Navasha tersentak kaget ketika pintu ruangannya dibuka dan dikunci secara tiba-tiba ketika ia sedang menyelesaikan catatan rekam medik salah seorang pasiennya. Ia menatap bingung pada Emil yang sedang memasukkan kunci pintu ruangannya ke dalam saku celana bahannya.
"Kenapa pintunya dikunci?" tanya Navasha.
"Supaya lo nggak bisa kabur," jawab Emil enteng.
"Kabur? Emangnya gue mau kabur kemana dari ruangan gue sendiri?" Navasha memutar matanya jengah. Merasa bahwa tingkah Emil sangat aneh.
"Lo bisa kabur kapan pun, semau lo." Lalu Emil mendudukkan tubuhnya dengan nyaman di atas dental unit. Hal ini tentu saja mendapatkan seruan protes dari Navasha. Pertama, laki-laki itu membawa ikut serta sepatunya—yang pastinya kotor dan penuh kuman—ke atas dental unit yang kebersihannya amat dijaga oleh Navasha. Kedua, tangan laki-laki itu tidak akan tenang jika tidak mengacak seluruh tombol ataupun barang-barang yang ada disana. Navasha tidak suka jika ada yang bermain-main dengan alat kerjanya. Apalagi dental unit. Benda besar, mahal, tapi sensitif itu tidak bisa dimainkan sesuka hati, meskipun oleh anak direktur rumah sakit sendiri.
"Emil, gue udah sering bilang jangan mainin DU gue sesuka hati lo," geram Navasha. Ia beranjak dari duduknya lalu menyeret Emil agar turun dari dental unit dan berhenti memainkannya.
"Kalau rusak tinggal diganti," gerutu Emil terdengar kekanakan. Ia seperti bocah yang dijauhkan dari mainan kesayangannya.
"Seenak perut aja lo bilang gitu. Harga beli DU bukan harga yang murah. Apa salahnya kita jaga meskipun gue tahu lo lebih dari mampu beli lima DU sekaligus," omel Navasha. Gadis itu memang sangat suka mengomel jika perkataannya tidak dihiraukan.
"Iya-iya, Bu Dokter. Maafkan hamba, ya." Emil mengacak puncak kepala Navasha yang membuat ikatan pony tail gadis itu berantakan. Navasha memukul kuat tangan jahil laki-laki itu.
"Tuman! Nggak tau apa gue mager buat rapihin rambut lagi," kesal Navasha. Emil terkekeh melihat wajah gadis itu. Menurutnya, Navasha yang sedang kesal dan mengomel merupakan perpaduan yang menarik. Terlalu menggemaskan!
"Sini, gue yang iketin rambutnya. Balik badan," perintah Emil. Ia merapikan rambut Navasha yang berantakan lalu kembali mengikatnya menjadi satu. "Ntar kalau kita nikah, gue rela iketin rambut lo tiap pagi kayak gini."
"Ngelindur mulu kerja lo. Kebanyakan makan micin emang jadi gitu."
"Lo tahu kalau gue serius, Sha."
"Hm," balas Navasha dengan gumaman. Ia malas membalas perkataan Emil karena tahu laki-laki itu tidak akan mau kalah. "Mana kuncinya? Gue mau keluar nyari makan."
"Gue ke sini mau ngomong sama lo."
"Lah, ini kita lagi ngomong. Masih kurang?" balas Navasha sewot. Ia yakin laki-laki ini akan membicarakan hal-hal yang membuat Navasha malas. Navasha sedang tidak tertarik meladeni Emil.
"Lo pasti lebih dari ngerti maksud gue." Navasha memutar matanya lalu duduk kembali ke kursi kerjanya. Emil yang menatapnya tajam dan memaksa membuatnya tidak memilki pilihan lain.
"So, bicaralah," kata Navasha. Ia menatap malas pada sosok laki-laki tampan di hadapannya.
"Kemarin lo pergi sama temen lo yang udah punya anak itu kan?" Navasha tersentak ketika mendengarnya. Bagaimana Emil bisa tahu? Perasaan gadis itu tidak melihat Emil atau pun orang yang ia kenal kemarin saat pergi bersama Deo dan Nirmala.
"Sok tahu lo. Salah liat orang kali," elak Navasha. Ia malas menanggapi obrolan tidak penting ini.
"Gue yakin itu lo. Lagian baju yang lo pakai sama persis pas kita papasan pagi kemarin. Lo nggak mungkin ngira gue gampang dikibul kayak Runi, kan?" Runi, asisten Navasha itu memang sangat polos dan mudah tertipu untuk ukuran perempuan dewasa.
