Empat Puluh Delapan

6.1K 265 4
                                    

"Ty Sha, bangun!" Navasha mengerjap begitu mendengar suara teriakan disertai gedoran dari luar pintu kamarnya. "Ty Sha, bangun, dong. Ty Sha janji mau nonton pertunjukan pianoku hari ini."

"Iya, Ra. Ty Sha udah bangun," balas Navasha dengan suara serak.

"Buruan mandi, ya. Setengah jam lagi kita berangkat."

Navasha merenggangkan otot-otot tubuhnya yang terasa kaku setelah tidur semalaman. Tadi itu suara Amara, keponakannya. Navasha sudah berjanji hari ini akan menemani dan menonton pertunjukan piano Amara lalu mengajak gadis yang mulai beranjak remaja itu ke kedai es krim. Hal itu demi menghilangkan kemarahan Amara pada kedua orang tuanya yang tiba-tiba tidak bisa hadir karena harus ke luar kota karena ada urusan mendadak.

Navasha menyambar handuk lalu masuk ke kamar mandi. Ia harus bergegas jika tidak ingin membuat Amara mengamuk. Dua puluh menit kemudian Navasha sudah siap dengan dress selutut berwarna mocca serta wajahnya yang dirias tipis. Tas kecil sudah tersampir di bahu kirinya.

"Ra, ayo." Navasha celingak-celinguk mencari keberadaan keponakannya itu.

"Ra, udah jam 8 lewat nih. Ntar kamu telat loh. Kamu di mana? Ra?" Panggil Navasha lagi. Samar-samar ia mendengar suara sahutan dari arah dapur. Tidak lama kemudian Amara muncul dengan kotak makanan di genggamannya.

"Itu apa, Ra?" tanya Navasha bingung.

"Sarapan untuk Ty Sha. Ty Sha nggak bakal keburu sarapan kalau sarapan di rumah. Nih, bisa dimakan sebelum pertunjukan dimulai." Amara memberikan kotak makanan itu pada Navasha. "Yuk, pergi, keburu telat. Medan jam segini macetnya bikin kesal."

Navasha tersenyum. Amara ini termasuk anak yang judes, tapi terkadang bisa bertingkah manis seperti ini. Watak Amara persis seperti Andre. Ah, Navasha jadi merindukan kedua adiknya di Jakarta.

"Kunci mobil udahkan, Ty?" Navasha mengangguk. Ia merogoh tasnya lalu memperlihatkan kunci mobil yang dititipkan sepupunya. Navasha dan Amara memakai mobil itu selama kedua orang tua Amara di luar kota. Sebenarnya mobil itu dipinjamkan pada Navasha selama Navasha menetap di Medan. Tapi Navasha menolak dengan alasan lebih suka naik kendaraan umum.

"Lets go, Princess."

***

Navasha memakan sarapannya seraya menunggu pertunjukan piano Amara dimulai setengah jam lagi. Navasha sudah duduk di kursi strategis hingga ia bisa merekam penampilan Amara nanti dan melihatkannya kepada orang tua Amara. Itu pesan dari Amara sendiri karena tidak ingin orang tuanya ketinggalan setiap pertunjukannya.

"Permisi." Seorang perempuan yang kira-kira seumur Navasha menginterupsi.

"Ah, iya?"

"Saya boleh duduk di sini? Kosongkan?" tunjuk perempuan itu pada kursi di sebelah Navasha. Spontan Navasha mengangguk. Ia lalu menyimpan kotak makanan yang sudah kosong ke bawah kursi.

"Terima kasih," kata perempuan itu ramah. Navasha balas tersenyum lalu mengucapkan sama-sama. "Mau nonton adiknya, Mbak?"

"Bukan, Mbak, keponakan saya. Mbak mau nonton adiknya?"

"Nggak. Anak saya," jawab perempuan itu. Navasha ber-oh ria. "Oh ya, perkenalkan saya Mutiara." Perempuan itu mengulurkan tangannya, mengajak berkenalan.

"Saya Navasha, Mbak." Navasha menyambut uluran tangan itu.

"Nggak usah panggil Mbak. Kayaknya kita seumuran. Umurku dua puluh tujuh. Kamu?"

"Wah, kebetulan aku juga." Setelah itu kedua perempuan itu terlibat obrolan seru perihal berbagai macam hal.

"Anak kamu ikut pertunjukan? Hebat banget kecil-kecil udah jago main pianonya," puji Navasha.

"Dia kelas lima SD." Navasha terkejut mendengarnya. Mutiara berumur dua puluh tujuh tahun dan memiliki anak kelas lima SD.

"Eh maaf, kamu nikah muda?"

Mutiara menggeleng. "Aku baru nikah tahun kemarin. Yang tampil hari ini anak tiriku. Anak suamiku dengan mantan istrinya. Tapi aku udah anggap dia selayaknya anak kandungku sendiri."

Ntah kenapa tiba-tiba Navasha teringat Deo dan Nirmala. Jika ia menerima Deo, ia pasti berposisi sama dengan Mutiara. "Aku selalu salut sama ibu sambung yang sayang sama anak tirinya kayak anak kandung sendiri."

"Nggak mudah sebenarnya bagiku untuk menerima dan menyayangi Mian—anak tiriku. Sebelum suamiku dan ibu Mian menikah, aku lebih dulu berpacaran dengan suamiku. Suamiku dulunya guru di SMA-ku. Tapi perjalanan cinta kami nggak mulus karena terhalang restu orang tua suami. Akhirnya suami dijodohkan dengan ibu Mian. Tapi namanya mereka nggak jodoh, akhirnya cerai dan suamiku balik ke aku. Ah maaf, Sha. Aku jadi curhat gini." Mutiara merutuki mulutnya yang gampang bercerita seperti air mengalir.

"Santai aja, Mut. Nggak apa kok. Gimana proses balikan kamu sama suami kamu?"

"Dua tahun yang lalu kami ketemu di bazar buku. Dari sana suamiku ngajak balikan. Awalnya aku nggak mau. Masih tersisa sakit hati karena pernah ditinggal nikah. Tapi suamiku kekeh dan terus berjuang sampai aku luluh mau balik sama dia." Navasha tersentak. Ia tidak menyangka dipertemukan dengan orang yang memiliki kisah yang mirip dengannya.

"Apa yang bikin kamu yakin untuk balik lagi ke suami kamu?"

"Cinta dan perjuangan. Di masa lalu mungkin kami terpisah, tapi itu bukan kehendak kami. Lalu di masa ini kami diberi kesempatan untuk bersatu lagi. Kenapa kami harus menolak kalau emang itu takdir Tuhan?" Mutiara menjawab dengan santai tapi Navasha merasa tersindir. Apa selama ini dia sudah menolak takdir Tuhan yang ingin mempersatukannya dengan Deo? "Aku sempat benci sama suamiku karena dulu dia nggak sanggup nolak perjodohan dari orang tuanya. Tapi sekarang aku udah maafin dia. Kakakku pernah bilang bahwa aku selamanya nggak hidup di masa lalu. Kalau saat ini aku masih cinta sama suamiku, apa salahnya untuk beri dia kesempatan lagi?"

Navasha rasanya ingin menghilang dari sana saat itu juga. Rasanya ia tidak sanggup mendengar penjelasan lain dari Mutiara. Untungnya, tidak berapa lama kemudian pertunjukan dimulai dan mereka berdua fokus pada pertunjukan. Ah salah. Navasha tidak terlalu fokus. Pikirannya melayang selama pertunjukan dimulai. Untungnya ia masih sempat merekam pertunjukan Amara. Jika tidak, bisa-bisa gadis remaja itu mengamuk padanya. Rekaman ini sangat penting untuk dilihatkan pada kedua orang tua Amara nantinya.

Sebelum berpisah, Navasha sempat meminta nomor ponsel Mutiara. Navasha merasa perlu bercerita pada Mutiara yang memiliki nasib yang sama dengannya. Siapa tahu dengan bercerita pada Mutiara, Navasha menemukan titik terangnya. Karena jujur saja, sudah tiga bulan ia menetap di Medan, tidak ada perkembangan berarti yang Navasha rasakan. Ia masih belum bisa melepaskan Deo dari hatinya.

"Kapan-kapan aku hubungi kamu, ya? Aku pengen ceritain sesuatu kalau kamu nggak keberatan," kata Navasha yang disambut antusias oleh Mutiara.

"Boleh-boleh. Aku senang banget bisa dapat teman baru, apalagi kayak kamu. Aku aja yang hubungi kamu duluan. Kapan-kapan ada waktu luang, kita ketemu, yuk. Aku duluan, ya. Mian kayaknya udah nunggu." Mutiara melambaikan tangannya yang dibalas oleh Navasha.

Semoga Navasha akan segera mendapat jawabannya.

"Ty Sha! Mau es krim." Amara dengan girang berlari ke arah Navasha.

"Jangan lari, Ra. Ntar jatuh," peringat Navasha. "Kamu udah mau ABG tapi kelakuan masih kayak anak kecil."

"Biarin. Aku masih kecil gini kok," bela Amara. "Ayo, Ty Sha. Es krim." Amara menarik Navasha kuat hingga Navasha terpaksa mengikuti langkah keponakannya itu dengan terseret-seret.

*tbc

Love,
Vand🦋

FatumTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang