"Pulang jam berapa dari kafe?" tanya Felix sebelum mengantarkan gue ke kampus di pagi hari.
Gue dan Felix udah pulang dari Bali. Seminggu yang lalu tepatnya. Rencana awal Felix sih nambah hari di Bali. Soalnya gue kan sempat kabur, jadi dia minta ganti hari lain gitu. Gue gak setuju. Masalahnya gue udah absen kuliah banyak hari.
Ini gue ambil bidik misi. Gak etis rasanya kalau banyak absen. Dikira gue gak serius kuliah dan menyianyiakan uang dari pemerintah begitu saja.
"Jam tujuh malam. Mau jemput?" tanya gue balik.
"Nanti malem mama mau kita nginep di sana. Yah, saya jemput kamu."
Felix memasukkan laptop dan beberapa berkas ke dalam tas hitamnya. Sedangkan gue mengambil ponsel yang dicharger di meja kerja Felix. Gue mau ngechat Jisung, minta jemput. Gue tau kalau setiap pagi Felix bakal jemput Yiren. Makanya gue segan dia nawarin kursi untuk gue duduki di mobilnya.
"Saya berangkat," pamit Felix. Gue balas dengan deheman. Gue masih fokus mengetik pesan untuk Jisung.
"Gak usah chat Jisung. Kamu saya antar." sahut Felix.
Lah gue kira dia udah keluar kamar. Ternyata dia masih di kamar dengan tatapan mengarah ke gue.
"Gak jemput Yiren?" gue merasa heran seketika.
"Kalo kamu gak siap-siap, saya beneran jemput Yiren." katanya lagi sebelum membuka pintu dan melenggang pergi dari kamar.
Gue langsung melepas charger ponsel, meraih tas di kursi, lalu berlari menyusul Felix. Agak ngeselin ya itu orang. Mau enaknya doang tiap malam. Istri sendiri dibuat susah melulu.
Gue menutup pintu mobil Felix sedikit lebih kencang setelah duduk di sebelahnya. Dia kaget karena bantingan pintu mobilnya. Tapi siapa peduli. Gue kesal dengannya.
Mobilnya pun melaju dalam keheningan. Felix fokus menyetir. Sedangkan gue tidak berniat mengganggunya dengan membuka obrolan. Gue memilih menatap jalanan lewat kaca ketimbang mengobrol. Entahlah, gue akhir-akhir ini malas dengan Felix. Tapi meski demikian gue masih melaksanakan kewajiban sebagai istrinya.
Jika mungkin Felix sudah berubah semenjak pulang dari Bali, nyatanya enggak. Sampai rambut Upin bertambah lagi satu, kayaknya gak bakal berubah deh. Dia masih tetaplah Felix yang menyebalkan dan minta dihujat setiap waktu.
Hanya saja yang membedakannya adalah Felix mulai menerima gue sebagai istrinya. Bukan lagi wanita asing di matanya. Gue senang. Tentu saja.
Lama bertahan dalam keheningan, mobil Felix telah berhenti di depan bundaran kedua kampus gue. Gue lega karena dia berniat menurunkan gue di bundaran kedua yang lebih dekat dengan fakultas gue daripada di bundaran pertama. Gue sempat mikir dia bakal menurunkan di sana.
"Makasih, udah dianterin. Aku ngampus dulu." pamit gue seraya menengadahkan tangan. Kebiasaan gue mencium tangan Felix sebelum pergi ke kampus atau ketika dia pergi kerja.
KAMU SEDANG MEMBACA
[1/2] Nebula ✖ Lee Felix (Sudah Terbit)
Fiksi PenggemarBagi Felix, gue adalah nebula. Tidak terlihat. Sebagian scene dihapus untuk proses terbit