Navasha memainkan ponselnya dengan bosan. Sudah hampir satu jam ia duduk di dalam kedai kopi ini, menunggu kedatangan Deo yang meminta untuk bertemu di sore berbalut mendung.
"Tahu gini mending pulang dulu tadi," dumel Navasha dalam hati. Pasalnya, ia langsung ke kedai kopi langganan mereka setelah pulang dari dunia per-co-ass-annya. Ia takut terlambat dan membuat Deo menunggu lama jika memilih pulang dahulu. Nyatanya, sudah lewat dari pukul lima sore, laki-laki itu masih belum memperlihatkan batang hidungnya.
Navasha meletakkan kepalanya lelah di atas meja. Minumannya hampir habis dan ia kehabisan cara untuk membuatnya tetap merasa betah menunggu kekasihnya yang masih belum muncul. Ia menghembuskan napas lelah. Harusnya ia sedang beristirahat di rumah saat ini, merilekskan badannya yang lelah sehabis digempur seharian di RSGMP.
"Hei." Sapaan lembut seseorang lima belas menit kemudian membuat Navasha otomatis cemberut.
"Lama," rengeknya pada orang tersebut. Deo hanya terkekeh pelan lalu mengacak puncak kepala kekasihnya.
"Ada urusan tadi. Mana jalanan macet. Lama-lama aku mau pindah aja dari sini. Capek kejebak macet terus," keluh Deo melihat lalu lintas kota yang makin hari makin padat. Navasha yang awalnya mau ngomel dan marah-marah, mengurungkan niat karena kasihan melihat wajah kekasihnya yang kelelahan. Pekerjaan saja sudah menguras tenaganya, apalagi harus berhadapan dengan macet jam pulang kerja begini.
"Aku pesanin kamu kopi yang biasa, ya. Kamu mau nambah makan sekalian? Kamu udah makan siang tadi?" Pertanyaan beruntun dari sang kekasih membuat Deo tertawa.
"Aku pesen kopi sama kentang goreng aja. Aku udah makan, kok, tadi. Perhatian banget, sih, kamu." Deo mencubit gemas kedua pipi Navasha lalu menggoyangkannya ke kiri dan ke kanan. Membuat Navasha memekik kesal, tentu saja.
"Sejak kita pacaran, pipi aku makin melar karena kamu cubit mulu," kesal Navasha. Ia tidak suka pipinya ditarik-tarik. Bisa melar, katanya.
"Nggak papa. Aku suka kalau kamu jadi chubby." Navasha memukul lengan Deo kesal lalu memanggil pelayan yang lewat. Ia memesan pesanan Deo ditambah minuman untuknya karena minumannya yang tadi sudah habis.
"Tumben kamu minta kita ketemuan sore. Biasanya malam. Ini badan nggak capek apa habis pulang kerja?" Navasha sedikit memijat bahu kanan Deo yang terasa tegang. Laki-laki ini pasti kelelahan.
"Nanti malam nggak bisa. Harus sore ini," jawab Deo.
"Emang mau ngomongin apa sih?"
"Kita tunggu pesanan kita datang, ya." Navasha mengangguk, tidak protes karena hasilnya akan sia-sia. Ia tidak akan bisa memaksa Deo mengatakannya sekarang.
Tidak lama kemudian, pesanan mereka datang. Deo menyeruput kopinya terlebih dahulu lalu memakan kentang gorengnya. Deo sangat suka kentang goreng. Di mana pun tempat makannya, laki-laki itu pasti memesan kentang goreng. Navasha jadi ketularan menyukai makanan penuh karbohidrat itu.
"Mau?" tawar Deo. Navasha menggeleng. Ia sudah cukup kenyang menghabiskan satu gelas kopi tadi. Sekarang ia juga harus menghabiskan gelas keduanya, tapi bukan kopi. Ia tidak mau mengambil resiko tidak tidur semalaman karena terlalu banyak mengonsumsi cafein. Apalagi jadwal co-ass-nya tetap harus berjalan esok pagi. "Tumben. Biasanya kamu kan juga doyan kentang goreng."
"Kenyang. Abang aja yang abisin," tolak Navasha. Ia memerhatikan kenapa Deo tidak kunjung membuka suara. Padahal ia sudah sangat penasaran apa yang ingin dikatakan laki-laki itu. Navasha merasa jika Deo sengaja memperlambat acara makannya. Wajah Deo pun terlihat berbeda. Ia seperti tidak tenang dan gelisah. Navasha yakin Deo sedang menyimpan sesuatu.
"Bang." Navasha memegang sebelah tangan Deo yang terletak di atas meja. "Kamu nggak papa?"
"I ... iya. Aku baik, kok. Kenapa?" jawab Deo sedikit linglung. Navasha makin menaruh rasa curiga melihat kelakuan aneh kekasihnya.
"Abang mau ngomong apa? Dari tadi aku tungguin, loh," cemberut Navasha seraya memajukan sedikit bibirnya. Deo tergelak, namun kikuk.
"Sha ...."
"Ya? Kenapa?"
"Kita putus aja, ya." Bagai tersambar petir, Navasha terdiam begitu Deo membuka suara. Tubuhnya kaku, tidak merespon apapun saking terkejutnya. "Maaf kalau ini terlalu cepat untuk kamu. Tapi aku udah nggak bisa lagi," lanjut Deo ketika melihat Navasha yang masih terdiam kaku.
"Pu ... putus? Kenapa?" Akhirnya Navasha menemukan suaranya meskipun lirih. Suaranya seperti tercekik.
"Aku benar-benar udah nggak bisa lanjutin kisah kita. Maaf, aku harus akhiri ini." Setelah itu Deo pergi begitu saja.
"Abang!" Navasha merasa napasnya sesak ketika terbangun dari mimpi buruknya. Astaga! Ia kembali memimpikan saat Deo memutuskannya lima tahun yang lalu.
"Astaghfirullah," lirih gadis itu. Suaranya bergetar, begitu pun seluruh anggota badannya. Semua mimpi buruk tentang Deo sudah mulai hilang satu tahun belakang. Namun, kenapa mimpi buruk itu muncul lagi? Apa hal ini karena Deo kembali lagi di hidupnya?
Berkali-kali Navasha melantunkan istighfar agar ia kembali tenang dan napasnya tidak lagi memburu. Keringat sudah bercucuran membasahi badan gadis itu, padahal suhu ruangannya cukup dingin karena air conditioner.
Navasha mengusap wajahnya berkali-kali. Mimpi buruk itu masih tetap menghantuinya. Dirinya masih belum tenang. Lalu, Navasha memilih untuk menghadap penciptanya. Navasha yakin sang pencipta mampu menghalau gundah di hatinya.
Dalam sujudnya, air mata Navasha mengalir. Menampakkan lemahnya kepada sang pencipta. Dalam doanya, air mata itu turun makin deras diiringi lantunan keluh kesahnya yang tak mampu ditahan rasa sakitnya. Meminta sang pencipta untuk mengangkat luka yang sudah lama bersarang di hatinya dan diberi keikhlasan untuk semua suratan takdir yang terjadi di hidupnya.
Selesai melalukan salat malam dan mengadu pada Tuhan, Navasha mulai merasakan ketenangan pada dirinya. Meski belum sepenuhnya, setidaknya napasnya sudah mulai teratur dan ia tidak dihantui ketakutan seperti tadi. Ia juga sudah bisa kembali tidur. Tapi, bunyi ponsel menganggunya ketika ia akan menutup mata.
Sebuah pesan whatsapp. Dari Deo.
Deo
Maaf ganggu kamu jam segini. Kamu pasti lagi tidur, ya? Aku harap kamu nggak keganggu sama pesanku.
Aku mimpiin kamu, Sha. Mimpiin kita. Tapi bukan mimpi yang indah. Aku mimpi kejadian aku mutusin kamu lima yang tahun lalu. Mimpi terburuk yang pernah aku punya.
Mimpi itu bikin aku kebangun dan nggak tenang. Mimpi itu seakan menghantui aku, Sha. Seakan menghakimi dan menyalahkan aku atas apa yang terjadi lima yang tahun lalu. Ya, aku tahu memang semua salahku. Pergi meninggalkanmu begitu saja tanpa alasan yang jelas. Mimpi itu mengingatkan aku pada dosaku padamu.
Saat terbangun, aku ketakutan dan merutuki diriku sendiri. Menyalahkan kebodohanku. Tapi setelah aku salat tahajud, pikiranku jernih kembali.
Mimpi itu bukan lagi sebagai mimpi buruk bagiku. Tapi sebagai pengingat bahwa aku sudah menyakiti kamu di masa lalu. Dan saat ini, aku wajib untuk menyembuhkan kamu. Bagaimanapun caranya.
Sha, aku cuma pengen kamu tahu. Aku akan selalu berjuang untuk membuatmu kembali dan tidak akan pernah melepaskanmu lagi.
Good night, Sayang. I love you.Navasha kembali menangis ketika membaca pesan dari Deo.
*tbc
Love,
Vand🦋
KAMU SEDANG MEMBACA
Fatum
RomanceFatum (n.) The development of events beyond a person's control. Perpisahan dengan Deo meninggalkan luka besar di hati Navasha. Bertahun-tahun Navasha hidup dalam luka. Navasha pikir lukanya akan sembuh seiring berjalannya waktu. Sayangnya ia salah. ...