Navasha menyeret sebuah koper berukuran besar dengan tangan kanannya. Tas kecil berisi dompet, power bank, charger, ponsel, serta tiket pesawat tersampir di bahu kirinya. Hari ini hari keberangkatan Navasha ke Medan. Memulai hidup barunya disana dengan harapan bisa melepaskan bayang-bayang Nathaniel Deosan.
"Sini, Kak, aku aja yang bawa kopernya." Rafa mengambil alih koper besar Navasha ketika kakaknya akan menuruni tangga. Navasha dengan senang hati menerima bantuan adik bungsunya tersebut.
"Mau pisah aja baru baik gini," cibir Navasha.
"Biasanya aku juga baik kok," cibir Rafa balik. Navasha memutar matanya lalu mendahului Rafa menuruni tangga. Ia membiarkan adiknya itu kesusahan menuruni tangga dengan mengangkat kopernya yang besar dan berat.
"Udah siap semuanya, Sha?" tanya Nina seraya memberikan sepiring nasi goreng pada Navasha. Pesawat Navasha dijadwalkan pukul 11.20. Masih ada waktu untuk sarapan dulu.
"Udah, Ma."
"Kamu cuma bawa satu koper aja?"
Navasha mengangguk singkat. "Aku cuma bawa barang yang penting aja. Kalau kurang juga bisa beli disana. Malas mau ngangkut semuanya kesana. Kayak nggak mau balik aja."
"Emang harus wajib balik. Papa cuma ngasih kamu waktu satu tahun di sana." Yoga yang baru datang mengecup puncak kepala anak gadisnya. "Pagi, Nak."
"Kan kita udah bikin perjanjian, aku akan balik lagi ke sini saat aku udah ngerasa siap," cemberut Navasha tidak terima.
"Nggak ada alasan. Satu tahun paling lama."
"Tapi Pa–"
"Papa tuh suka sepi kalau kamu nggak ada di rumah," kata Nina melihat argumen antara suami dan anaknya.
"Tuh, ada Andre sama Rafa."
"Mereka nggak cerewet kayak kamu," kata Yoga cuek.
"Ih, Papa!"
***
"Jangan lupa makan ya, Nak. Jangan suka begadang. Salat jangan ditinggalin. Jangan terlalu capek," nasehat Nina berulang kali yang membuat Navasha jengah. Sejak mereka masuk ke mobil hingga sampai di bandara, Nina tidak hentinya memberi nasehat yang sama pada Navasha.
"Iya, Mamaku Sayang. Mama udah berulang kali bilangnya lho."
"Ini pertama kali kamu jauh dari keluarga. Mama khawatir kamu keteteran."
"Kakak udah gede kali, Ma. Bukan anak kecil yang harus diurusin terus," celutuk Rafa yang sukses mendapat jitakan dari Nina.
"Sahabat-sahabat kamu jadi kesini?" tanya Yoga. Pasalnya sejam lagi waktu boarding Navasha.
"Jadi, Pa. Mereka udah nyampe parkiran," jawab Navasha seraya membalas pesan Firza yang bertanya Navasha dimana.
Tidak lama kemudian, tiga sahabat Navasha itu datang. Naya, Wanda, dan Firza menyalimi Yoga dan Nina terlebih dahulu sebelum menubruk Navasha.
"Jahat banget, sih! Kerjanya jauh banget," gerutu Wanda. "Gue ikutan pindah ke KL juga nih."
"Sembarangan aja kalau ngomong." Wanda mendapat jitakan dari Navasha. "Gue di Medan, lo di KL. Naya sibuk sama laki dan anaknya, ntar Firza sama siapa?"
"Sana lo pindah. Gue masih punya Hilman," kata Firza.
"Lo sama Hilman lagi LDR kalau lo lupa," ejek Naya yang membuat Firza mengumpat tanpa sadar.
"Gue nggak lama kok. Cuma dikasih waktu sama bokap satu tahun. Padahal gue maunya lebih lama lagi," kata Navasha.
"Nggak boleh lebih lama!" jerit ketiganya yang membuat telinga Navasha berdengung.
KAMU SEDANG MEMBACA
Fatum
RomanceFatum (n.) The development of events beyond a person's control. Perpisahan dengan Deo meninggalkan luka besar di hati Navasha. Bertahun-tahun Navasha hidup dalam luka. Navasha pikir lukanya akan sembuh seiring berjalannya waktu. Sayangnya ia salah. ...