Dua

15.6K 563 2
                                    

"Hati-hati nyetirnya. Jangan ngebut," pesan Navasha kepada adiknya sebelum keluar dari mobil. Andre mengangguk seraya mengacungkan kedua ibu jarinya.

"Mobil Kakak aman sama aku," kata Andre. Navasha mengangguk sekilas lalu berjalan masuk ke dalam rumah sakit Medika. Sepanjang jalan, beberapa perawat serta cleaning service menyapa gadis itu. Navasha menyahuti serta tersenyum ramah membalasnya.

Navasha berjalan menuju arah barat rumah sakit. Di sana berderet beberapa ruangan dengan berbagai macam nama poli. Poli umum, poli penyakit dalam, poli mata, dan ah ... poli gigi. Ruangan yang menjadi tempat bekerja Navasha selama enam bulan ini. Navasha memasuki ruangannya dan sudah mendapati Runi—perawat gigi yang bekerja bersamanya.

"Pagi, Run," sapa Navasha seraya meletakkan tasnya ke atas meja kerja.

"Pagi, Mbak," balas Runi.

"Rajin banget udah beres-beres," goda Navasha.

"Iyalah, Mbak. Biar nanti kita langsung kerja pas pasien datang," jawab Runi semangat. "Oh ya, Mbak. Name tag Mbak yang baru udah selesai. Diantar tadi pagi."

Runi menunjuk name tag berbahan stainless steel dengan ukiran nama Navasha. drg. Navasha Lovandrina Baskara.

"Eh, udah jadi aja? Gue kira baru siap bulan depan."

"Pihak rumah sakit lagi meningkatkan kinerja kayaknya, Mbak."

"Bagus lah. Oh ya, Run, rekam medis Bu Tuti kemarin di mana? Gue mau baca lagi sebelum ada pasien masuk." Runi menyerahkan map yang diminta Navasha. Navasha mulai membaca rekam medis pasien tersebut seraya menunggu pasien yang akan datang.

Hingga pukul sebelas siang, sudah lima pasien yang datang. Ada yang datang untuk pertama kali atau melanjutkan perawatannya. Navasha merenggangkan ototnya yang sedikit kaku setelah bekerja berjam-jam. Meski pekerjaannya lebih ringan dengan bantuan Runi, ia tidak akan semena-mena menyuruh Runi melakukan semuanya. Navasha masih ingat bagaimana batas kerja seorang perawat gigi maupun dokter gigi.

"Pegel, Mbak?" tanya Runi.

"Iya nih, Run. Mana gue begadang semalam gara-gara baca novel. Agak nggak enak gitu badannya."

"Ya elah, Mbak. Udah tahu paginya kerja, masih aja begadang," cerocos Runi. Navasha hanya menunjukkan cengirannya. Ya, mereka memang seakrab itu. Meski sama-sama baru mengenal dan bekerja di rumah sakit Medika, Navasha dan Runi cepat akrab. Jarak umur mereka juga tidak jauh, hanya berbeda satu tahun.

"Nggak papa. Lihat pasien bisa senyum lagi setelah kita obatin jadi penawar rasa capek gue."

"Seneng ya, Mbak, lihat pasien bisa senyum lagi," kata Runi sambil membersihkan alat-alat yang digunakan tadi. Mereka sedang melakukan sterilisasi pada alat-alat yang mereka gunakan tadi. Kebersihan alat juga merupakan salah satu hal penting yang harus tetap dijaga. Alat harus tetap steril agar tidak menimbulkan penyakit lain pada pasien. Ini adalah suatu upaya untuk meminimalisir penularan penyakit dari satu pasien ke pasien lainnya.

"Lihat mereka nggak kesakitan lagi rasanya kerja keras kita dibayar lebih, Run. Nggak percuma kuliah bertahun-tahun demi mengembalikan senyum semua orang," jawab Navasha. Ia mengeringkan tangannya setelah selesai sterilisasi alat.

"Mbak ke pasien aja baik gini. Gimana ke pasangannya ya, Mbak," goda Runi. Navasha sempat terhenyak ketika Runi menyinggung soal pasangan. Karena jujur saja, sudah lima tahun ia tidak menjalin hubungan dengan laki-laki manapun.

"Ah, Run. Gue nggak ada pasangan. Nggak usah dibahas deh. Keliatan banget gue jomblonya," balas Navasha bercanda.

"Mbak Navasha cantik, baik, punya pekerjaan bagus lagi. Masa nggak ada yang mau," cerocos Runi. Runi tidak sadar bagaimana perubahan ekspresi Navasha saat mendengarnya. Namun, karena sudah terlatih menyembunyikan perasaannya selama ini, Navasha terlihat kembali biasa saja satu detik kemudian.

FatumTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang