Navasha memasuki mobil yang disupiri adiknya dengan napas berat. Perbincangannya dengan Emil masih menari-nari di kepalanya.
"Kenapa, Kak?" tanya Andre seraya melirik sekilas kakaknya.
Navasha menggeleng. Ia tidak ingin menceritakan apapun pada adiknya. "Sedikit pusing. Nyetirnya jangan ngebut, ya."
Andre tidak bertanya lagi. Ia tahu jika kakaknya dalam keadaan emosi yang tidak baik. Daripada ia yang diamuk Navasha, Andre lebih baik diam.
"Berhenti di mini market bentar ya, Ndre. Mau beli es krim," kata Navasha.
"Lah, katanya pusing. Kok beli es krim?" Andre menaikkan sebelah alisnya.
"Nggak usah banyak tanya." Andre terdiam seketika. Tidak mau lagi mendebat sang kakak. Navasha terlihat menyeramkan jika marah.
Andre memberhentikan mobil di parkiran mini market. Tanpa berkata sepatahnpun atau menawari Andre mau titip atau tidak, Navasha keluar dari mobil membuat adiknya melongo.
"Kakak gue emang ajaib kalau lagi marah," batin Andre.
Navasha membuka pintu mini market tersebut. Dengan cepat ia melesat ke arah kumpulan es krim kesukannya. Es krim adalah salah satu hal yang mampu mengembalikan mood Navasha. Ia mengambil tiga buah es krim. Dua untuknya, satu lagi untuk Andre. Ia tidak mungkin tidak membelikan adiknya itu.
"Beli makanan ringan nggak, ya?" gumam Navasha. Keningnya berkerut, kebiasaannya jika sedang berpikir. Sejurus kemudian ia berjalan menuju rak yang penuh dengan makanan ringan kesukaannya. Navasha mengambil beberapa.
"Gue lagi di super market." Suara bass seseorang menghentikan gerakan tangan Navasha mengambil makanan ringan. Tubuhnya kaku seketika mendengar suara yang sudah beberapa tahun ini tidak lagi didengarnya.
Dengan lambat Navasha membalikkan badannya. Berusaha meyakinkan diri bahwa ia tidak salah dengar. Sayangnya, ia tidak mendapati siapapun disekitarnya. Matanya bahkan sudah menjelajahi hingga ujung rak.
"Apa gue halu?" Navasha memukul kepalanya sendiri. Bisa-bisanya ia mendengar suara laki-laki itu dalam kepalanya. Navasha sudah melupakan semua tentang laki-laki itu. Ralat. Sedang berusaha melupakan.
"Jangan lagi, Sha. Jangan bodoh. Dia udah nikah, udah bahagia. Pikirin kebahagiaan lo sendiri," batin Navasha. Ia meyakinkan dirinya sendiri untuk tidak lagi menjadi bodoh seperti bertahun-tahun lalu. Cukup sekali saja, jangan lagi ada yang kedua, ketiga, dan seterusnya.
Navasha melangkah cepat ke arah kasir. Ia harus keluar dari mini market ini agar pikirannya bisa kembali jernih. Ia yakin tadi hanya sepotong dari halusinasinya mengingat laki-laki yang dulu begitu dicintainya.
"Cemberut mulu." Navasha mendengkus kesal ketika wajah laki-laki itu muncul dihadapannya. Wajah yang rupawan disertai senyum yang mampu memikat banyak hati perempuan namun tidak berhasil menarik perhatian Navasha kali ini. Perasaannya yang sedang buruk membuat semua yang dilihat Navasha terasa menyebalkan.
"Hei, kenapa?" Laki-laki itu duduk disebelah Navasha. Merapatkan dirinya ke arah Navasha sehingga bahu mereka saling bertabrakan.
"Jangan ganggu, ih," rengek Navasha terkesan manja. Laki-laki itu tertawa kecil lalu mengusap puncak kepala Navasha lembut.
"Beli es krim, yuk." Tanpa aba-aba, laki-laki itu menarik Navasha berdiri membuat gadis itu hampir terjungkal jika ia tidak segera menyeimbangkan dirinya.
"Aku hampir jatuh, Bang!" Navasha memukul kesal lengan laki-laki itu. Lagi, laki-laki itu tertawa kecil.
"Maaf, Sayang," katanya lembut yang mampu membuat hati Navasha lumer seketika. "Ayo, beli es krim. Aku traktir sepuasnya."
KAMU SEDANG MEMBACA
Fatum
RomanceFatum (n.) The development of events beyond a person's control. Perpisahan dengan Deo meninggalkan luka besar di hati Navasha. Bertahun-tahun Navasha hidup dalam luka. Navasha pikir lukanya akan sembuh seiring berjalannya waktu. Sayangnya ia salah. ...