Chapter 8
***
Gue terbangun dari aspal. Luka lutut gue seakan tidak berasa sakit, jantung gue berpacu dengan cepat kala mendengar suara di belakang semakin mendekat. Dan teriakan siswa bernama Jeykey yang menyerukan nama gue, bagaikan panggilan malaikat maut. Sangat menakutkan.
"Lo--- Gila" Ucap Guanlin terbata, matanya membulat kala melihat wajah panik dan ketakutan gue, beserta gerombolan siswa berseragam berbeda dari belakang.
Tanpa pikir panjang, gue meraih tangan Guanlin yang masih sibuk menyerap keadaan genting saat ini. Daripada menunggu dia sadar ke realita, lebih baik gue menariknya terlebih dahulu, membawanya lari, sebelum gerombolan siswa dibelakang semakin mendekat dan membuat gue semaput di tempat.
"LO NGAPAIN NARIK GUE BANGS*T?!" Protes Guanlin kencang, tapi langkah kakinya mengikuti gue berlari saat ini.
"Lo mau mati di tempat tadi?! Itu liat anak Pelita lagi ngincer anak Pancasila! Heran deh gue, lo jenius tapi lemot!" Balas gue nggak kalah kencang.
Kami berlari dengan kecepatan tinggi, nyaris sama dengan kecepatan cahaya, nggak deh bercanda. Gue berlari dengan menarik tangan Guanlin. Namun langkahnya yang besar serta tenaga cowoknya membuat langkah dia semakin terdepan. Justru gue yang ditarik sama Guanlin saat ini.
Kaki gue rasanya benar benar mau copot lantaran menyamakan dengan langkah besar Guanlin, ditambah tenaga gue sudah terkuras demi menghindari Abang ojek dan polisi, ditambah gue di kejar kejar sama musuh.
Sial bener. Kok gue yang apes, padahal gue cuman teriak nyemangatin teman teman dan sepupu gue dari belakang.
"Lin, sumpah, kaki gue nggak kuat lagi" Keluh gue dengan nafas yang terputus putus.
"Terus Lo mau istirahat dulu leha leha di jalanan dan nungguin ajal?!" Dia malah ngomel.
Gue udah nggak tahu lagi seberapa jauh kita berlari, gue juga udah nggak tau dimana daerah ini. Gue hanya mengikuti langkah Guanlin yang menarik gue kesana kemari. Berbelok ke jalanan, belok lagi, lurus, entah sudah beberapa kali gue menemukan pertigaan. Gue sama sekali nggak memperhatikan, pandangan gue sudah berkunang kunang, lelah banget. Rasanya gue mau menjatuhkan diri aja.
Diantara nafas yang pendek dan kaki yang lelah, Guanlin menarik gue menuju gang sempit diantara rumah rumah, kemudian kami berhenti saling berhadapan karena gang yang begitu sempit, tangannya dengan cepat menaruh telunjuknya di bibir gue.
Menyuruh gue diam.
Sialnya, gue malah baper.
Nafas kami sama sama tersengal-sengal, jarak kami yang begitu dekat membuat nafas Guanlin menerpa wajah gue dengan ritme deru nafasnya. Selain nafas gue yang rasanya mau berhenti, di lain sisi, di tempat paling dalam jantung gue berpacu dengan cepat. Hingga rasanya mau copot.
Bayangin, jarak kami berdua terlampau dekat.
Samar sama gue mendengar suara anak Pelita mendekat dan langkah lari yang semakin dekat pula. Selain jantung mau copot lantaran modus tidak terencanakan ini, gue juga takut setengah mampus. Takut terciduk, ngumpet disini.

KAMU SEDANG MEMBACA
Dua Kutub Magnet
Fiksi Penggemar[ Book 1 ] #PANCASILA'S UNIVERSE Gue sama Guanlin itu bagaikan dua kutub magnet yang berbeda. Mungkin dia Positif dan gue Negatif. Tau artinya? Iya beda. Beda banget. Gue anaknya nakal, Guanlin anak baik baik. Gue anaknya bobrok, Guanlin perfeksioni...