58 〰️ Unpredictable

6.2K 441 50
                                    

Seperti yang sudah di rencanakan, Dodit hari ini akan pergi ke Lombok selama satu minggu. Ketidakrelaan terpampang jelas di wajah Dodit, bukan tak rela mamanya menikah lagi, tapi tak rela harus berpisah jauh dari Karen.

"Hati-hati di sana," ucap Karen. Satu tangannya memegang pipi Dodit. Karen tampak cantik sekali hari itu. Wajahnya cerah, pipinya bersemu segar.

Dodit akan langsung berangkat ke bandara setelah ini. Mata Dodit berkaca-kaca. Ya, kondisi Karen memang sudah lebih sehat. Tapi tetap ada ketakutan di dalam diri Dodit. Seminggu akan terasa cukup lama, banyak hal yang mungkin terjadi. Bagaimana kalau terjadi sesuatu di saat Dodit jauh? Jika itu terjadi, Dodit tak akan bisa memaafkan dirinya sendiri. 

"Titip sandal yang ada tulisan ‘Lombok’," ucap Karen lagi sambil tersenyum lembut. Ada nada bercanda dalam nada suaranya, mungkin untuk meringankan hati Dodit.

"Warna merah marun?" Dodit menanggapi dengan serius.

"Kalau susah cari warna itu, beli yang warna item sama kuning. Nanti pakenya sebelah item sebelah kuning," jawab Karen sambil terkekeh.

Seulas senyum terbit di wajah Dodit. Tangan Karen langsung mencubit cowok itu. "Nah, gitu dong. Senyum. Jangan kayak dunia bakal kiamat gitu," kata Karen. Ekspresinya manis sekali.

Padahal yang sedang sakit keras di sini adalah Karen, tapi kenapa malah Dodit yang dihibur? Senyum Dodit semakin lebar, lalu ia balas mencubit pipi Karen.
Karen tertawa-tawa dan mencubit wajah Dodit lagi. Kedua pasangan itu kemudian saling mencubit sambil tertawa. Suster Grace yang kebetulan sedang mengantar makanan mengulum senyum, sebelum akhirnya bergegas keluar ruangan. Nath mengekori Suster Grace, karena sebenarnya sejak tadi Nath sudah gerah dengan kehebohan ala-ala pasangan baru jadian.

Tinggallah Karen dan Dodit. Berdua, tenggelam dalam kebersamaan mereka.

"It’s okay. Cuma seminggu," gumam Karen, saat tawa dan canda mulai mereda.

"Tunggu gue pulang bawa sandal ya, Ren," pinta Dodit dengan senyum jailnya. Karen membalasnya dengan senyum manis.

Tiba-tiba, ponsel Dodit berbunyi nyaring. Dodit berdecih sambil mengeluarkan ponselnya dari saku. Mama Dodit yang menelepon. Sudah saatnya Dodit berangkat ke bandara. Setelah telepon ditutup, Dodit kembali menatap Karen. Tangannya menggenggam tangan Karen. Jika waktu bisa dihentikan, jika Dodit bisa memilih untuk berlama-lama di sisi Karen seperti ini.

"Udah sana," ucap Karen lembut.

Dodit menghela napas panjang. Genggamannya mengerat, kemudian ia sedikit mencondongkan tubuh untuk mengecup kening Karen.

"Gue jalan, ya," pamit Dodit. Rasa enggan masih kental dalam suaranya. Langkahnya berat menuju pintu.

Di atas kasurnya, Karen mengulas senyum. Ia melambaikan tangan ke arah Dodit. Di bawah siraman matahari dari jendela kamar, sosok Karen seakan-akan bersinar. Cantik sekali, bagaikan seorang malaikat.


🥀🥀

Kejadian itu terjadi sangat cepat. Malam di hari yang sama dengan keberangkatan Dodit, Karen terserang sesak napas dan harus masuk ICU lagi. Hingga jam menunjukkan pukul setengah dua pagi, Nath dan Opa yang cemas menunggu di ruang tunggu belum mendapat kabar yang memuaskan. Sekali, dua kali Suster Grace sempat menghampiri mereka. Tapi satu-satunya kabar yang mereka terima hanya soal kondisi Karen yang kritis. Opa duduk di bangku, sikunya bertumpu pada lutut, telapak tangannya menumpu dahi. Nath duduk diam bagai patung, tatapannya tak lepas dari jam dinding yang berdetak. Tidak ada yang bergerak, hingga pintu ICU mendadak terbuka. Nath dan Opa sama-sama langsung sigap berdiri.

Rester [COMPLETED]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang