Tujuh

11.3K 429 0
                                    

Navasha bangun dengan mata yang susah untuk dibuka pagi ini. Tangisan semalam menyisakan mata bengkak dan menghitam di bagian bawah serta air mata yang mengering di kedua pipinya. Rambutnya acak-acakan dan dress yang tampak sangat kusut. Gadis itu tidak sempat mengganti pakaian semalam karena kelelahan menangis.

"Zombie patah hati," ringis Navasha pada dirinya sendiri ketika melihat pantulan wajahnya di cermin. Sangat mengerikan hingga rasanya Navasha ingin memecahkan cermin itu.

"Kenapa sih lo selalu nangis kalau berhubungan sama dia? Nathaniel brengsek Deosan itu nggak pantas nerima tangisan lo!" Navasha menepuk kedua pipinya agak keras. Ia ingin menyadarkan dirinya sendiri untuk berhenti bersedih. Tapi Navasha tahu, semua upaya yang ia lakukan sia-sia. Entah sampai kapan hatinya akan mengukir nama Deo yang berdampingan dengan luka yang dibuat oleh laki-laki itu.

"Kak! Subuh woi! Mandi jangan lupa," teriakan adik bungsunya dari balik pintu membuat Navasha menatap pintu kesal.

"JANGAN TERIAK-TERIAK KAYAK DI HUTAN!" pekik Navasha. Hal itu mengundang gelak tawa dari Rafa lalu ia memilih pergi dari sana sebelum Navasha keluar dan mengamuk.

Navasha mengambil handuk dan melangkahkan kakinya berat ke kamar mandi. Ia harus mandi untuk memperbaiki penampilannya yang mengerikan ini setelah itu beribadah. Untungnya hari ini adalah hari libur. Jadi, Navasha tidak perlu memutar otak untuk mencari cara menyembunyikan mata bengkaknya yang nantinya pasti akan menjadi pertanyaan bagi semua rekan kerjanya.

***

Jangan Gibah(4)
Navasha
Siang ini ngumpul, yuk!
Wanda
Hayuk! Tumben nih lo nggak hibernasi sama novel libur gini.
Navasha
There's something that I want to tell you, guys.
Firza
Lo baik-baik aja kan, Sha?
Naya
Perasaan gue nggak enak, deh.
Navasha
Tempat biasa jam dua, ya.

Navasha meletakkan ponselnya di atas nakas. Sudah pukul sembilan dan ia belum keluar sama sekali dari kamar sejak semalam. Orang rumah juga tidak ada satupun yang menyuruhnya keluar. Hanya tadi Rafa membangunkannya, itupun tidak disuruh keluar. Sepertinya semua mengerti kondisi gadis itu saat ini.

Navasha menuju ruang makan. Perutnya mulai keroncongan mengingat semalam ia tidak sempat makan karena sibuk menangis. Di sana, ia tidak mendapati siapapun kecuali Din yang sedang merapikan meja makan.

"Yang lain mana, Mbok?" tanya Navasha seraya mengambil selembar roti coklat lalu melahapnya tanpa tambahan apapun.

"Andre sama Rafa kalau libur gini kan main futsal pagi sama anak-anak komplek. Kalau Bapak sama Ibu lagi ke pasar," jawab Din. Navasha mengangguk. Jika hari libur begini, ayahnya memang sering menemani sang istri ke pasar dari pada menyuruh Din untuk ke pasar. Biar makin romantis katanya.

"Sisa sarapan tadi masih ada nggak, Mbok? Aku lapar," tanya Navasha.

"Nasi goring masih ada. Sengaja ditinggalin buat Navasha. Mbok ambilin dulu." Navasha bersorak senang. Meskipun badannya terbilang kurus, tapi gadis itu makannya banyak.

"Aku tunggu di ruang TV ya, Mbok," seru gadis itu seraya membawa segelas air bersamanya.

***

"Ma, aku ijin keluar ya. Mau ketemu Naya sama yang lain," pamit Navasha pada ibunya.

"Kamu udah makan?" Nina mengusap puncak kepala anaknya lembut. Samar-samar Nina masih bisa lihat mata yang agak bengkak sisa tangis semalam.

"Sekalian di sana aja, Ma. Kami ngumpul di tempat makan biasa," jawab Navasha.

"Jangan sedih lagi. Mama dukung apapun pilihan kamu. Yang penting anak Mama bahagia."

"Makasih, Ma." Navasha menghambur memeluk ibunya. Memang ketika seluruh dunia terasa begitu buruk, pelukan seorang ibu adalah obat paling ampuh untuk menghadapi semuanya.

FatumTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang