedang itu. Pria itu tersenyum begitu tipis.

"Kini, keputusan ada di tanganmu, adik kecil. Kau akan tetap berada di pihakku atau pihak mereka. Itu terserah padamu." Liao menghela nafas kasar. Tanpa mengatakan apapun, ia langsung berlalu pergi dari ruangan Velix. Meninggalkan Velix sendiri di ruangannya.

Kepalanya benar-benar terasa buntu. Terlalu banyak kebenaran baru yang ia tahu dalam waktu sesingkat tadi. Liao bahkan merasa, jika apa yang terjadi saat ini hanyalah ilusi. Terasa seperti mimpi, namun nyata.

Menghela nafas panjang, Liao mempercepat langkah kakinya. Semuanya terasa rumit dan membingungkan. Namun Liao tidak memiliki siapapun yang ada di pihaknya, untuk menjadi sandarannya.

Tidak Verno, apalagi Rean.

Verno sudah jelas, jika pria itu mendekatinya karena Levia. Sedangkan Rean, Liao sudah tentu tidak akan bisa. Rean bisa saja menjadi musuhnya dalam satu malam. Mengingat siapa dirinya yang sebenarnya.

Rean kecewa? Pasti.

Apa yang harus kuperbuat ?.

* * * *

Liao memejamkan matanya dengan erat. Benar-benar erat. Baru saja ia sampai di kamarnya, namun ia harus terkejut ketika melihat Zean yang tiba-tiba ada di kamarnya. Duduk di atas tempat tidur dengan menghadap ke arah pintu.

Tepat ke arahnya saat ia membuka pintu.

Kini, pria itu tengah menatapnya dengan sangat-sangat tajam. Rahangnya mengeras, begitupun dengan kepalan tangannya. Tidak perlu ditanya lagi, karena sudah sangat jelas jika pria yang ada di depannya ini benar-benar marah. Sangat-sangat marah.

Liao dapat merasakan hal itu. Namun ia tidak mengerti, kenapa dadanya tiba-tiba merasa sesak. Bahkan sakit, saat Liao tahu, jika Zean marah kepada dirinya.

"Kenapa kamu membohongiku, Liao? Kenapa?! Apakah aku tidak ada artinya sama sekali bagimu?" Satu tetes, dua tetes air itu meluncur dari pelupuk mata Liao. Zean membentaknya.

"Kau membunuh mereka, kan? Kau pembunuh berantai itu, kan?" Liao membelakkan matanya. Ia benar-benar tidak menduga jika Zean mengetahui hal ini. Benar-benar di luar dugaannya.

Zean mengacak rambutnya frustasi. Ia marah, ia sangat marah. Namun perasaan yang menguasainya kini justru kecewa. Kecewa karena ia tidak tahu apapun tentang wanita-nya ini. Terasa seperti orang bodoh.

Namun, ia juga bingung. Karena orang selama ini menjadi buronan para prajurit istana, ada di hadapannya. Selalu ada di sampingnya, bahkan di pelukannya.

"Liao...apa yang harus aku lakukan?" Liao menundukkan kepalanya. Kali ini ia pasrah, jika pada akhirnya Zean akan menjebloskan dirinya ke penjara. Ia benar-benar akan pasrah. Lagipula, ia akan tetap berkhianat oleh kedua belah pihak. Tidak, tapi oleh semua pihak, ia adalah pengkhianat.

"Kau harusnya kuhukum, namun aku tidak bisa. Aku terlalu menyayangimu. Aku terlalu mencintaimu, hingga tidak mampu mengatakan yang sebenarnya sejak dulu. Apa yang harus aku lakukan?" Zean menangkup kedua pipi Liao. Menempelkan dahinya dengan dahi Liao.

"Bunuh aku." Zean terdiam.

"Tidak, aku tidak akan melakukannya. Kau..."

"Kedua orang tuaku mati ditangan Ayahmu. Lalu, kenapa kau tidak membunuhku saja? Dengan begitu, kau tidak perlu seperti ini." Zean langsung melumat bibir Liao. Agar perempuan ini berhenti bicara hal yang menyakitkan hatinya.

"Tidak. Kau milikku Liao. Untuk kedua orang tuamu, aku minta maaf karena tidak bisa menolong mereka." Zean langsung merengkuh tubuh Liao dengan erat.

"Aku takkan bisa menyakitimu. Jika ini salah satu maksud ucapanmu tentang perbedaan takdir yang kita miliki, aku akan terima," menghela nafas panjang, Zean mengusap punggung Liao yang malam ini begitu rapuh. "Karena kau adalah segalanya bagiku, sayang."

Liao tidak dapat menahan diri lagi. Dirinya membalas pelukan Zean dengan erat. Juga isakan terdengar dari mulut Liao. Hal yang terdengar menyakitkan untuk Zean. Karena perempuan yang dicintainya ini begitu rapuh, harus memiliki takdir yang kejam.

"Maaf, karena tidak memilikimu sejak dulu."

Next Chapter is Loading...

Kali ini serius. Ending bentar lagi.

Huwaaaaa...cepet ya?

Hehehe, iya...ane ngaret.

20 Maret 2019

Fialesflo

Sword [THE END]✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang