Sembilan

9.4K 393 11
                                    

"Mbak, makan siang di kantin atau delivery order?" tanya Runi pada Navasha. Ia sedang melakukan sterilisasi pada alat-alat yang baru saja digunakan Navasha untuk pasien terakhirnya sebelum jam makan siang.

"Kantin aja, Run. Gue lagi mau makan soto di kantin," jawab Navasha. Ia sedang mencuci tangannya di wastafel.

Runi mengangguk mengerti. Gadis itu lalu meletakkan kembali alat-alat yang sudah disterilkannya ke tempat yang sudah disiapkan.

"Buruan yuk, Run. Ntar waktu istirahatnya keburu selesai."

***

"Mbak tunggu di sana aja. Biar gue yang pesanin," kata Runi. Navasha mengangguk lalu melangkah menuju pojok kantin rumah sakit. Hanya di sana kursi kosong yang tersisa.

Navasha memainkan ponselnya seraya menunggu Runi datang dengan makanan mereka. Ia asik berselancar di sosial media tanpa menyadari kehadiran seseorang di sana.

"Sha," panggil orang itu membuat mata Navasha beralih padanya.

"Eh, hai, Mil," sapa Navasha tersenyum ramah. "Tumben jam segini udah di rumah sakit. Lo nggak kerja?"

"Tadi Bokap minta gue kesini. Ada yang mau diomongin katanya," jawab Emil. Navasha mengangguk. Laki-laki itu memang bukanlah seorang dokter seperti ayahnya. Tapi, kabarnya jabatan direktur rumah sakit akan tetap diberikan kepadanya meskipun ia seorang sarjana ekonomi setelah sang ayah pensiun beberapa tahun lagi. Hal itu menimbulkan pro dan kontra di pemegang saham saat ini. "Gue boleh gabung?"

"Gabung aja, Mas." Bukan Navasha yang menjawab, tapi Runi yang tiba-tiba muncul dengan nampan penuh makanan di tangannya.

"Thanks, Run," balas Emil dengan tersenyum. Ia duduk di hadapan Navasha yang kemudian disusul Runi yang duduk di samping Navasha.

"Mas Emil lagi senggang, ya?" tanya Runi membuka percakapan. Navasha mendelik pada gadis itu. Navasha yakin Runi akan membuat Emil betah duduk lama dengan mereka. Padahal Navasha canggung jika berada di tempat yang sama dengan Emil, apalagi di keramaian yang berpotensi menimbulkan gosip seperti ini.

"Abis ketemu Bokap."

"Udah persiapan jadi putra mahkota nih, Mas?" goda Runi.

"Sebenernya gue nggak mau karena basic gue sendiri bukan dari bidang kesehatan. Bokap maksa dan bakal ngasih gue wakil dari bidang kesehatan biar gue nggak susah. Tapi, gue tetap nggak yakin sih," kata Emil setengah mengeluh.

"Mas Emil pasti bisa. Ya kan, Mbak?" Runi menyenggol Navasha yang sedari tadi diam. Navasha yang terkejut hanya membalasnya dengan senyuman dan sekilas mencubit pinggang Runi.

"Gue juga berharap dapat istri dari bidang kesehatan. Setidaknya gue pasti sangat terbantu dengan kehadiran dia," kata Emil seraya menatap Navasha dalam. Navasha yang menyadari hal tersebut segera mengalihkan pandangannya ke mangkuk sotonya.

"Gue setuju, Mas," angguk Runi. "Nih, sama Mbak Navasha, aja. Available nih, doi."

"Apaan sih, Run. Jangan ngelantur," ketus Navasha kesal. Ia sungguh tidak menyukai topik ini dan sangat ingin menghindarinya.

"Kan, Mbak Navasha emang available, toh. Emang Mbak udah punya pasangan? Belum kan, belum kan?" tanya Runi berentetan. Navasha memilih diam karena ia yakin tidak akan menang melawan asistennya itu.

"Udah, Run. Kasian Navasha, tuh," lerai Emil melihat Navasha yang sudah mulai tidak nyaman dan badmood. "Gue maunya emang Navasha yang nempatin posisi itu. Tapi, kayaknya Navasha belum siap. Gue nggak masalah buat nunggu."

Navasha mengerang, "Mil, kita udah pernah omongin ini kan?"

"Lo juga selalu tahu langkah yang akan gue ambil kan, Sha? Gue nggak akan nyerah gitu aja. Gue akan berusaha."

FatumTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang