Empat Puluh Lima

6.3K 304 11
                                    

Navasha memerhatikan sekeliling kamarnya. Menimbang barang apa saja yang akan ia angkut ke Medan. Navasha tidak berminat memindahkan seluruh isi kamarnya ke kamar di rumah sepupunya. Ia hanya akan membawa barang-barang penting saja. Tidak terasa seminggu lagi Navasha akan menginjakkan kakinya ke kota tersebut.

Navasha tentu saja belum memulai packing. Masih malas rasanya untuk menyiapkan barang bawaannya. Sebenarnya berat bagi Navasha untuk meninggalkan tanah kelahiran serta keluarganya. Sejak ia lahir, belum pernah sekalipun Navasha tinggal jauh dari keluarganya dalam jangka waktu yang lama. Tapi kali ini Navasha harus melakukannya demi melupakan seseorang di masa lalunya.

"Kak." Pintu kamar Navasha terbuka, memerlihatkan sosok Andre yang muncul dari balik pintu. "Ada yang nyari Kakak."

"Siapa?"

Andre mengangkat bahunya. "Mending Kakak liat sendiri." Setelah itu laki-laki jangkung itu keluar dari kamar kakaknya tanpa menutup pintu. Navasha bergegas keluar setelah merapikan rambutnya. Ia penasaran siapa yang mencarinya sampai Andre tidak mau memberi tahunya.

Navasha terperanjat begitu mendapati Deo sedang duduk di sofa ruang tamunya. Yang lebih mengangetkan lagi wajah laki-laki itu tampak babak belur meski luka-lukanya mulai samar.

"Sha." Deo bangkit dari duduknya begitu Navasha tiba dihadapannya.

"Mau apa lagi?" Navasha menatap Deo dengan tatapan datar. Tangannya disilangkan di bawah dadanya.

"Aku mau ngomong. Kamu ada waktu?" Navasha tidak langsung menjawab. Ia memalingkan wajahnya ke arah lain.

"Sha?" Deo buka suara lagi karena tidak dapat sahutan dari Navasha. Dengan ragu Navasha mengangguk. Gadis itu duduk di sofa kecil yang letaknya berjauhan dengan sofa yang diduduki Deo tadi.

"Mau ngomong apa? Cepat. Aku nggak ada waktu," kata Navasha ketus tapi sesekali matanya memperhatikan lebam yang ada disekujur wajah Deo.

"Aku dengar kamu mau pindah ke Medan. Benar?" Navasha terkejut karena Deo tahu tentang kepindahannya ke Medan.

"Kamu tahu dari siapa?"

"Nggak penting aku tahu dari siapa. Aku cuma mau dengar jawaban pastinya dari kamu. Kamu beneran mau pindah ke Medan?"

"Kalau pun iya, aku rasa itu bukan urusanmu." Navasha memalingkan wajahnya. Tidak ingin ketahuan jika ia sibuk memerhatikan wajah Deo yang penuh lebam. Laki-laki itu bisa kegeeran nantinya.

"Tentu jadi urusanku. Kamu pindah karena aku kan?"

"Semua yang aku lakukan nggak harus berhubungan dengan kamu. Kita udah selesai," tekan Navasha. "Lebih baik kamu pulang. Aku mau istirahat."

"Apa benar-benar nggak ada lagi kesempatan untuk aku, Sha?"

"Kesempatan kamu udah hilang seiring dengan kebohonganmu padaku dan semua orang. Lebih baik akhiri saja semuanya. Aku tidak ingin tersakiti lagi." Navasha hendak beranjak pergi tapi tangan Deo mencekalnya.

"Aku udah mengakui kebohonganku pada semua orang. Aku udah menyeritakan yang sebenarnya pada keluargaku, keluargamu, serta ketiga sahabatmu. Aku bilang kalau aku menikahi Indira karena aku ingin menyelamatkan sahabatku dan bayinya. Kamu lihat lebam di wajahku? Ini aku dapat dari ayahku, kedua adikmu, serta sahabat-sahabatmu." Navasha terpaku mendengar pengakuan Deo. Ia tidak menyangka jika Deo akhirnya memberitahu hal yang sebenarnya pada semua orang. Padahal Deo tahu resiko apa yang akan ditanggungnya. Laki-laki itu benar-benar nekat.

Navasha memutar badannya beberapa detik kemudian. Matanya yang tadinya hanya melihat sesekali ke arah lebam di wajah Deo, kini memerhatikannya dengan teliti. "Kamu bodoh atau apa? Kamu mau jadi samsak kemarahan semua orang karena mengakui kebohongan yang bisa saja kamu tutupi seumur hidup!"

FatumTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang