Dua Puluh Satu

6.9K 255 3
                                    

Follow Ig: vandesca16

"Lo yakin pulangnya nggak mau gue jemput?" tanya Emil saat Navasha akan keluar dari mobilnya. Sore sepulang kerja, Navasha janjian bertemu dengan Naya yang kebetulan sore ini sedang kosong. Suaminya sedang diluar kota dan anaknya diculik oleh kedua mertuanya. Daripada ia gabut, ia memilih mengajak Navasha bertemu.

"Nggak usah, Mil. Gue pulang bareng Naya atau minta dijemput adek gue. Lo udah baik banget mau nganterin gue," tolak Navasha.

"Gue emang udah janji mau nganterin lo sore ini, Sha. Nggak usah jadi nggak enak gitu."

"Thank you, ya. Gue turun dulu. Lo hati-hati nyetirnya."

"Sip." Emil sempat mengacak puncak kepala Navasha sebelum gadis itu keluar mobil.

"Kebiasaan sih, Mil," renggut Navasha. Emil hanya tertawa.

"Gue duluan," pamit Emil lalu membunyikan klakson mobilnya. Navasha melambaikan tangan lalu masuk ke dalam kedai kopi setelah mobil Emil hilang dari pandangannya.

"Sha." Navasha menoleh ketika seseorang memanggilnya. Disana, Naya sudah menunggunya di sudut ruangan dengan segelas americano.

"Jadi mak-mak free nih sekarang ceritanya?"

Naya meringis. "Suami di luar kota, anak sama mertua. Kapan lagi gue ada waktu luang ginikan? Makanya gue ajak kalian ngumpul. Eh, nyatanya cuma lo yang bisa."

"Pada sibuk juga," kata Navasha. "Ntar gue pulang nebeng lo, ya."

"Lo nggak bawa mobil? Ke sini pake ojol?"

Navasha menggeleng singkat. "Dianter Emil."

"Lo sama Emil pacaran?"

"Kok lo tiba-tiba nanyain gituan, sih? Nggak lah. Kalau pacaran, gue pasti ngasih tahu kalian semua."

"Tapi, ini pertama kalinya lo mau dianter Emil." Naya menatap Navasha bingung. Navasha menggaruk kepalanya yang tidak gatal. Bingung bagaimana harus menjelaskan pada Naya.

"Gue ngasih mereka kesempatan."

"Mereka?"

"Gue pesen minuman gue dulu. Ntar gue ceritain semuanya." Navasha segera beranjak menuju kasir. Ia memesan cookies & cream dan kentang goreng. Ia sedang malas minum kopi saat ini.

Setelah mendapatkan pesanannya di atas nampan, ia kembali menghampiri Naya yang menatapnya penuh keingin tahuan.

"Mereka siapa maksud lo?"

"Deo dan Emil." Navasha menyeruput pelan minumannya. Sesekali memakan kentang goreng.

"De ... Deo? Lo serius?" tanya Naya tidak percaya. Bukankah saat terakhir mereka bertemu, Navasha masih mengatakan tidak akan pernah mau kembali dengan Deo?

"Seribu rius," angguk Navasha yakin.

"Kenapa tiba-tiba lo berubah pikiran? Jangan bilang karena anaknya Deo? Anaknya ngerengek supaya lo nikah sama bokapnya?"

"Bukan, Nay." Navasha meletakkan gelas minumannya, lalu menatap serius wajah sahabatnya itu. "Kalau soal Nirmala, gue nggak mungkin ngasih kesempatan buat Emil juga, kan? Gue cuma mau berdamai sama semuanya. Deo atau siapa pun. Gue juga capek jadi orang mati rasa kayak gini."

"Lo yakin sama keputusan lo?"

"Sangat yakin. Sebenarnya ini ide Andre. Tiba-tiba tuh anak ceramah panjang lebar dan bikin gue sadar. Setelah itu gue ngomong sama bokap. Lo tahu kan pendapat bokap sangat berpengaruh di hidup gue? And yeah, bokap setuju. Bokap bahkan keliatan bahagia. Gue jadi merasa bersalah karena selama ini cuma mikirin kesedihan gue. Nggak mikirin dampaknya ke orang-orang yang sayang sama gue. I know, he want me to be happy."

FatumTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang