Tiga

13.4K 547 6
                                    

Pukul empat sore, Navasha bersiap mengemasi barangnya. Sudah waktunya ia pulang setelah berjam-jam melayani pasien. Ia tinggal sendiri di ruangannya karena Runi sudah dijemput oleh Heri. Masih terbayang oleh Navasha begitu bahagia wajah Runi ketika mengetahui Heri menjemputnya. Jika Navasha jadi Runi, ia pasti juga sangat bahagia. Gadis mana yang tidak bahagia dijemput pasangan sendiri bukan?

Bicara tentang pasangan dan kebahagiaan, Navasha jadi teringat percakapan dengan orang tuanya pagi tadi.

"Lah, kamu juga cemburu, Sha? Makanya kamu punya teman dekat, dong. Atau udah punya tapi nggak ngenalin ke Mama sama Papa?"

"Ngenalin siapa sih, Ma?" tanya Navasha bingung. Ini masih pagi tapi ibunya sudah bertanya yang aneh-aneh. "Perasaan semua teman aku rata-rata Mama kenal, deh"

"Ih, kamu mah nggak peka," dumel Nina. "Ya, ngenalin cowok dong, Sha. Masa ngenalin tukang bakso depan rumah sakit."

"Mama mau kenal teman cowok aku yang mana lagi? Kan udah kenal. Ngapain lagi minta kenalan."

"Ih, Mama kesel ngomong sama kamu," kesal Nina. Ia beralih menatap suaminya yang asik menyesap kopi paginya. "Pa, bilang tuh ke anak gadis kesayangan Papa."

Yoga menghela napasnya berat. Lagi-lagi istrinya melemparkan masalah ke dia. "Maksud Mama tuh pacar, Sha. Kapan mau dikenalin? Udah lama kamu nggak deket sama cowok Papa lihat."

"Pa, aku masih dua puluh tujuh. Masih mau kerja dulu. Ntaran lah untuk begituan," elak Navasha setengah berbohong. Mana mungkin ia bilang pada keluarganya bahwa ia gagal move on.

"Dua puluh tujuh itu udah waktu yang tepat untuk menikah. Harusnya sekarang Mama lagi sibuk-sibuknya urusin nikahan kamu. Anak teman-teman Mama aja udah banyak yang nikah. Lebih muda dari kamu malah," sambar Nina. Nina gemas sendiri melihat anak gadis satu-satunya itu yang masih betah sendiri. Padahal umurnya sudah sangat cukup untuk memasuki jenjang pernikahan.

"Ma, masih pagi lho ini," keluh Navasha. Sungguh ia tidak ingin membahas tentang masalah pasangan diwaktu dekat ini. Atau memang ia tidak pernah siap.

"Ngelak aja terus." Nina beranjak pergi dengan wajah tertekuk. Serempak Yoga dan Navasha melihat aneh ke arah Nina.

"Pa, Mama lagi pms ya?"

"Hus, ntar kedengeran Mama makin bahaya."

"Ya, lagian Mama pagi-pagi aneh begitu. Takut banget anaknya jadi perawan tua," omel Navasha. "Lagian aku masih muda. Masih bisa nikah dua atau tiga tahun lagi."

"Mama cuma khawatir. Papa juga. Apa perlu Papa cariin? Banyak dokter-dokter ganteng yang masih jomblo yang bisa Papa kenalin." Rasanya Navasha ingin memutar matanya saat ini jika tidak ingat yang di depannya adalah ayahnya. Tadi ibunya yang mendesaknya untuk cari jodoh, sekarang malah ayahnya. Niat menjodohkan pula.

"Aku ke kamar ya, Pa. Mau siap-siap kerja."

Bunyi dari ponselnya membuat Navasha tersadar dari lamunannya. Ia mengambil ponselnya yang tersimpan di dalam tas. Pesan dari Andre, adiknya.

Andre
Kak, aku kejebak macet. Agak lama nyampainya.

Navasha
Iya. Hati-hati bawa mobilnya.

Andre
Siap, Kakak Bawel.

Navasha
Adek kurang ajar emang.

"Sha." Navasha tersentak kaget begitu mendengar seseorang memanggilnya. Di ambang pintu, Emil memandang Navasha dengan tatapan teduhnya.

"Eh, hai Mil. Kenapa?"

FatumTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang