Navasha memijat pangkal hidungnya. Ia merasa lelah karena bekerja dengan kondisi tubuh yang kurang sehat. Pagi tadi saat bangun tidur, ia merasa badannya sedikit hangat. Tapi, ia memaksa untuk berangkat kerja karena beranggapan panas badannya akan turun dengan sendirinya. Nyatanya, gadis itu salah. Memasuki jam makan siang, suhu badannya makin tinggi.
"Mbak, lo sakit?" tanya Runi. Navasha menggeleng.
"Badan gue agak anget. Selebihnya, fine."
"Tapi muka lo pucat, Mbak. Lo yakin baik-baik aja?" Navasha mengangguk. Sebenarnya ia pusing mendengar suara orang saat ini.
"Buatin gue teh hangat tolong, Run. Gue nggak nafsu makan. Sama sekalian cariin gue paracetamol, ya." Runi mengangguk mengerti. Dengan langkah cepat ia menuju kantin lalu apotek rumah sakit.
Sembari menunggu Runi membawakan pesanannya, Navasha menyandarkan tubuhnya ke sandaran kursi. Ia bingung kenapa bisa sakit seperti ini. Jam kerjanya normal, istirahatnya cukup, dan makannya tidak terganggung. Rasanya tidak ada pemicu Navasha untuk sakit.
"Ngilu banget semua badan gue," keluh Navasha dalam hati. Ketika suhu badannya naik seperti ini, Navasha memang sering merasakan ngilu di badannya.
Apa jangan-jangan gue sakit karena terlalu mikirin Deo?
Navasha tiba-tiba tersentak begitu pemikiran itu terlintas di otaknya. Akhir-akhir ini ia memang sangat kepikiran tentang Deo dan lamarannya yang tiba-tiba itu.
Nggak, Sha. Lo nggak boleh sampai sakit cuma karena cowok. Lo udah janji bakal lebih kuat.
"Sha." Navasha tersentak begitu pintu ruangannya dibuka tiba-tiba. Di sana terlihat Emil berdiri dengan wajah khawatir dan nampan berisi penuh di tangannya.
"Eh, Emil?" Navasha bingung kenapa Emil datang ke ruangannya dan membawa nampan penuh seperti itu. Ia kan sedang menunggu Runi, kenapa malah Emil yang datang?
"Lo kenapa masih kerja sih kalau sakit gini?" Emil memasuki ruangan Navasha lalu meletakkan nampan di atas meja, tepat di hadapan Navasha.
"Eh?" Navasha terlihat kebingungan. Dari mana laki-laki ini tahu jika ia sedang sakit?
"Nggak usah masang muka bingung gitu. Gue ketemu Runi tadi di kantin." Navasha mengangguk paham. Jadi, Runi sebagai informan Emil. Pantas saja laki-laki itu tahu.
"Gue cuma sedikit demam. Nggak usah lebay," kata Navasha. Emil tidak memedulikannya. Setelah menyusun isi nampan yang terdiri dari sepiring nasi, semangkuk sup, segelas teh hangat, dan obat penurun panas di atas meja, Emil mendekati Navasha. Ia menempelkan punggung tangannya di atas dahi Navasha.
"Lumayan panas. Lo habisin semua makanannya. Minum obat. Abis itu gue anterin lo pulang," putus Emil sepihak. Navasha ternganga mendengarnya.
"Nggak perlu repot-repot, Mil. Gue cuma butuh istirahat sebentar. Nanti gue udah seger lagi kok," tolak Navasha.
"Nggak ada bantahan. Gue bakal tetap anterin lo pulang setelah ini. Nggak ada cerita mau nyiksa badan sendiri. Kerja emang kewajiban lo, tapi badan lo juga punya hak untuk istirahat kalau lagi sakit kayak gini." Navasha merenggut ketika tidak bisa lagi membantah Emil. Laki-laki itu sangat serius dengan perkataannya. Terlihat dari wajahnya yang biasanya menampilkan raut jenaka kini datar dan tegang.
"Lo marah sama gue?" tanya Navasha takut-takut. Ia memerhatikan Emil yang sedang memasukkan kuah sup, daging sapi, dan wortel ke dalam piring nasinya.
Emil tanpa bicara melakukan pekerjaannya. Lalu mengangsurkan piring itu ke Navasha. "Makan sekarang."
"Mil, lo marah?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Fatum
Любовные романыFatum (n.) The development of events beyond a person's control. Perpisahan dengan Deo meninggalkan luka besar di hati Navasha. Bertahun-tahun Navasha hidup dalam luka. Navasha pikir lukanya akan sembuh seiring berjalannya waktu. Sayangnya ia salah. ...