"Runi perempuan dan lo laki-laki. Ya kali gue samain kalian bedua. Udah deh Mil, mending kasih ke gue kuncinya. Cacing di perut gue mulai demo nih." Navasha menjulurkan tangannya meminta kunci, memaksa agar Emil membebaskannya dari situasi ini.
"Tunggu dulu sampai kita siap ngomong, dong. Ntar gue janji bakal traktir lo," tolak Emil tidak mau. "Ngapain sih lo mau makan bareng laki-laki yang udah berkeluarga? Lo nggak takut dilabrak istrinya?"
"Emil, bukan urusan lo buat nyampurin kehidupan gue. Mau gue makan sama siapa pun, itu terserah gue. Lo nggak berhak ngatur gue harus gimana." Navasha menatap tidak suka pada Emil. Emang apa urusannya dengan laki-laki itu jika ia makan dengan Deo dan Nirmala?
"Sha, dia udah berkeluarga. Terlepas dia teman lo atau nggak, ada baiknya lo jaga jarak sama dia. Jangan masuki rumah tangga orang."
Navasha menatap berang mendengar tuduhan dari Emil, meski secara tidak langsung. Laki-laki itu bertindak seolah tahu segalanya dan paling parah menilainya sebagai perusak rumah tangga orang.
"Lo nggak tahu apapun yang terjadi, Mil. Gue nggak suka lo sembarangan nuduh gue sebagai perusak rumah tangga orang. Gue nggak mungkin sebodoh itu ngerebut milik orang lain, apalagi suami orang! Gue ngerti rasanya jadi perempuan yang laki-lakinya direbut perempuan lain." Suara Navasha terdengar bergetar dan penuh emosi. Tersirat luka dan kesakitan di sana yang membuat Emil terhenyak.
"Bukan maksud gue buat nuduh lo sebagai perebut. Tapi, kita nggak bakal tahu tanggapan orang banyak pas liat lo dan laki-laki beristri itu makan bareng. Gue takut ada kabar buruk yang nantinya menerpa lo," kata Emil seraya menjangkau lengan Navasha namun langsung ditepis oleh gadis itu.
"Tapi sebelumnya lo nuduh gue. Gue nggak percaya ternyata lo sepicik itu menilai gue. Gue emang masih sendiri. Tapi itu bukan berarti semerta-merta gue mau aja merusak rumah tangga orang. Gue masih punya hati dan harga diri untuk nggak jadi seorang perebut. Buka pintu ruangan gue, sekarang." Navasha terlihat sangat marah kali ini. Emil benar-benar tidak menyangka bahwa Navasha akan semarah ini. Padahal laki-laki itu hanya bermaksud baik dan sedikit cemburu melihat Navasha bersama laki-laki lain.
"Sha, gue nggak maksud–"
"Buka pintunya sekarang, Mil." Dan akhirnya Emil memilih untuk menyerah dan menuruti perkataan gadis itu.
***
Andre heran melihat wajah kakaknya yang muram. Jika wajah kelelahan, Andre sering melihatnya. Tapi wajah muram begini, jarang sekali kakaknya akan muram saat pulang kerja. Biasanya meskipun lelah, ada binar bahagia di balik mata kakaknya yang begitu senang bisa mengobati orang.
"Kak," sapa Andre memberanikan diri. Ia hanya ingin memastikan apakah gadis yang memasuki rumah adalah kakaknya atau bukan. Kalau makhluk jadi-jadian, kan, serem juga.
"Kak," panggil Andre sekali lagi karena tidak dapat sahutan dari sang kakak.
"Apa sih manggil-manggil? Nggak tahu orang lagi bad mood apa," balas Navasha sewot. Andre meneguk air liurnya kasar.
Ya, ini memang kakak gue. Meskipun mukanya udah kayak induk singa yang ngamuk anaknya digangguin.
"Nggak apa-apa. Manggil aja. Hehehehe." Andre tertawa kikuk. Ada sedikit perasaan takut melihat kakaknya dalam mode sangar begitu.
"Manggil-manggil, dikira telepon apa. Kalau nggak punya pulsa, nggak usah sok-sokan missed call." Setelah itu Navasha beranjak menuju kamarnya tanpa aba-aba, meninggalkan Andre yang terpaku melihat kelakuan ajaib sang kakak.
Abis kesambet kali ya, Doi.
*tbc
So sorry kalau aku slow update😭 jujur ideku ilang-muncul:') makasih buat kalian yang masih mau nunggu cerita ini. Love yaa💜Love,
Vand🦋
KAMU SEDANG MEMBACA
Fatum
RomanceFatum (n.) The development of events beyond a person's control. Perpisahan dengan Deo meninggalkan luka besar di hati Navasha. Bertahun-tahun Navasha hidup dalam luka. Navasha pikir lukanya akan sembuh seiring berjalannya waktu. Sayangnya ia salah. ...