Empat Puluh Enam

6K 299 5
                                    

Navasha merasakan pusing begitu membuka matanya. Matanya terasa berat untuk dibuka serta pandangan yang kabur membuat Navasha ingin kembali memejamkan matanya. Namun panggilan dari sang ayah memaksanya untuk membuka mata.

"Sha," panggil Yoga lembut. "Ada yang sakit?"

"Kepala aku pusing banget. Kenapa ya, Pa?" Navasha berusaha untuk duduk namun ditahan oleh ayahnya.

"Kamu tiduran aja. Ntar makin pusing," kata Yoga.

"Aku kenapa sih, Pa? Kok tiba-tiba udah di kamar aja? Perasaan tadi lagi di ruang tamu sama ... Deo." Suara Navasha mengecil ketika menyebut nama Deosan.

"Kamu pingsan. Terlalu banyak pikiran dan stress. Badan kecil ini sampai nggak kuat menanggungnya." Navasha terkejut mendengar penjelasan ayahnya. Seumur hidupnya, Navasha tidak pernah pingsan. Bahkan saat dia terkena demam tinggi dan didiagnosa demam berdarah, Navasha tidak sampai pingsan.

"Nggak mungkin cuma karena ... karena itu aku sampai pingsan gini kan, Pa?"

"Tapi nyatanya emang gitu, Sha. Tekanan darah kamu sampai turun banget." Yoga mengelus puncak kepala anak sulungnya. "Jangan gini lagi, Nak. Papa sedih liat kamu kayak gini."

Navasha bisa melihat mata ayahnya berkaca-kaca. Navasha hanya pernah melihat ayahnya menangis dua kali seumur hidupnya. Yang pertama saat ayah Yoga meninggal. Yang kedua saat Navasha tidak lulus SNMPTN. Kali ini, Navasha tidak mau melihat ayahnya menangis lagi, apalagi karena dirinya.

"Maaf, Pa." Navasha bangkit dari tidurnya lalu memeluk Yoga erat. Bagi seorang anak perempuan, tidak ada laki-laki lain yang mencintainya sehebat ayahnya sendiri. Itu juga yang dirasakan Navasha saat ini. "Maaf udah bikin Papa khawatir."

"Papa sayang banget sama kamu. Liat kondisi kamu kayak gini, jadi tamparan keras untuk Papa. Selama ini Papa belum berhasil bikin kamu bahagia."

"Nggak, Pa. Ini bukan salah Papa." Navasha menggeleng di bahu ayahnya. "Ini salah aku yang terlalu lemah. Papa udah ngelakuin yang terbaik selama ini. Jangan salahin diri Papa, please." Navasha terisak pelan. Ia merasa bersalah karena sudah membuat laki-laki terhebat di hidupnya merasa seperti ini.

"Sha." Yoga melepas pelukan anaknya, lalu merangkum wajah mungil itu dengan tangan besarnya. Ibu jarinya menyeka air mata yang turun di pipi anak sulungnya. "Papa cuma mau kamu bahagia. Begitupun Mama dan adik-adik."

Navasha mengangguk. Ditatapnya lama wajah ayahnya yang mulai menua tapi masih terlihat tampan. Sejak awal ia mengenal cinta, Navasha selalu ingin mendapatkan laki-laki yang seperti ayahnya. Yoga merupakan panutan bagi semua anggota keluarganya. Laki-laki itu penyayang, bijaksana, dan bisa mengatur segala hal dengan baik. Navasha sebenarnya sudah mendapati sifat yang sama pada laki-laki lain. Sayangnya laki-laki itu malah menyakitinya. Ya, Deosan. Sifat laki-laki itu sering kali mengingatkan Navasha dengan ayahnya. Ah, tapi ada perbedaannya. Deo sudah menyakitinya, sedangkan ayahnya belum pernah dan tidak akan pernah menyakitinya.

"Pa?"

"Apa, Nak?"

"Apa benar Deo udah bilang semuanya ke Papa dan yang lain?" tanya Navasha. Ia ingin mendengar langsung penjelasan dari ayahnya.

"Iya. Dua minggu yang lalu Deo datang ke rumah saat kamu pergi sama Gifano. Dia jelasin semuanya ke kami," jawab Yoga.

"Dan dia dimaafkan dengan mudah? Bahkan dapat restu?"

