Dua Belas

8.2K 336 9
                                    

Sore itu Deo menepati kata-katanya untuk menjemput Navasha, bahkan langsung ke ruangan kerja gadis itu. Laki-laki itu seperti tahu kapan waktu kerja Navasha berakhir, sehingga ia datang tepat waktu. Tidak memberi kesempatan mantan kekasihnya itu untuk kabur. Hal itu tentu saja membuat Navasha menggeram kesal. Hidupnya tidak pernah tenang sejak Deo muncul kembali.

"Mbak, dia siapa, sih?" bisik Runi heran ketika melihat Deo setia menunggu Navasha yang sedang merapikan barang-barangnya di depan poli gigi.

"Teman gue," jawab Navasha singkat. Malas menjelaskan bahwa laki-laki itu adalah mantan kekasihnya karena Runi akan bertanya sangat banyak setelah itu

"Teman kok rajin banget ngunjungin Mbak? Mana pas banget sama jam pulang lagi. Itu yang kemarin bawa anak kan, Mbak?" tanya Runi memastikan bahwa ia tidak salah ingat.

"Hust, jangan rumpi lo. Ntar kedengeran sama pegawai lain jadi berabe. Kena gosip lagi deh gue. Udah sana lo pulang. Mau jadi penunggu nih ruangan?" usir Navasha agak kesal. Ia tidak ingin ada gosip lagi tentang dirinya di rumah sakit ini. Gosip ia dengan Emil saja sudah sangat memusingkan baginya, jangan ditambah lagi.

"Ya udah, gue duluan. Hati-hati pulangnya, Mbak," pamit Runi seraya memakai kardigannya. Navasha melambai sesaat lalu melanjutkan kembali merapikan barang-barangnya.

"Teman kamu kok duluan pulang?" Navasha dikejutkan oleh suara Deo yang tiba-tiba masuk ruangannya. Ia mengerang kesal.

"Kamu bisa nggak, sih, ngetuk pintu dulu? Bikin kaget aja," omel Navasha. Gadis itu memang paling benci dikagetkan, sengaja ataupun tidak.

"Ya maaf." Deo menggaruk belakang kepalanya yang tidak gatal dengan sedikit cengiran. "Aku cuma mau mastiin kamu aja."

Navasha memutar matanya kesal. Sepertinya sifat mantan kekasihnya ini belum juga berubah. Apa yang ia inginkan dan rencanakan, harus berjalan sebagaimana mestinya.

"Ngapain sih kamu pake acara jemput aku segala? Aku bisa pulang sendiri. Nggak usah repot-repot. Aku nggak mau ada hutang budi ke kamu," ketus Navasha.

"Aku nggak ngerasa repot, kok. Juga nggak mau bikin kamu punya hutang budi. Aku cuma mau bangun semuanya dari awal," kata Deo lembut. "Sama kamu."

"Yo, buat apa, sih, kamu mau balik sama aku? Sebelumnya kita udah punya kehidupan sendiri-sendiri, loh." Senyum miris Deo tercetak begitu mendengar panggilan Navasha padanya. Waktu memang sudah mengubah segalanya. Dulu, tidak pernah Navasha memanggilnya dengan nama begitu saja. Disamping usia Deo yang memang lebih tua daripada Navasha, Deo lebih suka ketika Navasha memanggilnya Abang.

"Kamu nggak mau lagi manggil aku kayak dulu? Abang?"

"Kita nggak bisa hidup di masa lalu terus, Yo. Panggilan itu termasuk masa lalu bagiku. Maaf jika aku terlihat tidak sopan. Tapi untuk saat ini, aku lebih nyaman memanggilmu begini," aku Navasha. Ia tidak berusaha menyembunyikan apapun. Navasha ingin Deo tahu bahwa kehadiran Deo bukan sesuatu yang ia harapkan kembali.

"Nggak apa." Deo menggenggam tangan Navasha. "Suatu saat, aku bakal bikin kamu manggil aku kayak dulu."

***

"Mau kemana, sih?" tanya Navasha heran. Ia duduk di samping Deo yang sedang mengemudi.

"Kamu tenang aja. Aku nggak bakal culik kamu kok," kata Deo jahil. Navasha memutar matanya malas karena Deo yang bersikap sok misterius.

Deo memberhentikan mobilnya di depan sebuah bangunan dengan cat warna-warni dan berbagai macam wahana permainan di halamannya yang luas.

"Kita jemput Nirmala dulu," jelas Deo tanpa diminta.

FatumTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang