Dua Puluh

7.6K 275 3
                                    

"Loh, Kak, kok udah pulang?" tanya Andre heran ketika melihat kakaknya tiba di rumah pukul setengah dua siang.

"Lagi nggak enak badan. Izin pulang," jawab Navasha. Ia merebahkan dirinya ke atas sofa ruang tamu. Mengabaikan perintah Emil tadi yang menyuruhnya agar segera tidur.

"Kakak nyetir sendiri pulangnya? Kok nggak telepon aku aja? Aku bisa jemput Kakak ke rumah sakit. Bahaya loh, Kak, nyetir pas badan nggak sehat gitu." Navasha meringis mendengar ceramah Andre. Meskipun menyebalkan, ketika ia sedang sakit seperti ini, Andre akan sangat perhatian padanya.

"Di antar teman kok."

"Teman?" Andre menatap kakaknya curiga. Ia lalu duduk di samping Navasha. "Teman yang mana?"

"Emil. Kamu ingat dia?" Andre tampak mengerutkan keningnya, tampak berpikir.

"Cowok yang ngejar Kakak sejak kerja di rumah sakit Medika? Anaknya direktur itu?" Navasha mengangguk mengiyakan. "Dia masih ngejar Kakak?"

"Sepertinya begitu. Kakak udah bilang ke dia lebih baik mundur, karena Kakak nggak bisa buka hati untuk dia. Tapi dia nggak mau."

"Kakak nggak coba buat buka hati untuk dia?"

"Entahlah. Rasanya nggak akan berhasil. Sulit sekali mau buka hati," kata Navasha.

"Kakak mau membicarakan ini? Maksudku tentang hati Kakak. Aku punya beberapa hal yang mungkin bisa jadi pertimbangan. Itu pun kalau Kakak mau," tawar Andre. Ia merengkuh tubuh kakaknya agar bersandar nyaman di bahunya.

"Apaan emang? Kakak mau dengar pendapat kamu."

"Aku nggak tahu ini bisa berhasil atau nggak. Tapi menurutku, kebetulan sekali keadaannya seperti ini. Ada dua laki-laki yang memperjuangkan Kakak. Yang satu dari masa lalu dan yang satu lagi pendatang baru. Kenapa Kakak nggak coba untuk ngasih mereka kesempatan?"

"Kamu biarin Kakak ngasih kesempatan ke Deo?" Navasha terkejut. Ia sampai menegakkan kepalanya yang segera ditarik Andre lagi agar bersandar lagi ke pundaknya. Perlahan, Andre mengelus puncak kepala kakaknya. Ia tahu Navasha sangat suka dielus seperti ini.

"Kak, mungkin terdengar coba-coba dan sedikit jahat. Tapi cara ini bisa membuktikan apakah Kakak masih stuck dengan Bang Deo atau bisa membuka hati untuk Bang Emil. Aku nggak mau Kakak terpuruk terlalu lama. Kakak harus melangkah maju."

"Memberi kesempatan pada Deo? Kamu tahu Kakak benci sama dia. Luka yang dia kasih masih terasa sampai sekarang. Kamu mau Kakak terpuruk lagi?"

"Tentu aja aku nggak mau Kakak kembali ke zaman itu. Ngeri sih liat Kakak patah hati lagi. Hanya saja, setelah melihat dia malam itu dan kegigihannya mendekati Kakak lagi, aku jadi berpikir. Mungkin dia benar-benar menyesal. Mungkin dia memang ingin memperbaiki semuanya. Terlambat memang, tapi dia lebih memilih untuk mengambil kesempatan ini walaupun kecil kemungkinan dia akan berhasil."

"Kamu rela melihat Kakak dan dia balikan?" Navasha menatap wajah adiknya yang mulai dewasa ini.

"Entahlah. Tapi aku akan mendukung apa pun keputusan Kakak. Makanya aku ingin Kakak memberi kesempatan pada mereka berdua. Selesaikan urusan masa lalu Kakak dengan Bang Deo, lalu lihat peluang masa depan dengannya. Begitupun dengan Bang Emil, lihat apakah mungkin Kakak untuk membuat kisah baru bersamanya."

Kemudian hening. Navasha tidak menjawab lagi. Ia berpikir. Apakah saran Andre memang yang terbaik? Apakah ia harus memberi kesempatan yang sama untuk kedua laki-laki yang sedang memperjuangkannya saat ini?

"Kak, sepertinya Kakak memang harus memaafkan apapun yang terjadi di masa lalu. Jangan biarkan kenangan menghentikan langkah Kakak."

***

FatumTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang