"Hei, apa mereka berdua tidur?" Hoseok mengarahkan pandangannya pada dua orang yang dimaksud. Lelaki itu tertawa kecil.
"Iya, Hyung."
Seokjin lantas berdiri, berjalan menuju ranjang.
"Ugh ... kelinci ini berat sekali, ya ampun ...," keluh Seokjin saat memindahkan si bontot. Setelahnya ia kembali menuju ranjang untuk membenahi posisi tidur Yoongi, juga menyelimutinya sebatas dada.
Senyumnya terukir, Seokjin mengelus lembut surai sang Adik.
"Hyung, aku mau ke kantin. Apa ada yang kau mau? Akan sekalian kubelikan," ucap Hoseok. Seokjin mengangguk kecil. "Roti dan sebotol soda saja."
Dan setelah menjawab singkat, Hoseok segera keluar dari ruangan. Membeli makanan ringan untuknya, juga roti dan soda pesanan Seokjin.
Tak lama, Hoseok datang dengan satu kantong plastik berisi makanan.
"Ini, Hyung." Hoseok menyodorkan plastik berisi pesanan Seokjin.
"Terima kasih," balas Seokjin. Hoseok mengangguk untuk membalas.
Mereka berdua minum dengan tenang sampai ketukan pintu mengalihkan perhatian keduanya.
Tok, tok, tok ....
Seokjin dan Hoseok mengernyit heran. Jika itu Ilwoo ataupun Jaehyun, mereka berdua tidak perlu mengetuk pintu untuk masuk, bukan?
"Biar kubuka, Hyung," Hoseok berujar. Lelaki itu membuka pintu, dan terdiam segera setelah melihat siapa yang datang.
"Kau siapa?"
"Siapa, Seok?" Seokjin berdiri. Ia berjalan menghampiri Hoseok yang terdiam di ambang pintu.
"Oh, Jimin? Ayo masuk."
"Bo-boleh, H-hyung?" Seokjin mengangguk.
"Tentu saja. Ayo masuk."
Jimin melangkah mengikuti Seokjin. Beberapa saat setelahnya ia terdiam, mematung di tempat.
"A-ada Jungkook di sini?" ia melirih. Sejak kejadian itu, Jimin selalu menghindari Jungkook. Ia berpikir, bahwa Jungkook pasti membenci dirinya setelah apa yang Ayahnya lakukan.
"Iya, Jungkook selalu merengek untuk menemani Yoongi." Seokjin terkekeh kecil.
Jimin terdiam. Anak itu menundukkan kepalanya.
"Maaf ...," lirihnya penuh sesal. Seokjin menggeleng. Ia menepuk bahu Jimin, membuat yang lebih muda mendongak.
"Bukan salahmu, Jimin-ah ...."
"Tapi Ayahku--"
"Hei, dengarkan Hyung. Kau tidak salah apapun. Jadi, jangan meminta maaf, paham?" jelas Seokjin. Yang lebih muda menunduk.
"Aku, minta maaf atas nama Ayahku, Hyung," ucap Jimin. Anak itu tiba-tiba saja bersujud di hadapan Seokjin, membuat yang lebih tua membulatkan mata terkejut.
"Jimin-ah ... jangan--"
"Kumohon maafkan Ayahku, hiks ...."
"Jimin-ah, bangunlah," ujar Seokjin.
"Lupakan masalah itu. Semuanya baik-baik saja sekarang." Seokjin menunduk. Melirik Yoongi yang terlelap dengan senyum sendu.
"Bogum Ahjussi sudah mendapat hukumannya, bukan? Jangan diungkit lagi, ya?" ia berujar.
Jujur saja, sulit baginya untuk berkata bahwa ia memaafkan Park Bogum.
Tapi, Jimin ... anak itu tidak mengetahui apapun.
"Sudah, jangan menangis." Ia menghapus air mata Jimin dengan ibu jarinya.
Ia menarik napas.
Cukup sekali.
Seokjin tidak mau membenci orang yang tak bersalah, lagi.
.
.
.
"Kau tinggal bersama siapa sekarang, Jimin-ah?" Hoseok bertanya, karena setahunya, rumah Park Bogum telah disita oleh pihak bank.
"Aku tinggal bersama Paman," jawab Jimin. Anak itu tersenyum, yang justru mencubit hati Seokjin.
"Maaf, Jimin-ah, kau jadi harus berpisah dengan--"
"Tidak apa, Hyung. Lagi pula Appa memang harus mendapat balasannya. Dan juga, aku tidak sendirian. Ada Sungwoonie Hyung dan Paman yang bersamaku," potong Jimin. Anak itu tersenyum hingga matanya membentuk bulan sabit.
Seokjin dan Hoseok tersenyum getir. Ibu dari anak itu sudah meninggalkannya, dan Jimin membutuhkan waktu yang cukup lama untuk bertemu dengan Ayahnya.
"Eunggh ...."
Ketiga remaja itu menoleh ke arah sofa, di mana Jungkook melenguh panjang sebelum bangun dari tidurnya.
Jimin menunduk dalam. Ia sudah siap menerima setiap amukan dari Jungkook.
"Ada Jimin?" Jungkook berjalan mendekat. Ia memperhatikan wajah temannya yang masih setia menunduk.
"Hei, kenapa kau menghindari ku di sekolah?"
"Hei, hei ... kau tidak mau lihat wajahku yang tampan ini?"
Oke, Hoseok dan Seokjin sama sekali tidak mengira kalimat seperti itu akan keluar dari mulut Jungkook. Hoseok terkekeh kecil, lain dengan Seokjin yang mendengus jengah.
"Jiminie ...."
Tak tahan, Jungkook menangkup wajah itu dengan kedua telapak tangannya lalu mengangkatnya. Memaksa sang sahabat untuk menatapnya.
"Wah, pipimu masih sama gendutnya, ya!" Anak itu terkekeh jahil.
"Kau ... tidak marah Kook?"
Jungkook terdiam. "Aku marah? Untuk apa?" beonya.
"Tapi, Ayahku--"
"Hyung, apa aku harus marah pada orang yang tidak bersalah?" tanya Jungkook pada Seokjin. Ia memotong ucapan Jimin begitu saja.
Anak itu tersenyum begitu sang Kakak menggeleng. Ia menatap Jimin.
"Lihat! Aku tidak marah, Jimin-ah," lanjutnya.
Jimin tersenyum tipis. Lega karena ia telah mendapat maaf.
"Terima kasih ...."
***
19.30
"Yoongi Hyung, Jin Hyung, Jungkookie, Paman Jaehyun, Jimin pamit pulang dulu. Paman sudah menunggu, dan terima kasih makanannya," ujar Jimin. Ia berdiri dan membungkuk sopan.
"Hati-hati Jiminie!!" Jimin mengangguk dengan senyumannya.
Ia beruntung, maafnya diterima. Bahkan reaksi Jaehyun tidak seperi yang ia bayangkan. Jimin mengira, Jaehyun akan marah karena dirinya datang. Tapi, Jaehyun justru tersenyum lalu menepuk bahunya. Berkata bahwa apa yang terjadi bukan merupakan salahnya.
Juga Yoongi .... Jimin benar-benar merasa buruk padanya. Tapi yang ia dapatkan justru senyum hangat, juga usakan lembut pada surainya.
Jimin merasa benar-benar lega setelah mendapatkan maaf dari keluarga yang telah hancur oleh Ayahnya. Terlebih, Jungkook. Sahabatnya itu tak membencinya.
Jimin tersenyum lebar.
Setelah ini, ia tak lagi harus bersusah payah untuk menghindar dari Jungkook, karena rasa bersalah.
TBC
KAMU SEDANG MEMBACA
Mianhae Yoongi ✔
FanfictionDisclaimer: fanfiction | Brothership - Completed " ... semenjak dua tahun lalu, ia bukan lagi Kakakku." "Aku tidak memiliki Kakak! Tidak untuk pembunuh sepertinya!" [18-02-19]- [22-06-19]