"Tentu saja nggak semudah itu. Pertama kali Deo datang, dia hanya dapat hadiah pukulan dari kedua adikmu. Tapi dia nggak pernah menyerah. Berkali-kali dia datang ke rumah saat kamu nggak ada. Dia menyesal dan bahkan menangis agar dimaafkan dan direstui bersama kamu lagi. Papa nggak akan nyeritain detailnya karena itu bukan kapasitas Papa. Tapi yang Papa tahu, perjuangan dia untuk minta maaf dan dapat restu perlu diacungi jempol. Baginya nggak masalah dipukul berkali-kali oleh adikmu asal ia dimaafkan dan diterima kembali," jelas Yoga.

"Berkali-kali?"

"Iya," angguk Yoga. "Tiap kali dia datang pasti akan dapat pukulan dari Andre ataupun Rafa ketika kedua adikmu itu ada di rumah. Deo nggak pernah sekali pun ngebalas karena dia tahu dia salah. Kamu bisa liatkan wajahnya masih lebam sampai sekarang?"

Tanpa sadar Navasha mengangguk. Yoga lagi-lagi mengelus pipi anak sulungnya itu. "Sha, nggak ada salahnya kita memaafkan dan memberi kesempatan kedua. Setiap orang pernah bikin salah, fatal ataupun nggak. Yang penting, orang itu bertekad nggak akan mengulangi kesalahannya lagi. Itu yang Papa liat dari Deo. Dia menyesal dan nggak akan mau mengulangi kebodohan yang sama. Kamu pasti tahu kalau Papa nggak mungkin membiarkan kamu disakiti lagi kan? Papa cuma mau kamu bahagia. Dan yang Papa lihat, kamu bisa dapatin itu sama Deo. Bertahun-tahun kamu tanpa Deo, Papa tahu itu tahun paling sulit untuk kamu, meskipun kamu nggak pernah cerita apa-apa sama Papa. Sekarang Deo datang untuk memperbaiki semuanya. Apa salahnya untuk kalian mencoba lagi?"

"Aku udah maafin dia," elak Navasha.

"Cuma memaafkan apa cukup bikin kamu bahagia? Sepertinya nggak. Kamu masih aja seperti ini. Papa nggak yakin kamu baik-baik aja. Jauh dalam lubuk hatimu, kamu butuh Deo untuk bangkit lagi. Tapi, kamu nggak sadar karena terlalu takut kejadian di masa lalu akan terulang lagi. Coba, deh, kamu lepasin masa lalu dan lihat masa depan. Apa yang kamu bayangkan?" Navasha terdiam. Sejak ia berpacaran dengan Deo, masa depan yang ia tahu hanya bersama dengan Deo. Setelah putus, Navasha merasakan masa depannya buram. Namun kali ini ia berusaha menerawang lagi. Dan ntah kenapa, bayangan Deo tampak menantinya diujung sana.

"Papa nggak mungkin semudah itu memaafkan dan merestui Deo lagi kalau perjuangan Deo biasa aja. Kamu tahukan kalau Papa udah memutuskan sesuatu, berarti itu udah yang paling terbaik versi Papa. Sekarang terserah kamu mau memutuskan apa. Papa rasa udah banyak yang ngasih pandangannya tentang bagaimana Deo ke kamu. Apapun yang kamu putuskan nantinya, Papa pasti dukung. Asal itu bisa bikin kamu bahagia." Yoga mengecup kening anaknya lama. Ingin memberi kekuatan dan kasih sayang pada anaknya yang sedang rapuh dan kalut saat ini. "Meskipun udah sebesar ini, kamu tetap gadis kecil kesayangan Papa. My lovely little princess."

"You always be my king, Papa." Navasha memeluk erat leher ayahnya. Dalam hati ia bersyukur diberi ayah sehebat ini oleh Tuhan. Ayah yang selalu membantunya setiap ada masalah dan mendukungnya apapun yang akan terjadi nantinya.

"Sekarang kamu istirahat lagi, ya. Biar kondisinya cepat pulih. Kasian Mama nangis dari tadi liat kamu kayak gini, makanya nggak berani masuk kamar. Takut kamu khawatir liat Mama nangis." Yoga menuntun Navasha agar kembali tiduran. Ia mengatur posisi bantal agar anaknya berbaring dengan nyaman. Tidak lupa ia menarik selimut hingga menutupi dada hingga ujung kaki Navasha.

"Bilang ke Mama jangan nangis lagi. Aku udah baikan kok. Aku janji nggak akan bikin kalian khawatir lagi," janji Navasha. Yoga tersenyum lalu mengangguk.

"Selamat beristirahat, Princess."

Aku update lagi demi menebus rasa bersalahku yang menghilang berhari-hari kemarin. Maafkan aku guys😭

*tbc

Love,
Vand🦋

FatumTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang