Zean membuka matanya perlahan. Kepalanya langsung tergerak ke arah sisi ranjang sebelahnya, untuk memastikan sesuatu. Setelahnya, guratan senyum terpantri di wajah pangeran itu. Ia mengusap perlahan wajah damai seorang perempuan di sampingnya, dengan tangannya yang bebas.
Luka masih terasa di perutnya, namun Zean tetap enggan meminum ramuan herbal, agar mempercepat penyembuhan pada lukanya itu. Alasannya begitu sederhana. Ia membenci rasa dari ramuan itu.
"Ugh..." lamunan Zean langsung terhenti. Sekarang, ia memandang lekat kelopak mata yang perlahan terbuka.
"Apa aku membangunkanmu?" Liao tersenyum sembari menggeleng. Hati dinginnya, sudah lama mencair tanpa bisa dicegah olehnya. Bukan saat kali pertama, ia bertemu dengan Zean. Justru karena hari-harinya dulu yang ia lewati bersama Rean. Menjadikan dirinya terbiasa dengan kehadiran orang asing. Dan perlahan, menimbulkan perasaan yang dulu sempat menghilang.
Sudah cukup lama Liao menyadari ada yang aneh dengan dirinya, saat ia bersama dengan pria di depannya. Namun, perasaan itu justru menimbulkan perasaan bimbang pada diri Liao. Sehingga saat itu, ia mengatakan hal yang harusnya ia pendam. Agar Zean mengerti dan menjaga jarak dengannya.
Namun yang terjadi, takdir benar-benar ingin ia dan Zean tetap bersama. Hingga mereka berhadapan pada dua jalan yang berbeda. Tidak dapat dipastikan memang, kapan itu terjadi. Namun Liao tahu betul, jika itu tidak akan lama lagi. Sehingga kini, Liao memilih menerima takdir itu sebaik mungkin. Sebelum takdir lain datang, dan memaksanya untuk memilih.
"Ceritakan jika ada sesuatu yang mengganggu pikiranmu, sayang." Ujar Zean, dengan mengusap lembut dahi Liao yang tadi mengerut tipis. Ucapan serta usapan Zean berhasil menarik kembali Liao pada kesadarannya. Liao kembali tersenyum lalu menggenggam erat jemari Zean yang berada di wajahnya.
"Bukan hal yang penting, pangeran." Zean menghela nafas panjang.
"Apakah aku tidak bisa menjadi sandaran atau tempat untukmu bercerita?" Zean mendekatkan wajahnya ke wajah Liao. "Biarkan aku menjadi berguna untukmu, Liao."
Liao memejamkan matanya. Ia menghirup dalam aroma Zean yang sudah dihafalnya di luar kepala. "Kau berguna untukku, pangeran. Memiliki perasaan yang bukan perasaan iba."
Liao memberanikan diri untuk semakin mendekatkan wajahnya ke wajah Zean. Sehingga kini, hidung mereka saling bersentuhan. "Terima kasih karena memiliki perasaan itu, pangeran."
Zean mengecup pelan bibir Liao. "Ini adalah takdir kita, sayang. Seharusnya aku yang berterima kasih karena kau hadir," kepalanya kini mendekat ke arah ceruk leher Liao. "Aku mencintaimu."
Liao hanya bisa tersenyum. Andai saja, andai saja ia tetap menjadi seseorang yang tidak terikat pada apapun, ia bisa mengatakan apa yang seharusnya ia katakan.
"Aku ingin segera sembuh. Aku sungguh merindukanmu." Awalnya, dahi Liao mengerut karena bingung. Hingga ia mendengus pelan karena tangan Zean yang mengusap perut bawahnya.
"Entah kenapa, Anda terlihat menyebalkan." Zean terkekeh pelan. Ia mengusap lembut wajah Liao.
"Ah ya, sejak kemarin, saya ingin memberikan sesuatu." Liao menarik wajahnya. Ia menarik diri agar menjauh dari Zean. Tubuhnya berbalik, lalu mengambil sesuatu yang ada di bawah tempat tidur.
"Ini, pangeran." Pandangan Zean teralih pada botol berukuran sedang. Yang memperlihatkan cairan berwarna hijau pekat. Raut wajah bingungnya pun langsung berganti menjadi malas. Sudah dikatakan, jika pangeran ini membenci ramuan apapun.
"Minumlah ini agar lukamu lekas sembuh. Aku yang membuatnya sendiri." Zean membuang mukanya.
"Kau tahu aku tidak menyukai ramuan apapun." Liao tersenyum.
"Ini tidak seperti ramuan lainnya, pangeran." Ujar Liao dengan senyum. Rasanya, Zean lebih kekanakan dari Rean jika sedang seperti ini.
"Tetap saja. Semua ramuan bagiku sama." Liao menghela nafas panjang. Bagaimanapun caranya, ia harus bisa membuat Zean meminun ramuan ini. Ia tidak ingin, luka di perut Zean semakin parah. Apalagi, sampai saat ini Raja Xen belum sadarkan diri.
"Apa Anda benar-benar mencintaiku?" Zean langsung memandang lekat ke arah Liao. Dahinya menyerngit dengan tatapan mata yang terlihat tidak suka. Tentu saja. Ia tidak suka jika perempuannya itu meragukan perasaannya.
"Tentu saja. Kenapa kau bertanya seperti itu?" Liao kembali menghela nafas panjang.
"Lalu...kenapa Anda tidak ingin meminum ramuan yang sudah saya buat sendiri? Saya benar-benar tidak ingin Anda terus terluka seperti ini." Zean kembali menatap botol di tangan Liao.
"Baiklah. Aku akan meminum ramuan itu." Liao tersenyum. Ia membantu Zean untuk bangun dari posisi tidurnya menjadi duduk. Setelahnya, Liao membuka tutup botol itu, dan menyerahkannya pada Zean.
Meski enggan, Zean menerimanya. Pria itu perlahan meminum ramuan yang tidak menciptakan bau itu secara perlahan. Dahinya menyerngit, takkala seluruh air ramuan itu berhasil lolos masuk ke dalam mulutnya.
"Yang kutahu, ramuan terasa pahit. Kenapa ini tidak?" Liao tersenyum penuh arti. Ia mengambil kembali botol kaca yang telah kosong itu dari tangan Zean.
"Sudah saya katakan, jika ramuan ini berbeda dengan ramuan lainnya," Zean mengerjapkan matanya beberapa kali. Matanya perlahan terasa berat, hingga ia tidak bisa menahannya lagi. Liao yang melihat itu kembali tersenyum, dan membiarkan Zean terlelap lagi. "Karena akan membuat Anda terlelap dalam waktu lama."
* * * *
Lagi. Malam itu, di kediaman bangsawan yang jaraknya berada cukup dekat dengan jalan menuju Istana. Tidak ada yang selamat lagi malam ini, seperti malam-malam sebelumnya. Genangan darah berada di mana-mana, dengan tubuh manusia-manusia itu yang sudah terpotong menjadi dua bagian.
Namun sesuatu yang berbeda berada di depan gerbang bangunan rumah itu. Seseorang tengah berdiri di balik tembok, mengintip ke arah dalam bangunan. Di mana, dari tempatnya, ia bisa melihat sosok orang berpakaian serba hitam itu.
Ia segera bersembunyi saat orang itu berjalan keluar dari rumah itu. Mengetahui jika orang yang menjadi targetnya berjalan meninggalkan bangunan, ia segera mengikutinya dari belakang.
Ia sebisa mungkin berjalan tanpa suara, meski sekarang mereka sudah berada di hutan. Ia kembali bersembunyi, saat orang itu berhenti di depan sungai yang mengalir. Memperhatikan orang berpakaian serba hitam dengan tajam. Ia setidaknya harus mengetahui wajah pembunuh berantai itu.
Namun tampaknya, ia cukup menyesal melakukan hal itu. Karena saat orang itu membuka penutup kepalanya, serta menoleh sedikit ke arahnya, ia membelakkan matanya. Tubuhnya seketika menengang saat tahu siapa orang itu.
Ia terus memperhatikan orang yang cukup jauh di depannya itu, hingga orang itu melepas seluruh pakaiannya. Bukan, ia bukan berniat kurang ajar, karena orang itu masih menggunakan pakaian. Hanya saja, sekarang apa yang dilihatnya sudah membuktikan semuanya. Jika orang itu, adalah orang yang dia kenal.
Kenapa? Kenapa harus dirimu?
Kalian penasaran gak? Nih muncul sosok misterius lagi. Wkwkwkwk...keterlaluan ya ane?. Biarinlah, kagak peduli.
Thanks buat 100+ yang udah baca sama vote :). Ane harusnya ngucapin ini sejak beberapa bab yang lalu, tapi lupa.
Next Chapter is Loading...
Finish : Selasa, 12 Februari 2019
Publish : Sabtu, 16 Februari 2019Bye bye ♡♡
![](https://img.wattpad.com/cover/168832726-288-k752389.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Sword [THE END]✓
FantasíaKisah antara seorang Pangeran dan seorang gadis dari desa. Satu takdir yang mempertemukan mereka, menjadi awal munculnya dua takdir yang berbeda. "Kita berada di takdir yang berbeda, Pangeran." Zean terdiam. Matanya langsung menatap lekat Liao, deng...