62. Cry Noon

4.3K 885 231
                                    


Kita bukan Istiqlal dan Katedral yang ditakdirkan berdiri berhadapan dengan perbedaan, namun tetap harmonis. Andai saja mereka punya nyawa, siapa yang tau kalau mereka saling jatuh cinta? -unknown


_______

Ini hari terburuk yang pernah ada sepanjang sejarah gue di bangku SMA. Benar-benar buruk sampai rasanya gue mau menghilang sekarang juga, lenyap dan muncul di dunia lain----oke lupakan gue jadi meracau nggak jelas. Gue duduk di kursi samping pengemudi Mamang angkot. Menatap tanpa minat mobil-mobil di depan yang sedang menunggu lampu merah. Gue beralih menatap langit sore yang jingga.

Jadi harus putus ya?

Padahal baru kali ini gue ngerasain yang namanya cinta terbalas. Situasi dimana orang yang gue cintai berbalik melakukan hal yang sama. Ew terdengar cheesy, bagaimana bisa bocah remaja SMA yang genap baru 17 tahun ngomongin cinta.

Gue menghela nafas. Dalam hati berteriak.

SAH-SAH AJA ANAK SMA NGOMONGIN CINTA!

Memang ada batasan umur dimana manusia baru boleh mencintai?


"Neng kok nangis?"

Gue tersadar dan buru-buru menatap spion dan terkejut mendapati wajah gue yang sudah basah karena air mata. Sejak kapan gue mulai menangis? Gue sendiri nggak sadar.


"Hehe nggak apa-apa kok"


"Bohong pasti lagi sedih ya? Diputusin sama pacarnya ya?"


Gue mengumpat. Bukan mengumpat ke Mamang angkot, bukan kok. Tapi mengumpat kalau tebakannya hampir benar. Bedanya disini gue yang harus memutuskan, dipinta, dipaksa dan memang diharuskan.


Sedih ya? Padahal udah sama-sama nyaman tapi harus pisah karena sebuah alasan klasik.

Perjodohan.

Juga alasan semesta yang memang nggak mengijinkan.

Beda iman.

Ibaratnya gue tasbih, Guanlin salib. Gue masjid, dia gereja. Gue Al-Qur'an dia Alkitab.

"Kimi, seandainya kamu dan Guanlin sama. Tante nggak akan menentang"

"Guanlin Tante pertemukan dengan orang yang berkeyakinan sama, Tante harap kamu mengerti"

"Coba bilang ke saya siapa yang bikin kamu nangis, biar nanti saya omelin" Gue mengusap air mata gue sambil sesekali tertawa. Mamang angkot yang memang sudah akrab dengan gue dari kelas 10 ini, umurnya sekitar 45 tahun hampir seumur dengan Ayah.

Dia tersenyum lebar melihat gue tertawa.

"Cinta segitiga hehe, antara saya, pacar saya dan Tuhan"


"Astaghfirullah maksudnya apa neng saya kurang ngerti"


Dua Kutub Magnet Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang