Jaehyun membiarkan gue untuk menyendiri selama di perjalanan dari hotel ke apartemen gue. Di saat itu juga gue berusaha untuk gak nangis. Gue gak mau tangisan gue pecah. Jadi yang bisa gue lakukan yaitu menggigit bibir untuk menghindari diri gue menangis.
Kejadian tadi itu malu-maluin gue banget. Belum lagi ada orang yang bilang kalau gue mending turun dari atas panggung.
Itu termasuk humiliating. Membuat orang malu di depan umum.
"Sunhee, you okay?"
"I'm okay."
"Lo mau gue ikut turun nggak?" Tanyanya mendekati gedung apartemen gue.
"Gak usah gak apa-apa." Gue menolaknya dengan halus.
Sesampainya di drop off, gue langsung melepas sabuk pengaman dan membuka pintu biar langsung keluar.
"Sunhee, kalau ada apa-apa... bilang gue ya?" Kalimatnya barusan lebih terdengar seperti perintah di telinga gue. Yang gue lakukan hanya tersenyum lesu ke arahnya lalu menutup pintu mobilnya dengan pelan. Begitu gue keluar, Jaehyun membuka jendela pintunya dan melambaikan tangannya.
"Thanks for the ride, Jaehyun." Sambil tersenyum lemas ke arahnya.
"No worries. Gue balik."
"Hati-hati."
Jaehyun melajukan mobilnya dengan pelan. Padahal mobilnya masih keliatan dengan pandangan gue, cuma gue langsung berbalik untuk memasuki gedung apartemen. Gue ingin cepet-cepet masuk. Gue pengen nangis. Gak tahan.
🍑🍑🍑
Gue menemukan diri gue terduduk lemas di lantai ruang tengah yang gelap gulita, gue sama sekali gak ingin menyalakan lampu, gue ingin diam dalam kegelapan untuk sesaat.
Tadi padahal gue ingin nangis. Tapi entah kenapa begitu gue memasuki apartemen gue, rasa itu hilang begitu aja. Pikiran gue gak tau sekarang melayang kemana. Pandangan gue hanya ke luar jendela besar yang menyuguhkan pemandangan Seoul di malam hari dengan lampu-lampu yang berkelap-kelip membuat Seoul semakin cantik untuk dilihat di malam hari
Kejadian tadi sangat memalukan untuk gue sendiri.
Kalau gue bisa memundurkan waktu, gue akan memilih untuk gak datang sama sekali ke acara gathering perusahaan ayahnya Jaehyun. Mending gue tolak dengan halus dibandingkan akhirnya harus gini-memalukan diri sendiri.
Semua pemikiran yang terjadi di SD dan SMP berputar kembali di otak gue. Saat-saat dimana semua orang menertawakan gue karena kebodohan gue. Gue takut jadi bahan perbincangan orang-orang, apalagi, di acara tadi, bukan hanya sekadar orang biasa yang datangnya juga. Ada menteri, pengusaha terkenal lainnya, artis, tipikal-tipikal orang penting dan berpengaruh intinya.
Belum lagi ada banyaknya media yang turut menghadiri acara gathering-nya.
Muka gue udah gak tau harus dimana.
Walaupun gue ngakunya gue gak apa-apa ke Jaehyun tadi dan gak membutuhkan kehadirannya, sebenernya gue lagi butuh banget kehadiran dia. Kayak sekarang ini.
Kalau lo belum lupa, gue pernah-mungkin masih sampai sekarang, iya masih, bergelut dengan yang namanya mental illness. Mental illness disini bukan berarti harus melulu soal kehilangan akal. Mental illness gak selalu gitu.
Tapi mental illness ini kadang bisa ngebingungin gue sendiri. Gue pernah kehilangan jam tangan, gue lupa dimana gue taruh jam tangannya-gue sampe nangis disitu karena gue gak bisa nemuin. Iya, gue nangis karena gue gak bisa menemukan dimana jam tangan gue. Tapi keesokan harinya, ada kejadian dimana sangat menghancurkan hati gue sampai pecah berkeping-keping-dan anehnya gue gak nangis sama sekali. Gue malah biasa aja. Aneh kan? Nah itu yang disebut dengan mental illness. Hal yang gak seharusnya ditangisi, malah ditangis. Dan hal yang seharusnya ditangisi, malah gak ditangisi.
KAMU SEDANG MEMBACA
Ms. Kim | Jung Jaehyun
Fanfiction[COMPLETED] Book two of Dr. Jung "Every negative thought, thing and action can be turned into a learning experience. Like instead of thinking "why am I like this" or "why is this happening to me" I'll ask myself "what can I learn from this," and it'...