58. Forgive

4.3K 854 123
                                    

__________


Hari ini Guanlin jemput gue ke rumah. Sekitar jam 7 kurang 15 menit Guanlin datang ketika gue masih di dalam kamar mandi. Beberapa Minggu belakangan ini pacar gue itu jarang banget jemput dan ngajak bareng, paham sih doi sibuk. Guanlin sengaja jemput 15 menit sebelum masuk sekolah, karena dia tau kalau gue berangkat ke sekolah itu pukul 7 pas, katanya bosen liat gue telat terus.


Guanlin juga sempet sarapan roti selai coklat buatan Mamah di rumah gue. Mamah juga bilang makasih berkali-kali telah membawa gue ke jalan yang baik. Lebay banget, padahal gue juga nggak melenceng amat.

Kami sampai di sekolah 3 menit sebelum bel masuk berbunyi. Sepanjang jalan Guanlin cerita soal bagaimana repotnya OSIS ketika Aluna di depak tiba-tiba.


"Ribet pokoknya, kita mau buat laporan tahunan soalnya semester depan kan angkatan 23 udah nggak OSIS lagi, eh malah ganti ketua yang baru"

Di sisi lain gue mengangguk kecil, mendengarkan cerita dengan baik. Padahal sejujurnya gue nggak ngerti-ngerti banget sama organisasi intra sekolah itu, nggak pernah ngikut soalnya.


"Lin"

"Hmmm?" Cowok itu menoleh, menunggu gue melanjutkan berbicara.

"Masa tiba-tiba gue nostalgia waktu SMP hahaha" Guanlin menaikkan sebelah alisnya.

"Itu loh waktu jamannya gue, Daniel sama Aluna masih temenan"


Kami berjalan melewati koridor ruang guru dan sesekali berhenti untuk memberi salam. "Emang sekarang udah nggak temenan? Kan masih satu sekolah"

Gue terdiam sebentar, ini Guanlin pura-pura polos atau gimana ya? "Lin, kan gue musuhnya si alun-alun"


"Iya Kimi, maksud gue kan elo sama dia masih satu sekolah, ya berarti temenan. Emang kenapa? Kalau udah jadi musuh nggak boleh temenan lagi?"

"Nggak ada yang bilang sih"

"Kim, Lo harus belajar yang namanya merelakan. Setiap manusia di kasih cobaan berat dalam hidupnya, tapi Tuhan selalu tau kalau manusia yang dia uji pasti bisa ngatasin itu. Sekarang Lo udah bahagia sama keluarga Lo, walaupun pisah sama bokap kandung Lo, yang namanya luka hati sembuhnya memang lama"


"Tapi Lo tau kan sama yang namanya takdir? Seberjuang Lo melawan takdir, yang namanya takdir itu dari Tuhan. Jadi gue pikir, sudah saatnya Lo bisa nerima itu semua dan menjalani hidup Lo tanpa kebencian lagi"


Entah kenapa kalimat terakhir yang dilontarkan Guanlin seakan-akan menghantam kepala gue dengan kuat. Menyadarkan diri gue sendiri untuk melenyapkan kebencian di dalam hati gue.


Entah untuk Ayah, Aluna maupun takdir yang diberikan sama sang pencipta.


Mungkin dulu gue nggak bisa terima ketika rapot Aluna diambil oleh Ayah. Tapi sekarang, bukannya ada Ayah Dastan? Walaupun kami bukan sedarah, tapi gue begitu sadar kalau Ayah Dastan mencoba untuk membuat gue nyaman berada di sekitar dia, berbicara hati-hati agar tidak membuat gue sakit hati, dan memberikan apapun yang gue mau selagi itu bukan hal yang negatif.

Dua Kutub Magnet Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang