Sehun membuka pintu rumahnya yang gelap tanpa cahaya sedikit pun. Entah dia memang sengaja atau memang pecinta gelap, rumah ini gelap gulita seperti dalam goa. Jemari tangan Sehun meraba dinding yang ia yakini tempat di mana tombol untuk menyalakan lampu berada.
Sehun mengeklik tombol lampu. Cahaya oranye lampu temaram menerangi huniannya. Sehun menaruh mantel yang dipakainya di gantungan. Lalu melepas seragam sekolah yang membungkus tubuh kekarnya seharian ini.
Sehun tipekal pria yang mencintai kebersihan dan kerapian. Terlihat dari letak taanan barang-barang di huniannya yang rapi dan ia taruh dengan hati-hati. Kepribadiannya ini membungkus rapi gelar perayunya.
"Selamat malam, sayang..." Sehun menyapa ikan-ikan kecil di akuariumnya.
"Kalian pasti menungguku, kan?" tanyanya jelas tak akan mendapat balasan kecuali ia hidup di negeri dongeng.
Sehun mengambil sebuah kotak kecil di samping akuarium tersebut, lalu mengeluarkan isinya. "Makanlah, kalian harus kenyang sebelum tidur." ujarnya seraya menaburkan makanan khusus untuk mereka.
Sehun tersenyum getir menyapa para sahabat-sahabat kecilnya itu. Ia tidak punya siapa-siapa di rumah ini, tak satu pun. Ia mahluk kesepian dan menyedihkan di balik bujuk rayuan mulut manisnya.
"Kalian harus kenyang, hari yang melelahkan masih panjang." alih-alih menujukan kalimat itu pada mereka, sebenarnya kalimat itu lebih pas tertuju padanya. Ikan-ikan itu hidup seperti biasa, tidak ada yang melelahkan. Hidup Sehun lah yang mungkin seperti itu. Panjang tak berujung dan melelahkan tak berhenti.
Bola mata Sehun bergerak, menatap bingkai foto usang yang masih terawat dan terpajang di deret rak dindingnya. Di foto itu tampak Sehun kecil merangkul gadis yang mungkin seusianya sambil tersenyum lebar. Senyum polos khas anak-anak pada masanya.
Sehun terpekur cukup lama menatap foto itu. Sampai akhirnya, setitik air mata menyadarkannya. Ia merapa bawah matanya, mengusapnya dengan ibu jari.
"Kau membuatku tampak lemah, sahabatku." ungkapnya menahan getar yang membuncah dari ruang di dadanya.
"Kau senang?" Sehun kembali menatap foto itu dengan senyum getir. "Kau harusnya senang di mana pun Kau berada." lanjutnya sambil mengangguk-angguk. Seolah-olah foto yang diajaknya bicara dapat mendengarnya.
"Jangan lupakan Aku di sana, ya." napas Sehun tercekat. "Aku merindukanmu." ia tak mampu lagi menampung gemuruh di hatinya. Air matanya pun tumpah ruah dalam kesunyian.
Kembalilah, kumohon...
Maafkan Aku...•¶•
"Seonbae, tunggu!" Hae Soo memanggil Kyung Soo yang baru saja akan mengayuh sepedanya.
Kyung Soo pun terpaksa membatalkan niatnya dan menunggu Hae Soo yang sedang berjalan mendekatinya.
"Iya, ada apa?" timpa Kyung Soo ramah.
"Eum ... apakah Seonbae punya waktu sebentar? Ada yang ingin kubicarakan." Hae Soo menyampaikan maksudnya dengan gugup.
Kyung Soo pun tersenyum sembari melirik jam di pergelangan tangannya. "Ada waktu sepuluh menit sebelum Aku menemui seseorang, cukup?"
"Tentu, ini tidak akan lama." Hae Soo menyambutnya dengan senang hati.
"Baiklah, bicara di sini tidak apa-apa, kan?"
"Tentu saja. " Hae Soo tersenyum kikuk seraya membenarkan anak rambutnya yang terbang tertiup angin.
"Apa yang ingin Kau bicarakan? Apakah ini berhubungan dengan Chanyeol?" Kyung Soo mengajukan pertanyaan sebagai awal dari pembicaraan mereka.
Hae Soo menggeleng cepat, "Tidak, tidak ada sama sekali."
"Lalu, tentang apa?" Kyung Soo menantikan jawaban Hae Soo yang seharusnya.
"Eum ... maaf jika pertanyaan ini sedikit lancang," Hae Soo hati-hati mengajukannya.
"Tanyakan saja, tidak apa-apa." Kyung Soo memberi keyakianan dengan anggukannya.
Hae Soo pun menarik napas panjang mempersiapkan keberaniannya. "Saat ayahku di rumah sakit, apakah Seonbae yang melunasi tagihan biayanya?"
Kyung Soo lantas tersenyum simpul, "Hanya itu?"
"Heh?" Hae Soo juga ikut serta bingung.
"Pertanyaanmu, apakah hanya tentang itu saja? Kulihat butuh keberanian besar sebelum mengatakannya." tanya Kyung Soo membuat Hae Soo kesulitan menelan liurnya.
Kyung Soo menggerakkan tangan kanannya, membenarkan syal berwarna merah yang dikenakan Hae Soo dengan sembarangan.
"Kenapa Kau mengira orang itu adalah Aku, hem?" tangan Kyung Soo yang satu lagi ikut bergerak memegang pundak Hae Soo.
"Ka ... karena biaya rumah sakit kemarin sangat mahal dan jelas keluargaku tidak punya uang sebanyak itu. Jadi..."
"Jadi Kau mengira itu Aku?" sambung Kyung Soo membuat Hae Soo semakin tidak enak hati.
"Hae Soo-ya, Aku memang terlahir dari keluarga kaya raya. Tapi itu milik keluargaku, bukan punyaku." imbuh Kyung Soo.
Hae Soo tersenyum kaku, "Maafkan Aku, Seonbae. Aku membuatmu tidak nyaman dengan pertanyaan ini." Hae Soo mundur selangkah lalu membungkuk.
"Kau berlebihan, Aku tidak masalah dengan ini. Aku memahami keadaanmu." Kyung Soo mengajak Hae Soo untuk menegakkan badan.
"Saya sangat malu sekarang." Hae Soo menutupi wajahnya dengan tangan.
Kyung Soo terkekeh pelan, lalu mengacak-acak pucuk kepala Hae Soo. "Masih ada waktu yang tersisa, mau bertanya hal lain lagi?"
Hae Soo menggeleng cepat, tangannya masih setia menutupi wajah.
"Baikalah, kalo begitu. Oh, iya, Aku minta maaf soal waktu itu juga untuk temanmu. Bilang padanya Aku hanya bercanda malam itu." pesan Kyung Soo.
Hae Soo merenggangkan beberapa jarinya untuk mengintip keluar, memandang wajah Kyung Soo. "Maaf? Maaf untuk apa, Seonbae?" tanya Hae Soo bingung.
"Dasar, pelupa! Itu PR untukmu, Aku pergi sekarang." pamit Kyung Soo lekas pergi menyisakan pertanyaan dalam benak Hae Soo.
"Malam itu?" Hae Soo berpikir keras mengingat hal apa saja yang ada keterkaitannya dengan Kyung Soo.
"Entah, entah, Aku lupa!" Hae Soo menyerah dengan ingatannya yang buruk. Mungkin dia ahli dalam bidang bela diri, tapi kurang dalam hal mengingat. Ia pun bergegas mengambil sepedanya kemudian pulang.
"Bagus, dia sendiri sekarang. Ayo, kita mulai!"
TBC
Revisi|2021
KAMU SEDANG MEMBACA
Boys Over Flowers EXO Vers. [REVISI]
FanficBoys Before Flowers versi Exo dengan sedikit perubahan alur dan penambahan tokoh-tokoh pendukung lain. Sudah tamat, tapi masih proses revisi. Pengunggahan ulang mengikuti suasana batin penulis.