Follow ig vandesca16✨
Navasha dan Emil bersandar kekenyangan di kursi masing-masing. Mereka baru saja menghabiskan sea food dengan porsi untuk empat orang.
"Ya ampun, Mil. Kenyang banget gue. Nggak sanggup berdiri, nih," kata Navasha seraya menepuk-nepuk perutnya yang terisi penuh. Dibalas oleh Emil dengan anggukan setuju.
"Ini kita lapar atau doyan sih, Sha?"
"Lapar didominasi dengan doyan. Ugh, puas banget gue makan. Mana enak makanannya." Navasha menutup matanya lalu tersenyum senang. Emil yang duduk di hadapannya ikut tersenyum melihat gadis yang ia sukai senang.
Mereka terdiam beberapa saat seraya menunggu perut mereka kembali ke keadaan normal.
"Sha," panggil Emil setelah beberapa saat.
"Hm?" Navasha hanya menggumam. Matanya masih setia tertutup dengan posisi bersandar ke sandaran kursi.
"Gue ngajak lo keluar bukan cuma untuk curhat soal posisi direktur. Tapi ada yang lain," kata Emil pelan. Navasha membuka matanya lalu memperbaiki posisi duduknya.
"Apaan emang?"
"Gue mau dijodohin." Mulut Navasha terbuka begitu mendengar Emil yang akan dijodohkan.
"Dijodohin? Kita sekarang lagi nggak hidup di zaman siti nurbaya kan?"
"Sebenernya perjodohan itu udah tradisi di keluarga gue. Siapa pun yang umurnya dianggap udah matang dan mampu untuk menikah, akan dijodohkan. Tapi itu berlaku kalau dia nggak punya calon atau pun pacar. Kalau punya, nggak bakal dijodohin," jelas Emil.
"Lo mau dijodohin sama siapa?" Tanya Navasha.
"Sama anak sahabat nyokap. Nyokap udah klop banget sama anak sahabatnya itu. Makanya nyokap maksa gue untuk terima perjodohan ini. Tapi lo tahu kan, gue itu maunya sama lo doang, Sha." Emil menatap Navasha sendu. Ada kilatan putus asa tercetak jelas di matanya.
"Mil, pilihan orang tua nggak mungkin jelek kok. Gue yakin pilihan nyokap lo itu yang terbaik."
"Sebaik apapun perempuan yang dipilih untuk gue, nggak bakal berpengaruh apa-apa selama hati gue cuma untuk lo. Sha, lo masih nggak mau pertimbangin gue? Gue sayang dan cinta sama lo. Sejak kita kenal, satu-satunya calon istri yang gue mau itu lo." Emil berdiri dari duduknya lalu pindah duduk ke sebelah Navasha. Ia menggenggam tangan gadis itu.
"Mil, ini bukan urusan yang mudah. Ini menyangkut masa depan. Gue masih belum bisa, Mil. Gue juga nggak mau ngegantung dan nahan lo kalau di luar sana udah ada cewek yang lebih baik dari gue untuk lo. Lo berhak dapat yang lebih baik daripada harus nungguin gue yang nggak jelas ini," tolak Navasha halus. Ia masih belum yakin pada dirinya saat ini. Masih belum tahu harus memilih Emil atau Deo. Atau tidak keduanya. Saat ini sudah ada perempuan baik untuk Emil, Navasha tidak mungkin membiarkan Emil bertahan dengannya yang penuh dengan ketidak pastian. Hal yang sama juga akan dilakukannya pada Deo jika sedang berada diposisi seperti ini.
"Satu minggu."
"Mil–" Emil menggeleng, tidak ingin Navasha melanjutkan perkatannya.
"Kasih gue waktu satu minggu. Gue akan berusaha semampu gue, meskipun selama ini gue udah berusaha. Satu minggu lagi, gue terima semua keputusan lo. Apapun itu," kata Emil pasti.
"Mil, lo jangan ngorbanin waktu lo untuk gue. Gue nggak sebaik itu untuk lo."
"Satu minggu, Sha. Biarkan gue berjuang untuk terakhir kalinya. Apapun yang menjadi keputusan lo satu minggu lagi, gue akan terima dengan lapang dada. Lo cewek terbaik yang pernah gue kenal. Biarkan gue untuk perjuangin lo, terakhir kali." Tidak ada lagi yang bisa Navasha lakukan selain menyetujuinya. Emil tidak bisa dibantah dan keras hati.
KAMU SEDANG MEMBACA
Fatum
RomanceFatum (n.) The development of events beyond a person's control. Perpisahan dengan Deo meninggalkan luka besar di hati Navasha. Bertahun-tahun Navasha hidup dalam luka. Navasha pikir lukanya akan sembuh seiring berjalannya waktu. Sayangnya ia salah. ...