Tujuh Belas

7.5K 273 2
                                    

Malam minggu kali ini Navasha janjian bertemu dengan ketiga sahabatnya yang sudah hampir satu bulan tidak ia temui. Pekerjaan dan kesibukan lainnya yang menguras waktu membuat mereka sulit untuk menemukan waktu yang tepat untuk sekedar berkumpul bersama selama beberapa jam saja.

"Widih, mau kemana nih jomblo malam minggu gini?" ledek Rafa yang tidak sengaja berpapasan dengan Navasha di tangga. Navasha dengan kesal memukul lengan adik bungsunya itu.

"Ngatain orang jomblo, nggak sadar diri sendiri juga jomblo," ledek Navasha balik.

"Jangan salah ya, Kak. Jomblo gini yang ngegebet aku banyak. Room chat aja udah kayak asrama cewek. Emang Kakak yang isi room chat-nya group semua." Navasha hendak memukul Rafa lagi tetapi adiknya itu sudah kabur duluan. Menyebalkan emang adiknya itu. Mentang-mentang postur tubuhnya yang kecil, ia sering jadi bahan bullyan adik-adiknya.

"Dikira gue nggak laku apa? Gini-gini gue direbutin Deo sama Emil," dumel Navasha dalam hati. Ngomong-ngomong tentang Emil, Navasha masih ingat ketika Emil dan ayahnya datang ke rumahnya saat ia izin tidak masuk kerja. Padahal Navasha tidak benar-benar sakit saat itu. Hanya kelelahan karena menangis semalaman. Namun, reaksi yang diberikan Emil sangat berlebihan. Apalagi saat ayahnya mengatakan bahwa sepanjang hari Emil tidak konsentrasi kerja dan ingin cepat melihat keadaan Navasha. Navasha jadi merasa tidak enak sekaligus malu.

***

"Kalian di mana?" tanya Navasha via telepon ketika baru memarkirkan mobilnya di pelataran parkir restoran milik keluarga Firza. Ia melepaskan seat belt dengan kepala dan bahu yang menopang ponsel di telinga kanannya.

"Di ruangan VIP sudut kanan dekat jendela. Gue udah reservasi untuk kita berempat. Special," jawab Firza di seberang sana. Ia juga mendengar suara Wanda dan Naya di sana. Berarti sudah lengkap semua, hanya ia sendiri yang belum datang.

Navasha bergegas keluar dari mobil dan menyusul ketiga sahabatnya. Ia sudah rindu mendengar celotehan tidak berguna mereka bertiga.

"Ya ampun, Bu Dokter. Kok makin kecil aja, sih, badan lo? Kebanyakan ngurus pasien jadi lupa ngurus diri sendiri." Sambutan pertama yang Navasha dapatkan adalah omelan dari Firza yang disambung dengan anggukan setuju lainnya. Navasha memutar mata malas. Ia sudah bosan mendengar komentar orang-orang tentang tubuhnya yang kecil dan dianggap makin mengecil hari ke hari.

"Berat badan gue stabil, guys. Gue masih makan dengan lahap dan ngemil micin tiap harinya." Navasha duduk disebelah Wanda. Lalu, menoleh pada gadis yang tingginya tidak beda jauh dengan Navasha itu. "Lo nggak sadar apa kita ini satu kasta? Sok-sokan ngatain gue kecil."

"Seenggaknya badan gue masih punya lemak yang berada di tempat yang tepat. Nggak kayak lo yang cuma kulit membalut tulang." Wanda mencubit kecil kulit tangan Navasha yang mendapat protesan dari gadis itu.

"Lo mikirin Deo, ya, sampai kurus banget gini?" Firza menatap Navasha penuh selidik. Matanya tidak mungkin salah melihat tubuh sahabatnya yang lebih mengecil sejak pertemuan terakhir mereka.

"Gila kali lo. Ngapain gue mikirin dia sampai nggak makan? Gue masih waras," protes Navasha tidak terima namun sedikit berbohong. Kalau diingat-ingat, nafsu makannya memang sedikit turun sejak Deo kembali di hidupnya.

"Daripada kalian nyeramahin Navasha, mending biarin dia mesan makanan. Kasian dia makin kecil ntar kalau diceramahin mulu." Awalnya Navasha senang dibela oleh Naya, tapi akhirnya ia tetap di-bully oleh sahabatnya itu.

"Makan yang banyak lo. Gue traktir sepuasnya deh." Semuanya bersorak girang begitu mendengar kata traktir. "Tapi buat Navasha aja. Naya sama Wanda udah kelebihan lemak."

FatumTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang