Empat Puluh Empat

6.5K 281 10
                                    

Happy new year🎉💜

"Miniatur monas!" Navasha berdecak kesal mendengar suara toa Firza yang membuat mereka menjadi pusat perhatian seluruh kafe walaupun hanya sesaat. Navasha baru saja mau menghampiri meja yang sudah diisi oleh ketiga sahabatnya itu dengan diam-diam untuk mengagetkan mereka, malah Navasha yang kaget karena Firza menyadari keberadaannya.

"Suara lo toa. Lagian apa-apaan gue dipanggil miniatur monas?" Navasha mencubit pipi Firza kesal begitu mendudukkan bokongnya disamping Firza.

"Lo sama kayak miniatur monas, Sha. Minimalis," ejek Firza dengan ringisan karena Navasha mencubit pipinya makin keras. "Aw! Sakit tau! Lepasin."

"Lo nyebelin." Navasha melepas cubitannya dari pipi Firza dengan tidak rela. Ia masih ingin menarik pipi sahabatnya yang mengesalkan itu.

"Udah-udah. Baru datang malah ribut," lerai Naya. Navasha dan Firza sontak saling menuduh yang membuat Naya dan Wanda sakit kepala.

"Kalau masih ribut gue pulang, nih. Mending gue kelonan sama laki gue," ancam Naya yang ampuh mendiamkan dua gadis itu. Tapi mereka masih saling lirik-lirik menyalahkan.

"Kita kan ngumpul buat wawancara Navasha, bukan buat keributan kalian berdua." Wanda menunjuk satu-satu kedua sahabatnya itu. "Lo yang kalem Fir, jangan bikin ulah."

"Salah gue mulu," omel Firza. Sedangkan Navasha memeletkan lidahnya pada Firza karena merasa menang.

"Sha," panggil Naya yang membuat Navasha berhenti mengejek Firza.

"Hm?"

"Lo beneran pindah?"

"Iya, Nay. Kan gue udah kirimin foto surat persetujuan dari rumah sakit," angguk Navasha.

"Kok lo pindah sih? Mana baru ngasih tahu setelah disetujui. Lo bikin kita semua kaget tau nggak," omel Wanda yang dibalas ringisan pelan oleh Navasha.

"Maaf. Gue emang niat ngasih tahu setelah surat pengunduran diri gue diterima. Biar lebih pasti gitu."

"Lo tiba-tiba pindah gini tanpa pemberitahuan atau apapun. Lo kenapa?" Firza menatap Navasha tajam yang dibalas dengan santai oleh Navasha.

"Gue mau ngisi klinik kakak sepupu yang di Medan. Dokter giginya udah resign lebih dari sebulan dan belum ada penggantinya. Jadilah gue ditarik kesana," jawab Navasha ringan tapi tidak membuat ketiga sahabatnya itu percaya.

"Lo yakin alasannya cuma itu?"

Navasha mengangguk ringan. "Iya lah. Apalagi emang?"

"Bukan karena lo menghindar?"

"Gue menghindari siapa, Wan? Gue nggak punya musuh untuk dihindari. Lah wong gue orang baik gini. Udahlah kalian, nggak usah mikir aneh-aneh deh." Navasha mengangkat sebelah tangannya lalu memanggil pelayan untuk memesan. Ia memesan jus stroberi dan kentang goreng untuk mengganjal perutnya sebelum makan malam.

"Sha."

"Nay." Navasha balas menyebut nama Naya berharap suasana sedikit cair. Navasha tidak berniat pembicaraan mengenai kepindahannya ini dilakukan terlalu serius.

"Lo ingat kan kami bertiga ini sahabat lo? Lo masih berharap bisa bohongin kami?"

"Gue nggak bohongin kalian. Emang itu alasan kepindahan gue. Gue harus bilang apa supaya kalian percaya?"

"Lo pindah bukan karena Deo?" Navasha mengedip sesaat karena terkejut nama Deo kembali disangkut pautkan dengannya. Tidak bisakah semua orang berhenti menyangkut pautkannya dengan laki-laki itu?

"Kenapa gue pindah harus karena Deo?"

"Sha, jujur please. Lo masih nganggap kami sahabat lo, kan?" Firza memegang pundak Navasha. Tapi Navasha tetap memilih untuk keras kepala menyembunyikan alasan yang sebenarnya dari ketiga sahabatnya. Navasha tidak ingin ketiga sahabatnya semakin benci pada Deo.

"Kenapa, sih, kalian nggak percaya sama gue?"

"Karena Deo ... Aw! Sakit Firza," geram Wanda karena tulang keringnya ditendang cukup keras oleh Firza. Bukannya minta maaf, Firza malah melotot pada Wanda.

"Kenapa sama Deo?" tanya Navasha penasaran.

"Karena cuma Deo alasan yang logis saat ini. Lo udah janji mau ngasih kesempatan sama Deo tapi sekarang malah pergi kayak gini. Emil juga udah mundur," jawab Naya cepat sebelum Wanda maupun Firza.

"Tapi bukan berarti gue milih dia setelah Emil mundur. Gue nggak yakin bisa lanjutin hubungan sama dia. Lebih baik Deo cari orang lain aja untuk gantiin posisi Mbak Indira," jawab Navasha lugas.

"Sha, lo yakin sama keputusan lo? Kita semua tahu lo masih cinta sama Deo meskipun lo juga benci sama dia. Lo nggak mau ngasih Deo kesempatan dan memperbaiki kesalahannya?" tanya Firza.

Navasha menatap bingung sahabatnya. Bukannya mereka sangat benci bahkan menentang kehadiran Deo kembali di kehidupan Navasha? Tapi kenapa saat ini mereka seperti berbalik arah?

"Kalian lagi nyoba bujuk gue balikan sama Deo? Kalian bukannya benci sama dia?"

"Karena kami–" Naya sigap mencubit lengan Wanda sehingga gadis itu menjerit kesakitan dan tidak melanjutkan kalimatnya.

"Karena kami cuma mau yang terbaik untuk lo, Sha. Deo memang salah. Tapi ada kemungkinan Deo yang terbaik untuk lo, terlepas dari semua kesalahan dia di masa lalu. Tuhan aja ngasih kesempatan untuk hambanya bertobat, lo kok nggak mau ngasih Deo kesempatan?" Firza cepat menggantikan Wanda berbicara membuat Navasha berkerut makin bingung dengan tingkah aneh mereka bertiga.

"Kalian aneh."

"Sha, kami di sini bukan pro Deo. Kami masih nggak suka sama dia? Tentu. Tapi yang paling penting di atas itu semua adalah kebahagiaan lo. Selama ini, setelah pisah sama Deo, lo nggak pernah bahagia sekalipun. Lo nggak bisa ngelak berapa cowok yang berusaha deketin lo tapi hasilnya nol besar. Bahkan yang segigih dan sebaik Emil pun masih nggak bisa luluhin lo. Lo nggak ngerasa itu artinya lo masih nunggu Deo?"

"Gue nggak nunggu Deo!" Navasha menggeleng keras, menolak pertanyaan Wanda yang mengarah menyudutkannya untuk menjawab iya.

"Sha, lo punya kesempatan untuk memperbaiki hati lo yang hancur tapi kenapa lo masih nolak?" Naya bertanya lembut pada Navasha.

"Gue nggak bisa balik sama dia. Apapun alasannya. Gue nggak siap. Please kita jangan bahas ini lagi. Gue udah capek, ya?" pinta Navasha dengan wajah memelas. Matanya memendarkan kelelahan luar biasa yang dapat ditangkap oleh ketiga sahabatnya. Dengan sangat terpaksa ketiga sahabat itu mengangguk.

"Kita cuma mau lo bahagia, Sha." Firza bergerak memeluk bahu Navasha. Navasha mengelus lengan sahabatnya itu.

"Gue juga mau bahagia, Fir. Tapi mungkin tanpa Deo. Gue nggak mau balik sama dia tapi masih ada sakit yang gue pendam."

"Kalau lo pindah, kita nggak bisa ketemu, dong?" Tiba-tiba Wanda mengalihkan pembicaraan yang menguras emosi itu ke yang lebih santai.

"Pas gue pulang kan masih bisa. Lagian kalau kangen, kalian bisa vidcall gue."

"Lo jahat banget ambil kerja jauh. Gue aja ngalah nggak ikut orang tua ke KL, lo malah kerja ke Medan," renggut Firza.

"Belum apa-apa aja lo udah kangen sama gue." Navasha mencubit ringan pipi Firza. "Kalian bisa susul gue ke Medan kalau kangen."

"Seakan Jakarta–Medan itu kayak rumah lo ke rumah sakit Medika," cibir Wanda yang disambut gelak tawa oleh yang lain.

Fatum bentar lagi tamat. Aku udah nggak sabar selesain cerita ini dan bikin cerita baru. Sejauh ini, menurut kalian cerita ini gimana?

*tbc

Love,
Vand🦋

FatumTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang