Enam Belas

7.7K 296 0
                                    

"Kak, Kakak nggak kerja?" tanya Andre ketika melihat kakaknya menikmati sarapan pada pukul delapan pagi dan masih mengenakan piyama. Navasha hanya membalas dengan gelengan singkat seraya mengunyah rotinya.

"Kakak sakit?" tanya Andre lagi. Kali ini matanya menatap penuh selidik wajah sang kakak yang sedikit pucat dan mata bengkak.

"Kurang tidur aja," balas Navasha singkat.

"Baca novel lagi sampai tengah malam? Kebiasaan Kakak sejak SMA itu nggak bisa diubah apa? Udah tahu tiap harinya sibuk, masih aja baca novel sampai kurang tidur. Jadi sakit ginikan sekarang," cerocos Andre. Navasha hanya diam, tidak membantah tuduhan adiknya. Lebih baik begini daripada Andre harus tahu penyebab sebenarnya matanya bengkak hingga ia izin kerja hari ini.

"Kok diem aja sih, Kak?" Andre mulai kesal karena Navasha mengacuhkannya.

"Apa sih, Ndre? Kakak cuma nggak enak badan aja. Nggak usah jadi ibu-ibu rempong gitu deh. Sana kuliah," usir Navasha malas. Ia mengayunkan tangannya di udara, isyarat agar Andre menjauh darinya.

"Aku kuliah jam sepuluh. Masih ada waktu buat ngasih kuliah singkat ke Kakak."

"Kakakmu ini udah gede loh, Ndre. Udah lulus kuliah juga. Udah kerja. Nggak perlu lagi dapat kuliah tambahan dari kamu. Sana kamu keluar rumah. Jemput pacar atau ngapain kek. Kakak malas liat muka kamu." Sejurus kemudian kedua belah pipi Navasha sudah tertarik ke kanan dan kiri. Ulah Andre yang gemas melihat kakaknya.

"Ih, kalau bukan kakak sendiri, udah aku ceburin ke empang." Andre menarik kuat sekali lagi pipi kakaknya sebelum ia lepaskan. Setelah itu, ia sigap memeluk sang kakak sebelum menerima amukan karena menarik pipi Navasha.

"Andre, sakit!" amuk Navasha seraya memukul punggung tegap Andre. Ia agak kesusahan karena Andre memeluk tubuhnya kuat. Lagi pula, tubuh Andre lebih besar dari tubuhnya hingga membuatnya tenggelam dalam pelukan sang adik.

"Nggak nyangka badan kakakku kecil banget," kekeh Andre.

"Wajarlah. Kamu cowok, Kakak cewek. Badanmu emang harus lebih gede." Suara Navasha terbenam dalam pelukan adiknya itu.

"Iya, ya. Biar aku bisa lindungin Kakak dari orang jahat."

"Perasaan dulu kamu yang hobi banget jahat sama Kakak," cibir Navasha lalu melepaskan pelukan adiknya.

"Kan dulu masih kecil. Sekarang udah gede. Udah ngerti kalau punya saudara perempuan itu wajib dilindungi."

"Hm, iya yang udah gede. Sana deh kamu, pergi ke kampus cepetan. Udah bosen Kakak liat muka kamu." Saat itu juga Andre menyesal sudah berlaku manis ke kakaknya yang menyebalkan itu.

***

Jika tahu saat libur begini ia harus tetap bertemu dengan Deo, Navasha lebih memilih untuk bekerja daripada meladeni Deo yang tiba-tiba bertamu ke rumahnya siang-siang begini. Ia tidak bisa menghindar karena tidak ada siapapun di rumah kecuali Din dan satpam yang merangkap sebagai tukang kebun. Ingin hati mengusir Deo dengan mendorong badan laki-laki itu keluar rumah. Namun, ia kalah tenaga. Bagaimanapun juga, tenaga laki-laki lebih besar daripada perempuan. Alhasil kini Deo sudah duduk manis di sofa ruang tamu setelah meletakkan bingkisan buah-buahan.

"Tahu dari mana kamu tahu kalau aku di rumah?" tanya Navasha ketus namun tidak dapat menyembunyikan rasa penasarannya. Harusnya yang laki-laki itu tahu ia sedang di rumah sakit saat ini. Kecuali ia sudah ke rumah sakit dan ... sial!

"Aku tadi ke rumah sakit dulu. Tapi pas aku nyampe di ruangan kamu, asisten kamu bilang kalau hari ini kamu nggak masuk. Lagi sakit. Ya udah, aku langsung ke rumah aja. Aku takut kamu kenapa-napa." Tepat sesuai dugaan Navasha. Pasti Runi yang memberi tahu Deo.

FatumTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang