"Dan saat Yoongi baru saja pulang, Appa memukulnya. Benar begitu?"
Hoseok dan Jungkook menatap Jaehyun, kala perkataan itu keluar dari mulut Seokjin.
"A-apa maksudmu, Seokjin-ah?"
"Ck, perlu kuperjelas? Di kamar mandi belakang. Apa Appa sudah melupakannya?" tanya Seokjin sarkas. Ia tepat lekat manik sang Ayah.
"Appa, apa itu benar? Yang dikatakan Jin Hyung?" Jaehyun menatap Jungkook. Si bungsu itu menatap tak percaya padanya. Ia hanya bisa diam. Membiarkan Seokjin memojokkannya, karena yang dikatakan si sulung itu benar adanya.
"Hiks, Yoongi Hyung ...."
"Diamlah! Kau pun juga sama, Kook!" Hilang kendali, Seokjin membentak Jungkook dengan kalimat tajamnya. Hoseok segera menghampiri Seokjin. Menarik yang lebih tua agar sedikit menjauh dari sana.
"Hyung, sudah ... jangan diungkit lagi. Kita harus fokus pada keadaan sekarang. Yoongi masih di dalam, dan sebaiknya kita tidak membuat keributan," tutur Hoseok. Seokjin menatap sahabat Adiknya ini lekat-lekat. Setetes air mata turun dari maniknya, disusul dengan buliran lain yang turun menuruni pipinya.
"Aku hanya takut, Seok-ah .... Yoongi, hiks ... ba-bagaimana jika--"
"Jangan berpikir seperti itu, Hyung." Hoseok menepuk bahu lebar Seokjin. Ia tentu paham betul apa yang dirasakan Seokjin, karena ia juga merasakannya.
Takut kehilangan.
"Haha, lihat wajahmu, Hyung. Merah semua, seperti badut." Seokjin mendelik kesal menatap Hoseok yang menertawaiannya. Ia memukul bahu Hoseok dengan tangan kirinya.
"Aaakh! Sakit! Jahat sekali. Uuhh ... bahuku yang malang." Hoseok mengelus bahunya yang baru saja terkena pukulan Seokjin.
"Dasar! Siapa suruh mengataiku. Tak sadar diri, dasar kuda," omel Seokjin. Mana mau ia dikatai badut?
"Hyung, kau jahat sekali!" rajuk Hoseok, yang sama sekali tak dipedulikan oleh Seokjin.
***
Jaehyun menatap lamat-lamat pintu yang masih tertutup sejak tadi. Ia merutuki dirinya sendiri. Yoongi harus menderita karenanya. Bahkan, ia memukuli Yoongi saat itu hanya karena ucapan Bogum.
Seokjin dan dua lainnya sudah terlelap di sebelahnya. Dari ketiga anak itu, wajah Jungkook yang paling terlihat sembab. Anak itu terus menangis sembari menggunakan kata 'maaf' berkali-kali, berakhir dengan kelelahan dan tertidur.
Sudut bibir Jaehyun tertarik, melukis sebuah kurva lengkung. Ia rindu saat di mana ketiga putranya bermain bersama dan bertengkar hanya karena sebuah mainan kecil. Ah ... jika Yoongi ada di sini, semuanya akan terasa lengkap. Tapi putra keduanya itu justru tengah berjuang antara hidup dan mati di dalam sana.
Setetes air mata turun hingga jatuh membasahi lantai rumah sakit. Lelaki itu mengutuk dirinya sendiri. Karena ia anaknya jadi seperti ini. Coba saja jika ia tidak menyalahkan Yoongi atas kejadian dua tahun lalu. Jika ia sering berada di rumah, pastinya sekarang ketiga anaknya akan saling bermain bersama. Tak ada permusuhan atau bahkan kebencian. Coba saja jika ia tak termakan kata-kata Bogum hingga dirinya berubah menjadi monster saat itu. Dan jika saja, Yoongi tidak menyelamatkan dirinya tadi.
Tapi hanya penyesalan yang tersisa. Jika saja waktu bisa diputar kembali ....
Tapi terlambat. Semua sudah berlalu.
.
.
.
Sudah empat jam empat mereka menunggu, dan sampai detik ini hanya Jaehyun yang berhasil melawan kantuknya. Sebenarnya matanya sudah berat, tapi ia tetap memaksa keduanya agar terbuka. Ia hanya berpikir, bagaimana jika pintu itu tiba-tiba terbuka?
Tapi, kantuk benar-benar kuat menariknya. Jaehyun menutup matanya, hampir saja ia tertidur jika pintu di depannya tidak segera terbuka.
Jaehyun bangkit dari duduknya. Kantuk di matanya seakan hilang entah kemana. Di hadapannya kini ada seorang dokter yang keluar dengan raut lelahnya.
"Euisanim, bagaimana?"
"Maaf, tapi Anda siapa?" Ilwoo bertanya sopan. Ia belum pernah melihat lelaki ini sebelumnya.
"Saya Min Jaehyun, Ayah Yoongi. Bagaimana keadaan Yoongi, Euisanim?" tanya Jaehyun.
"Mari ikut keruangan saya. Akan saya jelaskan di sana," dan dengan segera, Jaehyun membututi dokter itu menuju ke ruangannya.
***
Satu kata yang mewakili Jaehyun sekarang.
Hancur.
Dirinya hancur seketika setelah mendengar penjelasan dokter. Lelaki itu berjalan dengan mata yang menatap lekat pada lantai. Bahkan teguran seperti, "Jalan yang benar!" juga umpatan-umpatan kecil tidak ia hiraukan. Air matanya tak berhenti mengalir sedari ia mendengar penjelasan dokter tadi.
Langkahnya berhenti di depan ICU. Ia mengusap kasar air matanya, dan menghampiri ketiga remaja yang berada di ruang tunggu.
Yoongi belum bisa dijenguk, karena akan berada dalam pengawasan dokter 24 jam penuh. Lelaki itu mendesah lelah. Menunduk, menutup wajah dengan dua tangannya.
Yoongi-ah ... maaf ...
Maafkan Appa.
TBC
KAMU SEDANG MEMBACA
Mianhae Yoongi ✔
FanfictionDisclaimer: fanfiction | Brothership - Completed " ... semenjak dua tahun lalu, ia bukan lagi Kakakku." "Aku tidak memiliki Kakak! Tidak untuk pembunuh sepertinya!" [18-02-19]- [22-06-19]