Tujuh

44 9 2
                                        

"Mari, nona. Saya akan mengantarkan Anda ke kamar." Liao hanya mengangguk pelan. Kedua tangannya kini membawa dua pedang yang memang ia bawa sejak menginjakkan kakinya ke tempat ini. Baginya, kedua pedang ini begitu berharga daripada nyawanya sendiri. Karena hanya benda inilah yang bisa mengingatkan dirinya pada sang guru yang sudah merawat dan mendidiknya hingga akhir usia.

Lorong istana yang hanya mendapat cahaya temaram itu begitu sepi meski terlihat beberapa prajurit yang berlalu ke sana ke mari untuk menjaga sekitar. Sama halnya dengan siang hari, pada malam hari pun langit di Kerajaan Elcar begitu pekat tanpa ada cahaya meski hanya setitik bintang di langit. Kabut itu benar-benar menutupi Kerajaan Elcar dari siang hingga malam.

Tanpa disadari Liao, tidak jauh dari tempatnya kini seseorang tengah memperhatikannya dengan begitu lekat. Berdiri layaknya patung prajurit yang berada di sebelahnya tanpa berniat melangkah mendekat ataupun menjauh.

"Kau kembalilah, biar aku yang mengantarkannya." Dayang itu terlihat ragu, terbukti dari caranya yang menoleh sedikit ke arah Liao seolah meminta pendapat.

"Aku takkan membunuhnya, dan juga aku sudah tahu di mana kamarnya. Kamu tidak ingin kehilangan pekerjaanmu, bukan?" Dayang itu menelan salivanya dengan susah payah, sebelum akhirnya mengangguk patuh. Mengikuti perintah dari penerus tahta Kerajaan Elcar itu. Tentu saja, itu semua karena ia tidak ingin kehilangan pekerjaannya. Selain itu, jika ia sampai di usir dari Istana, maka masyarakat di luar sana akan menganggapnya sosok yang buruk. Bahkan bisa saja disebut 'sampah'.

Setelah dayang itu pergi, untuk beberapa saat keheningan menyelimuti lorong yang tidak dijaga oleh salah satu prajurit pun. Seolah tempat itu memang telah diperintahkan untuk tidak di lalui siapapun untuk saat ini. Sehingga, hanya suara hembusan angin dan jangkrik saja yang menjadi latar saat ini. Keduanya seolah memiliki dunianya masing-masing, hingga salah satu diantara mereka berjalan mendekat.

Ia adalah Zean.

Tanpa mengatakan apa-apa, Zean segera mebarik tangan Liao dengan lembut. Meski begitu, cengkramannya tidak dapat membuat Liao bisa melepaskan diri. Apalagi setelah tenaga Liao hampir habis meski tadi sudah memakan pie buatan Rean. Sehingga, untuk saat ini Liao hanya bisa menurut. Termasuk ketika Zean membawanya ke dalam salah satu ruangan. Yang tentu saja tidak diketahui oleh Liao. Ia baru masuk ke dalam istana, dan akan sangat aneh jika dirinya langsung tahu letak-letak ruangan di segala penjuru Istana.

"Aku senang, bisa bertemu denganmu lagi." Liao mengerjap. Untuk beberapa saat tadi, ia terdiam karena merasa tidak mungkin jika kamar untuknya semewah ini. Hampir sama dengan kamar Rean namun lebih elegan.

Kesadaran Liao sepenuhnya terkumpul saat Zean secara tiba-tiba memeluknya dari belakang. "Ma-maaf Tuan. Tapi..."

"Ssst. Aku tahu kau pasti bingung. Sekarang biarkan tetap seperti ini dulu." Akhirnya Liao kembali mengalah untuk kesekian kalinya. Entah sudah berapa kali ia mengalah satu hari ini.

Perlahan, Zean membalikkan tubuh Liao sehingga menghadap ke arahnya. Liao baru sadar jika Zean sudah membuka topengnya lagi, meski ia tidak tahu kapan pria ini melakukannya.

"Kau tidak perlu takut. Aku hanya ingin kau menerimaku," Zean menuntun tangan kanan Liao hingga berada tepat di dada kirinya. Membiarkan tangan lembut itu merasakan degupan jantungnya yang lebih keras dari biasanya. Membuktikan jika ada perasaan yang Zean rasa pada Liao. Meski dirinya pun belum mengerti karena apa.

Mengecup dahi pelan, Zean kembali tersenyum dengan mata yang berbinar bahagia. Hilang sudah aura dingin yang selalu muncul dari tubuhnya itu setiap berdekatan dengan Liao. Bukan, melainkan setiap berdua dengan Liao saja. Ya, Zean merasakan hal itu dan ia tidak bisa menahannya. Semua terasa seperti air yang mengalir.

"Tapi, saya tidak mungkin menerima Anda. Saya bukan dari kalangan bangsawan seperti Anda, dan lagipula hanya hari ini saya berada di Istana." Dalam satu kedipan mata, raut bahagia Zean mulai luntur. Ia lupa, ia melupakan hal itu. Namun bukan karena asal keduanya yang benar-benar berbeda, terlalu jauh berbeda malah. Melainkan kenyataan jika Liao takkan berada di Istana, bersamanya dalam waktu yang lama. Hal inilah yang membuat hati Zean mulai resah. Dalam sekejap, ia mulai mencari cara agar perempuan di hadapannya ini tetap berada di Istana.

"Lalu, bagaimana dengan Rean? Bukankah kalian teman dekat?" Liao menghela nafas panjang. Ia hampir saja melupakan janjinya yang akan menjadi guru Rean. Ya, ia akan melupakan hal itu jika saja Zean tidak menanyakan hal ini.

"Entahlah. Saya hanyalah orang a--"

"Sudahlah, kau bukan lagi orang asing. Lagipula, sepertinya hanya kamu saja yang menjadi orang yang Rean dengar." Benar, Rean adalah Putri yang begitu keras kepala. Yang mungkin hanya ada satu di dunia ini. Namun ajaibnya, sekeras kepalanya Rean, ia takkan bisa menolak untuk mendengarkan perintah Liao. Mungkin karena Liao lah yang benar-benar telah menyelamatkan Rean.

Juga, hanya Liao yang benar-benar tulus berteman dengan Rean tanpa memandang status sosial.

"Kau pasti sudah lelah. Mari, aku akan mengantarmu ke kamar." Zean kembali memasang topengnya sebelum menarik tangan Liao keluar dari kamarnya. Ya, barusan mereka berada di kamar Zean.

Keduanya berjalan tanpa bicara. Membiarkan keheningan lagi-lagi menyelimuti lorong yang mereka lewati. Dan tentu, takkan ada prajurit yang terlihat disepanjang lorong itu.

"Ini kamarmu. Selamat malam." Zean segera berlalu meninggalkan Liao yang telah berdiri di depan kamarnya. Liao menghela nafas panjang, ia menoleh ke arah langit tanpa kehadiran rembulan maupun bintang itu setelah Zean benar-benar menjauh dari hadapannya.

'Misiku baru dimulai.' Batin Liao lalu masuk ke dalam kamar yang akan ditempatinya.

* * * *

"Bagaimana? Apa aku akan mendapat hadiah lain?" Tanya Velix, pria berwajah tampan yang merupakan salah satu bangsawan di Elcar. Matanya atau bahkan tubuhnya tidak menoleh ke arah orang di belakangnya. Tatapannya disibukkan oleh mawar merah yang ada di genggamannya. Mawar yang sebenarnya telah menggores jari jemarinya itu.

"Benteng Utara akan menjadi milik Anda, Tuan." Velix menghirup bunga mawar itu perlahan lalu menyunggingkan senyuman lebar. Entah apa yang tengah dipikirkan pemuda itu.

"Ah...begitu rupanya?" Velix meletakkan setangkai bunga mawar itu ke dalam vas keramik, di mana bunga-bunga mawar merah lainnya sudah berkumpul.

"Bagaimana keadaan Lia? Apa ada berita terbaru darinya?" Hening. Orang di belakangnya seolah bingung dengan apa yang akan diucapkannya sendiri. Hingga secara diam-diam, ia menghela nafas panjang.

"Saya belum mendapat kabar apapun. Maafkan saya, Tuan." Velix kembali tersenyum, namun kini bukanlah senyum biasa. Ia menyeringai, seolah ada hal menarik yang akan telinganya dengar.

"Tidak masalah. Nanti pun ia akan menemuiku. Pergilah dan urus yang ada di Utara. Jadikan ucapanmu itu menjadi kenyataan." Mengangguk lalu segera beranjak pergi meninggalkan Velix sendiri di ruangan yang dipenuhi oleh lukisan bunga mawar merah.

"Tampaknya kau sudah menemukan mainan yang begitu menarik." Gumamnya. Dalam hitungan detik, senyumannya menghilang tergantikan oleh raut wajah datar dan tatapan mata yang begitu menusuk. Haus akan dendam yang begitu membara dikedua iris matanya.

"Sebentar lagi. Tunggu aku datang sebentar lagi," Velix menyeringai.

"Ayah."

Cimahi, 14 Desember 2018

Btw, ini part emang pendek. Tapi biarlah. Yang penting cepet up ye kan?.

Next chapter is loading...
See you👋

Sword [THE END]✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang