59 〰️ Kayen Pamit, Yaa!

8.9K 543 60
                                    

Hanya sepersekian detik setelah taksi berwarna biru itu berhenti di depan rumah, pintu kursi penumpang langsung menjeblak terbuka. Dodit seakan nyaris melompat keluar taksi. Sejak menerima kabar tentang Karen via telepon, Dodit tak sempat tidur dan itu terlihat jelas dari wajahnya yang kusut. Tatapannya nyalang menyapu wajah orang-orang yang baru keluar untuk menyambutnya. Ada Nath, Rama, Kenny, Gabi, Keisha, Nadine. Sudah lengkap semua. Nggak, batin Dodit keras kepala. Belum lengkap. Harusnya ada Karen.

Langkah Dodit mengayun. Ia berjalan cepat menuju ruang tamu tempat peti Karen berada. Teman-temannya berusaha menahan, tapi usaha itu pun terasa setengah hati. Semua mengerti, bahwa ketiadaan Karen akan terasa paling berat bagi Dodit.

"Dodit!" Muncul dua orang lagi dari dalam taksi. Mereka adalah Renata, mama Dodit, dan seorang pria yang merupakan calon suami barunya. Keduanya tergopoh berusaha mengikuti Dodit, diikuti oleh Nath dan kawan-kawan. Renata berjalan paling depan, dengan ekspresi khawatir luar biasa.

Dodit yang tergesa dan kerumunan orang di belakangnya, berhasil menarik perhatian pelayat lainnya. Opa yang sedang berbicara dengan Uncle Francis langsung menyadari hal itu. Beliau segera undur diri dan bergabung dengan Nath.
Semua orang nyaris menahan napas saat Dodit berhenti di depan peti Karen. Cowok itu mendadak diam seperti patung. Dari belakang, tampak bahunya yang naik-turun karena terengah.

Pelan sekali, Dodit mulai melangkah lebih dekat ke arah peti. Saat melihat Karen terbaring dengan mata terpejam di dalam peti itu, begitu nyata dan cantik, pedih yang menyapu Dodit tentulah berbeda dari yang dirasakan semua orang yang sedang berada di rumah duka itu.

"Karen...," lirih Dodit. Kata-kata hilang dari kepalanya untuk sesaat. Matanya mencari-cari tanda kehidupan apa saja dari Karen, tapi nihil. Karen telah kaku. Karen telah pergi. Seluruh tubuh Dodit gemetar. Matanya memanas. Ia melambaikan sepasang sandal di tangannya.

"Gue bawa sandalnya ini..." Suara Dodit nyaris pecah. Dihapusnya butir air mata yang mulai mengalir dengan lengan. Sigap ia bersimpuh di samping peti. Ia mengeluarkan sandal warna kuning dan hitam itu dari plastiknya, kemudian dengan lembut meletakkannya di samping kaki kiri dan kanan Karen. Setelahnya, ia menatap wajah Karen. Tangannya meraih tangan Karen. Tangan yang dingin dan kaku.

"Lo bilang gue nggak boleh nangis. Tapi gimana caranya? Maaf, gue gagal nurutin permintaan lo yang itu. Tapi ini, gue bawa sandal, permintaan lo yang lain... jadi maafin gue... Karen... Karen...!"

Dodit bertumpu pada peti. Air matanya tak terbendung. Punggungnya tampak lemah dan rapuh, menggambarkan sosok laki-laki yang hancur karena kehilangan setengah jiwanya.

"Dressnya bagus, kan? Lo suka, kan?" isak Dodit lagi.

Semua orang terdiam. Sakit berdenyut di dalam diri mereka. Tangisan Dodit adalah gambaran kesedihan mereka semua. Di tengah keheningan yang menyayat itu, mama Dodit melangkah maju. Tangannya terulur untuk menyentuh punggung Dodit. Berbagi ketegaran. Mungkin itulah yang dibutuhkan oleh mereka semua saat ini.

Detik saat tangan Renata menyentuh punggung Dodit, anaknya itu langsung menoleh secepat kilat dengan tatapan nyalang. Mata Dodit masih merah karena menangis. Dodit menepis tangan mamanya dengan kasar. Ia langsung berdiri sambil mengarahkan jari telunjuk.

"INI SEMUA GARA-GARA MAMA!" Teriakan Dodit menyentak udara di ruangan itu.

Nuansa sayu yang tadi tercipta, langsung berubah menjadi lirikan waswas. Dodit maju selangkah, seakan siap melancarkan serangan fisik. Nath, Kenny, serta Rama langsung merangsek maju untuk menahan Dodit. Mama Dodit segera ditarik mundur oleh calon suami barunya. Opa melangkah maju ke antara Dodit dan mamanya, untuk menjadi penghalang jika Nath dan kawan-kawan gagal menahan Dodit.

Rester [COMPLETED]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang